Bagi Teten Masduki, berada di lingkaran kekuasaan bukan berarti larut dalam praktik koruptif atau sejenisnya. Sebab, ia tidak pernah meninggalkan cita-citanya yang lalu, yakni berjuang mengubah nasib orang kecil.
Inilah penuturan dia selengkapnya...
TIDAK jarang kita melontarkan sikap sinis terhadap orang yang lahir dari kalangan aktivis, kemudian masuk ke lingkaran kekuasaan.
Dengan enteng, label pragmatis, oportunis dan segala macamnya kita lekatkan kepada mereka.
Situasi inilah yang kerap dirasakan seorang Teten Masduki.
Tumbuh di dunia aktivis dan gerakan masyarakat sipil, pria yang pernah membongkar kasus suap eks Jaksa Agung era Presiden B.J Habibie, Andi M. Ghalib itu memilih berada di lingkaran kekuasaan sejak tahun 2014.
"Kadang-kadang istri saja juga meledek. ‘Wah kamu sudah jadi elite sekarang’. Meskipun itu hanya omongan meja makan, tapi nyelekit juga."
-Teten Masduki-
Pemenang Pilpres 2014, Joko Widodo, mempercayakan sejumlah jabatan strategis bagi Teten.
Mulai dari Kepala Staf Kepresidenan, Koordinator Staf Khusus Presiden, hingga jabatan terbaru, yakni Menteri Koperasi dan UMKM.
Belum lagi kerja-kerja politis yang diamanatkan oleh Kepala Negara.
Pernyataan sinis pun kerap datang kepada dirinya semenjak ia berada di lingkar kekuasaan. Bahkan, tak jarang terlontar dari anggota keluarga sendiri.
“Kadang-kadang istri saja juga meledek. ‘Wah kamu sudah jadi elite sekarang’. Meskipun itu hanya omongan di meja makan, tapi nyelekit juga. Belum lagi teman-teman yang lain,” kenang Teten saat berbincang dengan tim JEO Kompas.com, Juni 2021 lalu.
Bagi Teten pribadi, sebenarnya tak ada yang salah dari sikap tersebut.
Sebaliknya, justru ia menilai respons seperti itu merupakan hal yang wajar. Terutama bila orang yang disasar mengingkari nilai-nilai yang diperjuangkan dahulu dan beralih ke narasi yang menguntungkan kelompok berkepentingan saja.
Lantas, bagaimana dengan pribadi Teten sendiri?
Apakah ia adalah salah satu yang ingkar?
Apakah ada cara tersendiri untuk pembuktian diri?
Kisah hidup Teten berawal dari Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963. Sang ayah bernama Masduki merupakan pengusaha di bidang pengolahan tapioka dan jual beli hasil bumi.
Sementara, sang ibu bernama Ena Hindasyah juga terjun di bisnis yang sama. Namun, lebih mengurusi administrasi dan manajemen perusahaan.
Lahir sebagai anak ke-5 dari delapan bersaudara, Teten terbiasa dengan sikap mengalah.
Di satu sisi, ia harus rela mendahulukan adik-adiknya. Di sisi lain, ia juga mesti berbesar hati bila sang kakak mendahuluinya. Dalam hal apapun.
“Saya dijepit antara kakak-kakak dan adik-adik. Anak tengah kan biasanya dilupakan juga,” kenang Teten.
Baca juga: 5 Keunggulan Terlahir Jadi Anak Tengah
Namun, ada nilai yang tidak disadari terpupuk dalam diri Teten kecil, yakni soal bagaimana bersikap adil kepada orang-orang di sekelilingnya.
Sebagai anak tengah, ia dituntut mesti bersikap dewasa untuk menghadapi sifat kekanak-kanakan adiknya dan ego para kakak.
Maka, sadar tidak sadar ia memilih untuk bersikap adil terhadap saudara-saudarinya. Memberikan kepunyaannya secara proporsional bagi sang adik dan kakak agar tidak terjadi pertengkaran.
