PROYEK pembangunan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur menuai dukungan publik. Tetapi, tak sedikit yang meragukannya.
Keraguan muncul karena pemerintah belum menjelaskan proyek raksasa itu secara terperinci dan komprehensif. Terutama soal nasib warga adat beserta tanahnya, dan nasib kelestarian hutan di pulau berstatus paru-paru dunia itu.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara di parlemen sebagai dasar hukum pemindahan ibu kota negara rupanya juga tak mampu menghapus keraguan. Sebab, meski disetujui hampir seluruh fraksi, tetapi prosesnya dinilai terlalu tergesa-gesa sehingga berpotensi menuai risiko sosial politik.
Ketergesaan itu kemudian memancing kekhawatiran bahwa megaproyek yang digagas sejak era Ir. Soekarno tersebut akan menjadi bancakan korupsi.
Beragam respons publik di atas dipotret dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar 25 hingga 29 Januari 2022.
Sebanyak 1.014 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi berhasil diwawancarai. Sampel ditentukan secara acak sesuai proporsi jumlah penduduk di setiap provinsi.
Simak selengkapnya...
Anda dapat membaca artikel ini secara runut atau memilih (klik) subtopik di bawah ini:
Demi Pemerataan Pembangunan ♦ Ragu Karena Terburu-buru ♦ Pro Kontra Badan Otorita
Peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti memaparkan, dukungan publik atas pembangunan Ibu Kota Nusantara tergambar dalam cuplikan survei dengan pertanyaan, “setuju atau tidakkah Anda dengan upaya pemerintah mengejar pembangunan infrastruktur IKN Nusantara hingga terwujud di 2024?”
Hasilnya, sebanyak 56,7 persen responden menjawab setuju.
Banyak yang setuju dengan pemindahan ibu kota negara, tetapi banyak pula yang tak yakin pembangunan tahap pertama berjalan lancar.
Alasan sikap setuju ini terbagi ke dalam dua pendapat. Sebagian besar responden beralasan, demi pemerataan pembangunan di luar Jawa. Selebihnya beralasan, daya dukung DKI Jakarta sudah mulai kritis sehingga ibu kota negara harus dipindahkan.
Baca juga: Jokowi Sebut Pembangunan Ibu Kota Baru Bagian dari Transformasi Ekonomi
Adapun, 33,9 persen responden menjawab tidak setuju. Sebagian besar dari mereka beralasan, pemindahan ibu kota negara bukanlah program yang penting untuk dilaksanakan saat pandemi Covid-19.
Sebagian kecil lainnya menilai, DKI Jakarta mempunyai nilai historis yang kuat sehingga statusnya sebagai ibu kota negara sulit tergantikan.
“Meskipun didominasi jawaban setuju, tetapi ketika ditanya kembali, yakin atau tidak pemindahan IKN tahap pertama, selesai tahun 2024, hasilnya cenderung terbelah," papar Rangga kepada tim JEO Kompas.com, Kamis (3/2/2022).
"Memang sedikit lebih banyak yang yakin, tapi selisihnya tipis dengan yang tidak yakin,” lanjut dia.
Simak selengkapnya melalui grafik berikut ini:
Bak dua sisi koin, dukungan atas pembangunan Ibu Kota Nusantara rupanya tak berbanding lurus dengan opini publik atas dasar hukum proyek itu sendiri.
Persoalannya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang disahkan pada 18 Januari 2022 hanya dibahas selama 42 hari. Publik pun banyak yang tidak menyetujuinya.
Jajak pendapat menemukan, di satu sisi memang ada 42,2 persen responden yang setuju Undang-Undang Ibu Kota Negara dibahas dan disahkan secara cepat.
Mereka beralasan, pembahasan dasar hukum pemindahan ibu kota memang harus secepat kilat mengingat DKI Jakarta sudah tidak laik menjadi ibu kota negara.
Baca juga: Survei: Warga Yakin Jakarta Lebih Baik Setelah Tak Jadi Ibu Kota Negara
Sebanyak 45,9 persen responden merasa yakin UU IKN dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi pemindahan ibu kota negara. Tetapi, jumlah responden yang tak yakin sedikit lebih banyak.
Tetapi, banyak pula yang tidak setuju akan hal itu. Proporsi jumlahnya lebih besar dibandingkan yang setuju, yakni 49,2 persen. Argumentasi mereka pun cukup relevan.
“Ada juga responden yang menjawab, pengesahan UU IKN yang terlalu cepat ini ditakutkan hanya menguntungkan investor-investor kelas kakap atau politikus saja. Selain itu, rawan praktik korupsi,” lanjut dia.
“Mereka yang tidak setuju ini menilai, UU IKN terburu-buru disahkan. Itu memiliki risiko sosial politik yang tinggi. Misalnya nasib masyarakat adat bagaimana? Nasib tanah mereka bagaimana?” ujar Rangga.
Sebagian kecil responden yang tidak setuju ini ada pula yang beralasan, tidak ingin Indonesia memiliki utang luar negeri lebih banyak lagi.
Maka, wajar bila arus penolakan tersebut menambah keraguan publik bahwa UU IKN dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi pemindahan ibu kota negara.
Baca juga: Anies Sebut Pemindahan Ibu Kota Tak Akan Atasi Kemacetan Jakarta
Rangga menambahkan, bayang-bayang keraguan publik itu jelas tergambar dalam cuplikan jajak pendapat yang menanyakan keyakinan responden, apakah UU IKN mampu menjadi dasar hukum yang kuat dalam program pemindahan ibu kota negara.
Hasilnya, sebanyak 45,9 persen responden menjawab yakin. Sementara, 47,2 persen responden mengatakan tidak yakin. Selisihnya, hanya 1,3 persen saja.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Bukan hanya mempersoalkan pembahasan dan pengesahan dasar hukum, kelompok responden yang kontra dengan UU IKN ini juga menyoroti buruknya sosialisasi dari pemerintah.
Asumsi ini terkonfirmasi dari hasil jajak pendapat di mana nyaris 60 persen dari responden mengaku tidak mengetahui RUU IKN telah disahkan oleh DPR.
Temuan ini menjadi catatan bagi pemerintah untuk mulai menggencarkan sosialisasi proyek pemindahan ibu kota negara secara detail dan komprehensif kepada publik.
Baca juga: Ini 45 Tokoh Nasional yang Tolak IKN Nusantara, Ada Eks Ketua KPK Hingga Guru Besar UI
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Peneliti senior Centre for Strategic International Studies (CSIS) J Kristiadi mengatakan, komunikasi dan sosialisasi memang jadi problem utama pemerintahan Jokowi.
Sering dijumpai, sebuah kebijakan yang dirancang dengan baik menjadi sulit dieksekusi karena kacau balaunya komunikasi. Jajak pendapat Litbang Kompas tentang Ibu Kota Nusantara di atas menunjukkan potensi itu.
Ia pun mempertanyakan peran kementerian/lembaga terkait yang semestinya tak diam berpangku tangan untuk memberikan pemahaman kepada publik tentang rencana proyek raksasa itu.
“Komunikasi (pemerintah) memang banyak kekurangan. Mana itu juru bicara pemerintah? Kemudian mana itu Menkominfo? Seharusnya mereka ngomong lebih detail terkait rencana tersebut. Tetapi itu tidak berfungsi,” kata Kristiadi saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (8/2/2022).
Baca juga: Bertemu Jokowi, PM Malaysia Minta Dilibatkan dalam Pembangunan Ibu Kota Nusantara
Pemindahan ibu kota negara, lanjut Kristiadi, sejatinya demi kepentingan rakyat. Maka, prosesnya harus melibatkan rakyat. Pemerintah tidak boleh menempatkan proyek ini sebagai sesuatu yang bersifat eksklusif dan elitis.
Mana itu juru bicara pemerintah? Kemudian mana itu Menkominfo? Seharusnya mereka ngomong lebih detail terkait rencana tersebut. Tetapi itu tidak berfungsi.