Oleh sebab itu, Teten sering terusik bila ada praktik ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.
Sikap tersebut lambat laun semakin terpupuk dan bercampur baur dengan nilai-nilai lain yang ditanamkan oleh orangtuanya, yakni pendidikan,agama dan akhlak. Teten mengaku, didikan orangtuanya terkait tiga hal itu cukup keras.
Ketika memasuki bangku perkuliahan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), nilai-nilai yang terpupuk selama ini bak menemui hilirnya.
Teten terjun dalam berbagai kegiatan politik, meski saat itu tengah gencar-gencarnya depolitisasi di tataran kampus oleh Orde Baru.
Baca juga: Daoed Joesoef, Kontroversi NKK/BKK, dan Beda Pendapatnya dengan Soeharto
Dunia politik kampus merupakan hal yang baru dan menyenangkan bagi seorang Teten yang saat itu bercita-cita menjadi seorang guru.
“Kami berdemo, berdiskusi. Waktu itu kaya akan persoalan-persoalan sosial, lingkungan, buruh, masalah pertanahan, kemiskinan dan lain sebagainya. Termasuk masalah politik dan juga kajiannya yang sangat ilmiah dan akademis,” ujar Teten.
"Jadi, saya bukan hanya demonstran yang mengepalkan tangan meninju aparat. Di generasi kami, kami dididik untuk memahami persoalan secara mendasar dan ilmiah."
-Teten Masduki-
Gairah Teten bangkit seketika setelah diperkenalkan dengan sejumlah teori revolusi sosial, politik dan ekonomi yang menjadi landasan pergerakannya.
Salah satunya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan ekonom Raul Presibich pada akhir tahun 1950-an.
Teori ini secara sederhana menjelaskan tentang kehidupan ekonomi negara-negara tertentu yang sedikit banyak memiliki ketergantungan pada perkembangan dan ekspansi negara-negara lain di mana negara tertentu itu hanya menerima akibatnya saja.
“Ada gap yang sangat besar antara negara-negara kapitalis di utara dengan selatan. Ini kajian yang luar biasa ketika itu dan memberikan kesadaran akan problem sosial ekonomi yang komplek,” ujar Teten.
“Saya jadi dibekali paradigma berpikir yang modern dan ilmiah untuk melihat problem-problem sosial politik yang terjadi di masyarakat Indonesia,” lanjut dia.
Baca juga: Profil Ganjar Pranowo, Sosok yang Tak Mau Tercerabut dari Akar
Kegiatan-kegiatan politik kampus seperti ini pula yang membuat Teten tak hanya larut dalam mobilisasi massa dan demonstrasi, melainkan juga memiliki pemahaman ilmiah yang komprehensif terhadap suatu persoalan sosial politik dan ekonomi.
Teten muda eksis bukan hanya fokus pada praktik kritik dan protes tanpa isi, melainkan juga mampu menjelaskan sebuah persoalan akar rumput merujuk teori yang relevan.
“Jadi, saya bukan hanya demonstran yang mengepalkan tangan meninju aparat. Di generasi kami, kami dididik untuk memahami persoalan secara mendasar dan ilmiah,” ujar Teten.
Terbiasa dengan gerakan sipil, kegiatan politik dan kerangka berpikir ilmiah membuat Teten mulai meninggalkan mimpinya sebagai seorang guru.
Selepas tamat kuliah, Teten memang sempat mencicipi menjadi guru salah satu SMK di Tangerang selama empat tahun. Namun setelah itu, Teten memilih aktif untuk menjadi pegiat hak asasi manusia (HAM).
Profil Teten Masduki dapat disimak dalam infografik di bawah ini:
Tidak hanya larut pada persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik, seorang aktivis juga kerap bersinggungan dengan kenyataan hidup, yakni finansial.