J.Kristiadi
“Makanya, pemerintah perlu membuka diri. Kalau perlu, ditunjuk juru bicara khusus untuk IKN,” lanjut dia.
‘Meletakkan’ program pemindahan ibu kota negara di tengah-tengah rakyat, menurut Kristiadi, juga penting demi mencari solusi atas kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat di dalamnya. Contohnya, kepentingan masyarakat adat di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Jangan sampai, karena suara rakyat diabaikan, terjadi konflik sosial politik di kemudian hari yang ujung-ujungnya kembali merugikan rakyat.
Sebaliknya, proses komunikasi dan sosialisasi yang berjalan lancar diharapkan dapat mengikis potensi konflik sebagaimana yang dikhawatirkan.
“Memang, aturan di dunia tidak ada yang sempurna. Apalagi aturan politik. Aturan politik tidak ada yang benar dan keliru. Tapi, hasil perdebatan yang menjadi konsensus itulah yang kemudian menjadi pedoman,” papar Kristiadi.
Baca juga: Bertemu Jokowi, Yusril Bahas Pembangunan Ibu Kota Negara Baru
Apalagi, sepanjang kepemimpinan Indonesia pasca-Reformasi, Presiden Jokowi telah mencatatkan tinta pembangunan lebih tebal dibandingkan presiden sebelumnya. Sebut saja di antaranya MRT, bendungan, Trans Papua, Trans Jawa, pengambilalihan PT Freeport, dan pengambilalihan Blok Mahakam.
Pemindahan ibu kota negara ini pun bakal menambah daftar program monumental Presiden Jokowi selama dua periode.
Oleh sebab itu, Kristiadi mengatakan, mestinya pemerintah menaruh perhatian betul agar proyek ini berjalan tanpa hambatan, terutama hambatan dari publik yang belum mendapatkan informasi jelas tentang proyek ini.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Wandy Tuturoong membantah pemerintah tergesa-gesa memindahkan ibu kota negara. Ia menegaskan, program ini dijalankan menurut timeline yang sudah ditentukan.
Dari sisi rancangan dasar hukum, DPR RI periode 2014-2019 sudah membentuk panitia khusus yang membahas pemindahan ibu kota. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan panitia khusus RUU IKN pada DPR RI periode 2019-2024.
Baca juga: Sultan Kutai Kartanegara: Jangan Ada yang Hambat IKN
Dari sisi komunikasi, sejak pemerintah mengumumkan rencana pemindahan ibu kota pada Agustus 2019, hubungan baik pun telah dijalin dengan masyarakat lokal di wilayah yang akan dijadikan ibu kota negara.
Komunikasi itu guna menyerap aspirasi mereka terkait pemindahan ibu kota.
"Jadi dari situ, kalau dari kacamata itu sebetulnya ini tidak bisa disebut sebagai proses terburu-buru," kata Wandy saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (9/2/2022).
Selain tentang UU IKN, keberadaan badan otorita ibu kota negara juga menjadi hal yang jadi sorotan dalam jajak pendapat Litbang Kompas.
Sebagaimana kita ketahui, badan otorita ibu kota negara adalah model pemerintahan yang dipilih untuk menjalankan Ibu Kota Nusantara. Hal itu telah tertuang di dalam UU IKN sendiri.
Badan otorita ibu kota negara akan dipimpin seorang kepala dengan seorang wakil yang ditunjuk langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI. Posisi kepala dan wakil kepala badan otorita itu setingkat menteri.
Banyak yang tidak setuju kepala badan otorita ibu kota negara tidak diangkat melalui proses Pilkada. Proporsinya lebih besar dibandingkan yang setuju
Terkait hal ini, jajak pendapat menemukan, publik terbelah.
Rangga memaparkan, sebanyak 44,2 persen responden setuju bila IKN dipimpin oleh pemerintahan berbentuk badan otorita. Sementara, responden yang bersikap sebaliknya, yakni sebanyak 43,7 persen.