Salah satu kekhawatiran yang diungkapkan atau tidak bagi seorang aktivis adalah persoalan kemapanan hidup.
Lagi-lagi Teten Masduki tidak terlalu pusing soal ini. Dia yakin kegiatan dan kemampuannya tetap dapat memberikan penghidupan bagi dirinya.
“Modalnya harus bisa menulis. Karena misalnya, menulis di harian Kompas itu honornya satu bulan kerja di LBH. Itu meyakinkan saya bahwa saya bisa hidup sebagai aktivis,” kenang Teten.
Baca juga: Disindir Hilang Setelah Masuk Istana, Ini Tanggapan Johan Budi Hingga Teten Masduki
Teten memiliki banyak waktu untuk menulis saat itu. Tentunya, topik tulisan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.
Kondisi itu membuat Teten tidak terlalu memikirkan tentang bagaimana ia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia tinggal menunggu giliran saja sebuah surat kabar menerbitkan buah pikirnya.
“Itu juga yang membuat spirit hidup kita saat itu menjadi tinggi. Kita kan tidak mungkin mewah-mewah. Kita harus hidup lihat kiri kanan juga. Masak kita pakai mobil mewah, sementara yang lain jalan kaki kan tidak benar juga,” ujar Teten.
Baca juga: Menteri Teten Sebut Koperasi RI Sudah Jadul Bukan Main
Apalagi, Teten dibekali otak yang moncer. Kemampuan berpikir yang sistematik membuat ia terlatih menyusun program strategi, terutama saat terjun sebagai pegiat antikorupsi.
“Saya sudah terdidik seperti itu dan di LSM kita harus bisa semua, dari hulu ke hilir. Kita sudah terbiasa menyusun ide, rencana, didukung metodologi yang kuat dan mengorganisasi pelaksanaannya. Setelah itu diperiksa akuntan publik skala internasional. Kalau tidak, donor tidak mau bayar,” ujar Teten.
Oleh sebab itu, salah satu manajemen yang ia terapkan ketika 10 tahun memimpin ICW adalah dengan memutar semua aktivis di beberapa sektor tugas.
Tujuannya, agar mereka minimal mengetahui alur kerja yang benar dan dapat memahami persoalan secara komperhensif.
Baca juga: Teten: Saya Tak Akan Curi Uang Rakyat...
Kiprah Teten di dunia aktivis antikorupsi membuat ia meraih beberapa penghargaan. Beberapa di antaranya berasal dari dunia internasional
Antara lain, Ramon Magsaysay Award tahun 2005 dan Stars of Asia Opinion Shapers oleh Businessweek tahun 2004.
Sementara di dalam negeri, ia meraih penghargaan Suardi Tasrif Award tahun 1999 setelah sukses membongkar kasus suap eks Jaksa Agung era Presiden B.J Habibie, Andi M. Ghalib.
Sejak kampanye pemilihan presiden 2014, Teten aktif menjadi tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia selalu berada di samping Jokowi dalam setiap perjalanan.
Usai Jokowi resmi memenangi Pilpres 2014, Teten dipercaya menjabat Kepala Kantor Staf Presiden, institusi dan jabatan setingkat menteri yang baru dibentuk ketika awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Sebagai KSP, Teten diberi tugas macam-macam. Intinya mengatasi bottle neck program pemerintah di tingkat kementerian.
Salah satu yang diklaim sukses bagi Teten adalah mengubah sistem pendistribusian Beras Sejahtera (Rastra) dari beras secara fisik diganti menjadi uang tunai yang dikhususkan untuk membeli bahan pokok.
“Awalnya kan beras dikirim langsung ke si miskin sebanyak 15,5 juta KK. Banyak keluhan berasnya berkutu, bau. KPK lalu melakukan studi terhadap Rastra itu. Hasilnya banyak penyimpangannya. Dari hasil studi KPK itu, kita ganti jadi transfer langsung by name by address. Tidak ada lagi penyimpangan, “ ujar Teten.