Baca juga: Pemindahan Ibu Kota Negara di Mata Tokoh Politik Prabowo, Ganjar, Anies, dan Ridwan Kamil
Meski proporsi responden yang setuju lebih banyak, tetapi selisihnya sangat tipis.
Ketidaksetujuan menguat ketika pertanyaan digeser ke arah jenis pemerintahan Ibu Kota Nusantara yang kepala dan wakilnya ditunjuk langsung oleh Presiden.
“Kepala otorita IKN ini kan diangkat langsung oleh Presiden tanpa Pilkada. Soal ini, lebih banyak responden yang tidak setuju dan selisihnya cukup besar,” ujar Rangga.
Respons ini dapat dimaknai bahwa masyarakat sebetulnya masih berharap bila demokrasi tidak hilang begitu saja di ibu kota baru.
Simak selengkapnya dalam infografik berikut ini:
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar berpendapat, pembentukan sebuah dasar hukum sejatinya dilakukan secara teliti, hati-hati dan bersifat partisipatoris.
Sebab, ada banyak contoh dasar hukum di Indonesia yang kandas di palu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran tidak memenuhi unsur-unsur tersebut.
Ini bukan pindah kost-kostan, ini pindah ibu kota.
Zainal A. Mochtar
Partisipasi publik yang dimaksud pun bukan hanya mendengarkan pendapat, tetapi juga dipertimbangkan dan dimasukkan ke dalam bagian dasar hukum. Konsep ini memiliki istilah Meaningful participation (partisipasi bermakna).
"Meaningful participation artinya bukan cuma right to be heard tapi juga right to be explained dan right to be considered," kata Zainal saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (7/2/2022).
Baca juga: Ramai-ramai Menolak Pemindahan Ibu Kota Negara
Apalagi, ini soal dasar hukum pemindahan ibu kota negara. Pemerintah semestinya menyerap aspirasi publik secara luas demi mengetahui keinginan seluruh warga negara apakah mau atau tidak dengan pemindahan ibu kota.
Bahkan, pemerintah layak menggelar survei besar-besaran atau setingkat referendum sebagai pengayaan wacana di tingkat akar rumput.
"Ini bukan tiba-tiba pindah dan langsung diputuskan saja apa yang diinginkan, karena ini bukan pindah kost-kostan, ini pindah ibu kota, keterlibatan publik itu harusnya tinggi," lanjut dia.
Lebih jauh, Zainal menyoroti aspek kesesuaian UU IKN dengan UUD 1945. Menurut dia, konsep badan otorita sebagai model pemerintah daerah tidak dikenal dalam UUD 1945.
Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 tertulis, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Merujuk beleid tersebut, tak ditemukan konsep badan otorita seperti yang tertuang di dalam UU IKN.
"Kalau pemerintah mengatakan (kepala IKN) bukan kepala derah tetapi kepala otorita, pertanyaannya apakah Pasal 18 (UUD 1945) membolehkan itu?" kata Zainal.
"Karena (merujuk Pasal 18 UUD 1945), Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi kepala daerahnya gubernur, kabupaten kepala daerahnya bupati, wali kota kepala daerahnya di kota. Jadi, kalau ada konsep selain itu, di mana ruangnya di dalam Undang-Undang Dasar?" lanjut dia.
Baca juga: Poin Penting Undang-Undang Ibu Kota Negara yang Tak Boleh Dilewatkan
Kalau pemerintah mengatakan (kepala IKN) bukan kepala derah tetapi kepala otorita, pertanyaannya apakah Pasal 18 (UUD 1945) membolehkan itu?
Zainal A. Mochtar
Oleh sebab itu, semestinya model pemerintahan Ibu Kota Nusantara tetap sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945, yakni memiliki kepala daerah yang dipilih secara demokratis, dan memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bukan hanya ditunjuk oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI.
Di luar itu, UUD 1945 hanya mengakomodasi model pemerintahan bersifat khusus dan istimewa seperti yang berjalan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di mana seorang sultan secara ex-officio akan menjabat Gubernur.
Sebab, DI Yogyakarta masuk dalam kategori daerah otonomi khusus yang dijamin oleh Pasal 18B UUD 1945.
"Kalau dikatakan Yogya bisa , Yogya itu masuk kondisi daerah khusus, karena daerah self government-nya menjadi kuat," kata Zainal.
Ia mengakui, di beberapa negara kesatuan memang terbuka peluang adanya kepala daerah yang ditunjuk langsung oleh kepala negara, bahkan diberi predikat sebagai menteri muda. Namun, bukan berarti daerah itu tak memiliki DPRD, termasuk di daerah yang mendapat otonomi khusus seperti Yogyakarta.
"Pemerintahan self government-nya kan harus tetap ada, pemerintahan lokalnya itu harus tetap ada. Pemerintahan lokalnya by siapa? by penduduk lokal," ujar Zainal.
“Jadi kalau negara kesatuannya yang kuat sekali negara kesatuannya, oke boleh deh misalnya dititipkan dari atas kepala daerahnya. Tetapi DPRD-nya, pengawasannya, tetap harus dari bawah," imbuh dia.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Tuding IKN Sebagai Megaproyek Oligarki yang Ancam Keselamatan Rakyat
Oleh sebab itu, ketentuan dalam UU IKN yang menyebut pengawasan terhadap Badan Otorita IKN dilakukan oleh DPR juga tidak tepat.
"Kalau hanya dikhususkan untuk daerah sendiri, ya menurut saya menjadi rancu karena tidak ada kewenangan langsung. Misalnya untuk pengawasan DPR terhadap pemerintahan daerah macam begini," kata Zainal.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Wandy Tuturoong mengatakan, pembentukan badan otorita sebagai model pemerintahan ibu kota negara sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, justru telah sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945.
Bunyinya, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Artinya, pemerintah membentuk pemerintahan daerah khusus untuk bertanggung jawab atas ibu kota negara baru sesuai dengan undang-undang yang ada.
Hal ini diperkuat dengan salah satu tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pasal 18B sifatnya berdiri sendiri.
Ada tafsir MK yang mengatakan pasal itu (Pasal 18B UUD 1945) bisa dibaca secara berdiri sendiri. Jadi dia tidak harus mengikuti di atasnya. Justru di sinilah jaminan dari konstitusi yang membolehkan konsep yang diskemakan (UU IKN)
Wandy Tuturoong
"Ada tafsir MK yang mengatakan bahwa pasal itu (Pasal 18B UUD 1945) bisa dibaca secara berdiri sendiri. Jadi dia tidak harus mengikuti di atasnya. Justru di sinilah jaminan dari konstitusi yang membolehkan konsep yang diskemakan (UU IKN) ini, kata Wandy saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (9/2/2022).
Tafsir MK yang dimaksud, yakni Putusan MK Nomor 11/PUU-VI/2008 tentang Pengujian atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Sementara, soal ketiadaan DPRD dan pengawasan badan otorita dilakukan oleh DPR RI, Wandy mengatakan, hal itu merupakan konsekuensi logis dari status badan otorita sebagai lembaga setingkat kementerian, bukan seperti pemerintah daerah pada umumnya.
"Jadi kekhawatirannya apa? Kekhawatirannya apakah dia tidak bisa dikontrol, menurut saya masih bisa dikontrol," kata Wandy.
Baca juga: 9 Aturan Turunan UU IKN Ditargetkan Rampung Maret-April, Ini Rinciannya
Ia menambahkan, kepala Otorita IKN yang dipilih langsung oleh presiden juga sesuai dengan konsep city manager di mana seorang pemimpin di sebuah kota adalah seseorang yang professional.
Dengan dipilih langsung oleh presiden, sang manajer tidak perlu diganggu oleh persoalan politik seperti pemilihan kepala daerah atau proses politik di DPRD yang lazim dihadapi oleh kepala daerah.
"Bebannya sudah banyak lho ini mengelola sebuah kota modern yang smart, sustainable, green, beautiful city. Konsepnya itu saja sudah berat tantangannya, jadi jangan lagi dia dibebani oleh beban-beban politik," kata Wandy.