“Itu yang 15,5 juta KK penerima tidak lagi menerima beras langsung dari Bulog, tapi diganti jadi transfer Rp 110.000 per bulan lewat bank by name by address. Jadi, tidak ada lagi penyimpangan, saya senang. Itu perintah Presiden yang saya kerjakan,” lanjut dia.
Baca juga: Jokowi Utus Teten Masduki ke Lokasi Gempa di Aceh
Selain itu, salah satu program yang jadi tanggung jawab Teten adalah program perhutanan sosial, yakni pendistribusian 2 hektare lahan per KK.
Total, saat itu ada 12,7 juta hektare lahan yang dibagikan untuk rakyat demi mendongkrak produktivitas.
“Saya kira itu reformasi agraria terbesar dan itu adalah aktivitas saya waktu muda kan,” ujar Teten.
Baca juga: Pengelolaan Anggaran, Alasan Keluarga Khawatir Teten Masduki Jadi Menteri
Ia mengatakan, kerja-kerja Jokowi selama ini sejalan dengan visinya, yakni membuat gerakan perubahan di masyarakat.
“Jadi bukan gerakan politik mencari kekuasaan. Tetapi gerakan masyarakat, dari masyarakat terbelakang menjadi masyarakat maju, dari masyarakat miskin menjadi masyarakat sejahtera, termasuk dari masyarakat bodoh menjadi masyarakat pintar,” ujar Teten.
“Karena itu, saya senang waktu di Istana diberikan tugas merancang program yang memberi dampak kepada perubahan sosial,” lanjut dia.
Pada titik ini, Teten sekaligus mengkritik gerakan antikorupsi akhir-akhir ini yang ia lihat hanya menyoroti pada hilirnya saja, yakni praktik korupsi itu sendiri dan besaran hukumannya.
Baca juga: Teten Masduki Diminta Urusi Orang Banyak
Teten mengatakan, semestinya pegiat antikorupsi lebih menyasar pada fenomena penguasaan sumber daya alam oleh segelintir orang yang secara praktiknya juga turut memiskinkan rakyat.
“Itu juga perbuatan korupsi. Makanya saya bilang, kalau dari sisi hukumannya saja, itu terlalu kecil. Banyaklah hal yang tidak bisa semua saya ceritakan. Tapi dengan by system, ada upaya pencegahan untuk menekan kerugian negara,” lanjut Teten.
Pertanyaannya, apakah Teten sudah puas dengan perubahan selama rezim Joko Widodo berkuasa?
Rupanya belum. Masih ada yang mengganjal hatinya.
Pada suatu momen perjuangan dalam mengubah sistem seperti yang diidam-idamkan versinya sendiri, Teten mesti menyadari bahwa batang kekuasaan ini ada ditopang oleh akar-akar yang bercabang dan sudah tertancap kuat.
“Saya tidak bisa kontrol sepenuhnya. Apalagi yang memiliki background civil society (di lingkar kekuasaan) itu sedikit. Sudah sedikit, digebuki terus, ya makin habislah orang-orang di dalam itu,” ujar Teten.
"Pebisnis sudah berinvestasi di birokrasi sejak lama. Lobi mereka di partai politik sudah kuat. Jadi, untuk melakukan perubahan itu tidak gampang dan selalu dinamis."
-Teten Masduki-
“Sementara itu, pebisnis sudah berinvestasi di birokrasi sejak lama. Lobi mereka di partai politik sudah kuat. Jadi, untuk melakukan perubahan itu tidak gampang dan selalu dinamis,” lanjut dia.
Teten tidak bisa bercerita secara terperinci tentang pertempuran kelompok civil society seperti dirinya dengan kelompok lain.
Di luar itu semua, bagi Teten, hidup adalah perjuangan tanpa henti.
Hal yang terpenting bagi Teten pribadi adalah tidak terjerumus pada praktik korupsi dan menjaga lingkungannya dari praktik pelanggaran dan ketidakadilan.
Salah satunya adalah mempertahankan cibiran dan sikap sinis dari orang-orang di sekitarnya terhadap pribadi Teten saat ini.
Baca juga: Teten Masduki Sebut Jokowi Tak Ingin Memperlemah KPK
Dengan begitu, Teten akan terus diingatkan untuk tetap berjalan di garis perjuangan perubahan.
“Saya punya lingkungan sosial yang membantu menjaga saya. Kepedulian saya pada problem-problem sosial kan tidak hilang, malah terus tumbuh dan terasah. Karena di pemerintahan saya malah semakin tahu problemnya,” ujar Teten.
“Dulu ketika di LSM, di luar, kita mungkin paham separuh dari problem-problem ini. Sekarang, saya menjadi tahu persis semuanya secara gamblang, meski saya juga ada pembelajaran yang tadi bahwa perubahan itu tidak mudah,” lanjut dia.
Setelah Joko Widodo memenangkan Pilpres 2019 bersama K.H Ma’ruf Amin, Teten dipercaya menjabat Menteri Koperasi dan UMKM.
Teten mengaku senang menerima amanah tersebut.
“Saya merasa pas di sini karena dari dulu dekat sama rakyat, background keluarga saya juga dari UMKM dan teman-teman memberikan insight, jadi saya lebih memahami problemnya. Saya happy banget,” ujar Teten.
Visi misi Presiden di bidang UMKM adalah mendorong UMKM naik kelas. Bahkan bisa bersaing ke tingkat internasional.
Dalam rangka mewujudkan itu, Teten menjalankan lima strategi. Antara lain, membuka akses pasar domestik dan luar negeri, meningkatkan daya saing dan kapasitas UMKM dengan cara memperkenalkan pada dunia digital, memberikan dukungan modal dan pembiayaan serta mempermudah izin.
View this post on Instagram
Baca juga: MenkopUMKM: Digitalisasi Efektif Membuat UMKM Naik Kelas
Meski demikian, kerja-kerja tersebut terganjal pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia.
Pandemi Covid-19 membuat sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia tersungkur. Bahkan boleh dibilang, babak belur.
Pembatasan aktivitas demi meminimalisasi penularan virus membuat daya beli masyarakat anjlok.
Survei yang digelar Bank Indonesia dan dirilis Maret 2021 menyebut, jumlah UMKM di Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19 sebanyak 87,5 persen.
Dari jumlah itu, sekitar 93,2 persen di antaranya terdampak negatif pada sisi penjualan.
Tak seperti krisis ekonomi tahun 1997-1998 di mana UMKM menjadi pahlawan kebangkitan perekonomian nasional, kini UMKM justru menjadi salah satu entitas yang patut diulurkan pertolongan.
Baca juga: Bantuan Terulur untuk UMKM yang Tersungkur...
Kondisi ini memaksa kementerian di bawah Teten bekerja keras meminimalisasi dampak negatif wabah terhadap UMKM di Tanah Air.
“Pada saat yang bersamaan saya juga sedih, karena banyak sekali yang harus dibantu di tengah pandemi ini. Sayangnya kemampuan kita juga terbatas,” ujar Teten.
“Saya mengatasinya bukan hanya dengan anggaran, tetapi ikut merasakan kepedihan mereka. Samalah seperti saya di YLBHI mengepalai divisi perburuhan. Setiap hari mendatangi mereka, menyapa, menemani, memberikan pemahaman. Saya terbiasa dengan itu,” lanjut dia.
Bedanya, kini Teten juga bisa mencarikan solusi atas persoalan-persoalan yang pelaku UMKM hadapi.
Untuk mengetahui program Kementerian Koperasi dan UMKM di saat pandemi selengkapnya, simak wawancara tim JEO Kompas.com dengan Teten Masduki di video berikut ini: