JEO - Insight

Pak Jokowi,
Saatnya Berpihak
kepada Wong Cilik

Jumat, 21 Agustus 2020 | 13:14 WIB

“I've seen a lot of bailouts in my life. But why is it I never see a bailout for the homeless and the poor?”

- Anti-Flag

Pak Jokowi, waktunya bicara universal basic income (UBI) untuk pastikan wong cilik tak makin miskin karena pandemi Covid-19?

==

PANDEMI virus corona tidak hanya berdampak terhadap sektor kesehatan tapi juga perekonomian. Baik pertumbuhan ekonomi global maupun negara di dunia merosot karena terganggunya aktivitas perekonomian akibat pandemi Covid-19.

Resesi ekonomi menjadi hal yang tidak bisa dielakkan oleh banyak negara. Sejumlah negara sudah pasti tercebur ke jurang resesi merujuk kinerja perekonomian hingga kuartal II 2020. Beberapa negara diprediksi menyusul. 

Baca juga: Dalam Bayang-bayang Resesi Ekonomi Global...

Proyeksi ekonomi Indonesia pun tak terlihat lebih cerah, meski resesi belum dipastikan melanda bila merujuk angka. Namun, sinyal kuning sudah berkedip dari kinerja ekonomi Indonesia hingga kuartal II 2020.

Sebelumnya, Bank Dunia, Senin (8/6/2020), melansir bahwa resesi sudah hampir pasti terjadi di seluruh wilayah ekonomi dunia. Mereka menyebut, resesi akibat Covid-19 ini merupakan yang terburuk dalam sejarah sejak Perang Dunia II.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah melansir proyeksi suram serupa. Bahkan, dalam outlook yang mereka publikasikan pada April 2020, IMF menyebut resesi kali ini lebih dalam daripada era Great Depression pada 1930-an.

Demi menghindari krisis, Pemerintah Indonesia berinisiatif menerapkan fase kenormalan baru atau new normal. Tujuannya, memulihkan perekonomian nasional.

Sembilan sektor ekonomi dalam rangka pelaksanaan program masyarakat produktif aman Covid-19 kembali dibuka.

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Kesembilan sektor yang ditetapkan untuk dibuka kembali meliputi pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, serta logistik dan transportasi barang.

Sayangnya, kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 tak pelak mencatatkan angka minus 5,32 persen. Ini lebih buruk daripada proyeksi pada Juni dan Juli 2020 yang dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Loading...

Konsumsi masyarakat yang menjadi penyelamat pada krisis moneter 1998, juga menjadi penopang utama kinerja ekonomi dari tahun ke tahun, kali ini pun turun tajam. Pada saat yang sama, belanja pemerintah pun tercatat turun tajam dibanding satu dekade terakhir.

Menurut ekonom Dradjad H Wibowo, dalam tulisan kolom yang tayang pada 6 Agustus 2020 di Kompas.com, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun sejak 1998 cenderung sejalan dengan angka konsumsi rumah tangga.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Minus 5,32 Persen: Sekali Lagi, Tolong Kendalikan Pandeminya

Dari tahun ke tahun juga, konsumsi rumah tangga punya proporsi di kisaran 55-60 persen pemberi kontribusi pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II 2020, konsumsi rumah tangga berkontribusi 57,9 persen.

Artinya, saat pertumbuhan ekonomi minus 5,32 persen, angka konsumsi yang jadi andalan ini pun turun. Pelonggaran PSBB dan fase kenormalan baru (new normal)—yang adalah sepertiga masa kuartal II 2020—ternyata tak mendongkrak angka konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

"Masalahnya adalah rendahnya kepercayaan atau confidence dari konsumen dan investor, karena Indonesia dinilai jelek dalam mengatasi pandemi," ujar Dradjad.

Sebelum Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kinerja perekonomian kuartal II 2020 itu pada Rabu (5/8/2020), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan, pengerjaan proyek strategis nasional (PSN) harus terus berjalan di tengah pandemi Covid-19. 

Jokowi meyakini, PSN akan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Ada 89 proyek baru yang direkomendasikan menjadi PSN. Total alokasi anggaran untuk PSN ini mencapai Rp 1.422 triliun.

Bentuk proyek strategis itu mulai proyek pembangunan jalan, bandara, dan kawasan industri, hingga pengembangan pesawat tanpa awak (drone). Proyek drone ini menggeser program warisan almarhum Presiden BJ Habibie, pesawat R80 yang sebelumnya sempat masuk PSN.

Baca juga: Titip Asa Dirgantara pada Pesawat R80 Habibie

Namun, seiring dengan penerapan fase new normal, kasus positif Covid-19 justru masih terus menunjukkan peningkatan jumlah.

Pada hari-hari ini, rasanya membaca tambahan kasus baru positif Covid-19 di angka seribuan terasa "biasa". Padahal, pada awal-awal penyebaran Covid-19 di Indonesia, satu kasus baru saja sudah ramai.

Mencegah daya beli runtuh

Dalam opininya bertajuk Ekonomi dalam Normal Baru di harian Kompas edisi 8 Juni 2020, ekonom Muhamad Chatib Basri mengatakan, ekonomi hanya akan bisa pulih jika wabah teratasi.

Risiko penularan dapat dikurangi apabila masyarakat disiplin tinggal di rumah. Namun, ini pun berimplikasi terhadap ekonomi. Aktivitas ekonomi yang membutuhkan kehadiran fisik tak bisa berjalan, orang kehilangan pendapatannya.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Minus 5,32 Persen: Sekali Lagi, Tolong Kendalikan Pandeminya

Karena itu, kebijakan ekonomi untuk perlindungan sosial dan bantuan dunia usaha menjadi hal yang tak terpisahkan dari upaya penanganan pandemi. Orang harus mendapat kompensasi agar tinggal di rumah.

Menurut Chatib Basri, kebijakan yang sifatnya mendorong produksi tak akan efektif pada saat ini karena kondisi permintaan yang lemah. Daya beli domestik masih lemah akibat orang kehilangan pendapatan.

Oleh karenanya, daya beli, terutama bagi kelompok menengah bawah, harus didorong.

Selain itu, ia menyoroti isu sosial dan masalah ketimpangan pendapatan. Ia mengatakan, era normal baru tak akan membawa masyarakat kepada hidup pra-Covid-19.  Selama vaksin belum ditemukan, ekonomi tak akan 100 persen beroperasi penuh.

Baca juga: Mimpi Vaksin Covid-19 Segera

Sementara, pekerja kelas menengah bawah yang tak memiliki pilihan sumber penghidupan lain untuk tetap tinggal di rumah akan mengambil risiko untuk bekerja kembali. 

Karena itu, kata Chatib Basri, isu ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan sosial kelompok menengah bawah harus diperhatikan dengan serius.

 

BERAGAM RENCANA
UNTUK PULIHKAN EKONOMI

STAF Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut,  pemerintah telah mengambil langkah kebijakan berupa dukungan APBN untuk penanganan dampak Covid-19.

Anggaran penanganan Covid-19 dari waktu ke waktu terus diperbesar sejak pertama kali dialokasikan. Dari kisaran Rp 100-an triliun, naik jadi Rp 405,1 triliun, bertambah lagi menjadi Rp 677  triliun, dan terkini hampir menyentuh Rp 1.000 triliun.

Ilustrasi Jaminan Pengaman Sosial - (DOK KOMPAS/DIDIE SW)

Saat alokasi dana berada di kisaran Rp 677 triliun, Kementerian Keuangan sempat merilis rincian alokasi penggunaan.

Pemerintah mengalokasikan Rp 87,55 triliun atau 13 persen untuk penanganan sektor kesehatan. Sisanya sebesar Rp 589,65 triliun atau 87 persen dimanfaaatkan untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Rinciannya, Rp 203,9 triliun dianggarkan untuk perlindungan sosial, Rp 123,46 triliun untuk UMKM, dan Rp 120,61 triliun untuk insentif dunia usaha. Kemudian, Rp 97,11 triliun untuk dukungan sektoral serta Rp 44,57 triliun untuk PNM dan BUMN.

Pada akhir Maret 2020, Presiden Jokowi menyampaikan beberapa program perlindungan sosial. Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH).

Pemerintah melakukan penambahan keluarga penerima manfaat PKH, dari 9,2 juta keluarga menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Anggaran yang dialokasikan naik dari Rp 29,1 triliun menjadi sebesar Rp 37,4 triliun.

Kedua, Bantuan Pangan Non-tunai (BPNT) atau Kartu Sembako. Pemerintah menaikkan jumlah penerima dari 15,2 juta penerima menjadi 20 juta penerima manfaat.

Ketiga, Kartu Prakerja. Anggaran Kartu Prakerja dinaikkan dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Jumlah penerima manfaat menjadi 5,6 juta orang.

Keempat, bantuan tarif listrik dengan  menggratiskan pelanggan listrik 450 VA yang jumlahnya sekitar 24 juta pelanggan. Pemerintah juga memberikan diskon 50 persen bagi pelanggan 900 VA sebanyak 7 juta pelanggan.

Kelima, alokasi anggaran cadangan untuk mengantisipasi ketersediaan bahan kebutuhan pokok sebesar Rp 25 triliun. Keenam, keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal.

Dari semuanya itu, hanya tiga program yang ditujukan secara khusus untuk menjadi jaring pengaman pada masa pandemi. Tiga program itu yakni bantuan tarif listrik, keringanan kredit, dan alokasi anggaran cadangan.

Desain Pemulihan Ekonomi Nasional 2020 - (DOK KOMPAS/ARIE)

RAPBN 2021

Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 mencantumkan pula alokasi dana signifikan untuk pemulihan ekonomi.

Pengantar Pemerintah untuk RAPBN 2021 dan nota keuangannya dibacakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan rapat paripurna DPR pada Jumat (14/8/2020).

Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Jokowi tentang RUU APBN 2021 dan Nota Keuangannya

Di situ,  Jokowi menyebut program pemulihan ekonomi nasional pada RAPBN 2021 akan menggunakan alokasi Rp 356,5 triliun. Rincian penggunaannya:

Selain itu, Jokowi menyebut pula tentang alokasi anggaran untuk dukungan perlindungan sosial pada 2021 senilai Rp 419,3 triliun. Penggunaannya adalah untuk percepatan pemulihan sosial dan mendukung reformasi sistem perlindungan sosial secara bertahap.

Langkah perlindungan sosial tersebut, papar Jokowi, dilakukan melalui bantuan pada masyarakat berupa program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, bansos tunai, dan kartu pra-kerja.

Juga, lanjut Presiden, dengan mendorong program reformasi perlindungan sosial yang komprehensif berbasis siklus hidup dan antisipasi aging population; serta penyempurnaan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dan perbaikan mekanisme penyaluran program perlindungan sosial, berikut penguatan monitoring dan evaluasi.

Terpisah, Menteri Sosial Juliari Batubara menyebut, 92 persen dari anggaran Kementerian Sosial senilai Rp 92,82 triliun pada RAPBN 2021 akan digunakan untuk belanja bantuan sosial. Ini setara sekitar Rp 85,5 triliun.

Baca juga: Ini Bantuan Sosial Pemerintah untuk Masyarakat pada 2021

Rinciannya, PKH pada 2021 dianggarkan Rp 28,7 triliun, Kartu Sembako Rp 45,12 triliun untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM), dan bantuan sosial tunai (BST) untuk 10 juta KPM senilai Rp 12 triliun.

Terkait DTKS, ujar Juliari, Kementerian Sosial menargetkan cakupannya naik menjadi 60 persen rumah tangga dari saat ini 40 persen. Untuk program peningkatan cakupan DTKS ini, ada alokasi dana Rp 1,36 triliun.

JAMINAN PENGHASILAN SEMESTA

BERAGAM upaya pemerintah hingga saat ini dinilai belum efektif membantu masyarakat miskin agar dapat bertahan dalam krisis. Ditambah lagi munculnya pengaduan dari warga yang sama sekali belum tersentuh bantuan dari pemerintah.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, mengusulkan pemerintah mengeluarkan kebijakan jaminan penghasilan semesta atau universal basic income (UBI). Bantuan yang diberikan pun haruslah bantuan tunai tanpa syarat.

Menurut Maftuch, program bantuan tunai tanpa syarat diperlukan sebagai bentuk penanganan ketimpangan sosial-ekonomi akibat pandemi.

Dengan skala dan kecepatan penyebarannya, pandemi akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Maftuch memperkirakan krisis multidimensi akan terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi.

Baca juga di Kompas.id: Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19

Untuk menjaga standar hidup layak dan kemampuan daya beli rakyat—terutama masyarakat miskin—, kata Maftuch, pemerintah harus mengeluarkan bantuan tunai tanpa syarat. Bantuan tunai tanpa syarat diarahkan untuk menyasar seluruh lapisan masyarakat.

Ia menilai skema ini juga akan menciptakan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan konsumsinya.

Selain itu, bantuan tunai tanpa syarat akan menjadi salah satu sumber pendapatan dasar yang dapat digunakan untuk kegiatan konsumtif dan produktif secara bersamaan.

Masyarakat dapat menjaga daya belinya dan mempertahankan standar hidup layak. Sebab, bantuan tunai tanpa syarat menciptakan mekanisme distribusi sumber daya ekonomi secara lebih adil dan merata dengan cara-cara yang bermartabat.

“Jadi kalau dipukul rata semua dapat, itu akan sekaligus mengatasi problem ketimpangan dan fragmentasi dari jenis-jenis bantuan sosial yang ada,” ujar Maftuch saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).

Dua usulan skema

Ada dua skema penyaluran bantuan secara cashless untuk menghindari kerumunan masyarakat dan pratik korupsi yang dibuat oleh Perkumpulan Prakarsa. Dua skenario ini adalah skenario minimum dan optimum.

Skenario pertama,  pemerintah menjalankan program bantuan tunai  bagi 10 juta rumah tangga miskin, rumah tangga tidak mampu, dan rumah tangga terdampak pandemi virus corona.

Bantuan diberikan selama enam bulan dengan nominal Rp 2.000.000 untuk masing-masing rumah tangga per bulan.

Data rumah tangga miskin berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial, dengan mengecualikan keluarga yang penerima PKH dan Bantuan Pangan Non-Tunai.

Skema ini membutuhkan  anggaran Rp 120 triliun.

Skenario kedua, program jaminan penghasilan semesta yang ditujukan bagi semua warga usia produktif, usia 15 tahun sampai 64 tahun, dan semua warga lanjut usia (65 tahun ke atas).

Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, Badan Pusat Statistik (BPS), total warga penerima sekitar 203 juta jiwa, yang terdiri dari 185 juta jiwa usia produktif dan 18 juta jiwa lanjut usia.

Jaminan penghasilan semesta diberikan selama tiga bulan dengan nominal Rp 500.000 tiap individu per bulan. Skema ini "hanya" membutuhkan sekitar Rp 304,5 triliun.

“Program bantuan tunai yang ada saat ini belum fit dengan krisis multidimensi yang dipicu oleh pandemi," kata Maftuch.

Menurut dia, agar daya beli masyarakat terjaga, standar hidup layak terjaga, dan kebahagiaan dapat diwujudkan, pemerintah harus segera mengeluarkan program bantuan tunai tanpa syarat.

Tak hanya untuk orang miskin?

Lantas muncul pertanyaan, bukankah dengan skema jaminan penghasilan semesta akan ada potensi masyarakat mampu atau ekonomi atas juga menerimanya? Bukankah universal basic income justru akan membebani APBN?

Maftuch tidak menampik adanya kemungkinan skema bantuan juga menyasar kelompok masyarakat yang tidak membutuhkan. Namun, ia menekankan soal upaya pemerintah yang bersifat inklusif.

Baca juga di Kompas.id: Proposal Gotong Royong

Artinya, pemerintah dapat memastikan jutaan masyarakat kelompok miskin mendapatkan bantuan.

“Dengan begitu kita dapat menyelamatkan jutaan kelompok miskin. Frame kita adalah bagaimana inklusifnya ini, untuk menyelamatkan yang lebih banyak,” tutur dia.

Selain itu, Maftuch tak sependapat dengan argumen bahwa skema jaminan penghasilan semesta justru akan membebankan APBN.

Sebab, jika dilihat dari aspek makro ekonomi, APBN akan terstimulus dengan adanya kegiatan produktif dan konsum masyarakat yang masif. Daya beli masyarakat otomatis meningkat, pajak pertambahan nilai juga meningkat.

“Itu dampak yang langsung. Dampak yang tidak langsung juga banyak. Ongkos sosialnya lebih rendah, angka kejahatan menurun,” kata Maftuch.

Sejatinya, UBI bukan pula konsep yang baru apalagi baru muncul. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun pada 2017 di salah satu sesi pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pernah mengungkap ada kajian pemerintah soal UBI.

Meskipun, Sri Mulyani pada waktu itu berbicara dalam konteks ekonomi inklusif, perubahan iklim, dan proyeksi gelombang automatisasi pekerjaan akibat disrupsi teknologi yang harus diantisipasi.

Siaran pers Kementerian Keuangan tentang hal itu dapat dibaca di link ini. Video utuh Sri Mulyani saat membahas soal hal tersebut—tak terkecuali tantangan yang dihadapi—dapat dilihat dari link ini atau dari tautan twitter di bawah ini:

Baca juga: Universal Basic Income ala Koperasi

Terkait perubahan iklim, kajian UBI dikupas antara lain oleh peneliti dari  Universitas Indonesia (UI), Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), dan World Resource Institute (WRI) Indonesia.

Presentasi mereka dalam Webinar Forum Kajian Pembangunan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 30 April 2020 dapat dibaca di link ini.

Nah, apakah UBI seharusnya juga jadi pilihan solusi untuk kondisi yang tak pernah diharapkan apalagi direncanakan seperti pandemi ini?

Gulirkan layar untuk sejumlah perspektif beserta data dan simulasinya terkait hal ini....

LANGKAH RADIKAL

PERDEBATAN lain muncul seputar ide universal basic income. Banyak pihak beranggapan, memberikan bantuan tunai tanpa syarat kepada masyarakat bukanlah keputusan yang bijak.

Masyarakat miskin dipandang tidak mampu mengelola atau memanfaatkan bantuan tunai secara tepat. Kekhawatiran yang mencuat, uang yang mereka terima akan digunakan untuk membeli barang yang tak sesuai kebutuhan.

KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Ilustrasi: Yunita, tukang rongsokan, tengah istirahat di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (22/4/2020). Akibat pandemi Covid-19, pemerintah menyatakan ada kenaikan angka kemiskinan

Rutger Bregman dalam bukunya berjudul Utopia For Realists, memiliki pandangan yang berbeda. Pandangannya ini berdasarkan eksperimen sosial pada 2009 terhadap 13 tunawisma di London yang telah hidup di jalanan selama hampir 40 tahun.

Bila dihitung, anggaran negara yang dihabiskan untuk program kesejahteraan sosial bagi ketigabelas orang itu mencapai 400.000 pundsterling hingga 650.000 poundsterling, dalam setahun. Ini setara lebih dari Rp 7,78 miliar hingga Rp 12,64 miliar menggunakan kurs hari ini.

Kemudian, Broadway, organisasi sosial di London, menginisiasi kebijakan yang cukup radikal. Ketigabelas tunawisma itu diberi bantuan tunai sebesar 3.000 poundsterling. Ini setara Rp 58,32 juta.

Bantuan diberikan tanpa syarat. Mereka bebas menggunakan uang tersebut untuk keperluan apa pun. Ternyata, eksperimen tersebut menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. 

Tak seperti tudingan bahwa orang miskin akan menggunakan uang yang didapat untuk hal-hal tak berguna seperti rokok dan minuman keras, bantuan tunai dengan angka signifikan yang memenuhi kebutuhan dasar hidup ini ternyata dimanfaatkan dengan baik dan benar.

Dalam satu tahun , ketigabelas tunawisma itu rata-rata hanya menghabiskan 800 poundsterling dari total bantuan yang mereka dapat.

Simon, salah satu tunawisma, misalnya, berhasil terbebas dari ketergantungan heroin. Hidupnya berubah drastis  berkat bantuan tersebut.

Ia mulai memperhatikan kebersihan diri dan mulai mengambil kelas berkebun. Kemudian, ia memutuskan untuk membeli rumah dan mengurus dua anaknya.

Setelah eksperimen itu berjalan selama 1,5 tahun, tujuh orang telah memiliki tempat tinggal. Dua orang memutuskan menyewa apartemen. Hidup mereka berubah dan berdaya secara mandiri, bahkan memilki rencana-rencana di masa depan.

Menurut Bregman, program tersebut tidak hanya mampu memberdayakan masyarakat miskin agar mampu mandiri, tapi juga menghemat anggaran negara. Kejahatan sosial dari kehidupan yang tak berdaya juga dapat ditekan.

Memahami orang miskin

Buku Bregman memberikan gambaran pula bahwa hal-hal buruk, ceroboh, tidak cermat, tidak optimal, dan tidak bervisi masa depan yang kerap disematkan kepada orang miskin tidaklah adil.

Sejumlah riset—yang sebagian di antaranya juga ditautkan dalam buku ini—menunjukkan, pemberian dana tunai yang signifikan secara sekaligus kepada orang miskin langsung menepis segala tudingan negatif tersebut.

Beragam persoalan sosial pun merosot drastis begitu kemiskinan teratasi, ini termasuk gangguan kejiwaan dan masalah perilaku anak-anak dari kawasan miskin.

Orangtua pun punya waktu yang lebih longgar untuk anak-anaknya, bukannya berjibaku memburu setiap sen hanya sekadar untuk memastikan besok bisa makan.

Bregman mengutip pula hasil riset dari Eldar Shafir dan Sendhil Mullainathan. Shafir adalah psikolog dari Princeton University, sementara Mullainathan adalah ekonom di Harvard.

Dua orang ini menyatakan, masalah orang miskin adalah hilangnya fokus untuk berpikir hal-hal yang lebih baik apalagi jangka panjang, karena mereka secara terus-menerus dihantui tagihan dan pemenuhan hal-hal dasar.

Gambaran sederhananya, orang miskin ini bak komputer jadul tetapi dipaksa oleh keadaan untuk menjalankan 10 program berat keluaran hari ini. Hasilnya, sudah lambat, bisa-bisa malah hang tak bergerak.

"Bukan karena komputer (jadul) itu jelek, tapi karena harus mengerjakan terlalu banyak hal dalam satu waktu, melebihi kapasitasnya," ungkap Shafir.

Shafir dan Mullainathan menyebut, persoalan orang miskin yang kemudian diasosiasikan dengan kejahatan, pilihan bodoh, tidak pintar di sekolah, ceroboh, dan seterusnya itu sebagai mental bandwith.

Bukan mereka bodoh, tetapi mental dan pikiran mereka tergerus oleh kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi secara tambal sulam, dan itu berlangsung terus-menerus sepanjang waktu.

Karena itu, alternatif memberikan dana yang memang memadai untuk mencukupi kebutuhan dasar mendapatkan argumentasi.

Kalau memberinya hanya ala kadar dan tetap tak memenuhi kebutuhan dasar, barulah itu akan jadi lingkaran tak berujung persoalan kemiskinan.

UBI, PANDEMI,
DAN RISIKO KEMISKINAN
DI INDONESIA

BERAGAM riset, data, dan fakta kenyataan di lapangan memperlihatkan, situasi pandemi ini menambah daftar orang miskin lewat cara yang tak pernah dikira. Bukan mau bantu promosi apalagi dibayar untuk ini, coba saja tonton akun YouTube Baim Paula.

Di antara banyak unggahan di akun ini—yang sebagian tak terhindarkan menggambarkan kekayaan selebritis—, kesusahan orang yang menjadi-jadi karena pandemi muncul mengiris hati.

Ada banyak lelaki menangis tanpa air mata karena tak tahu lagi cara menafkahi keluarga meski sudah bersimbah peluh tapi terbatasi pandemi. Sebaliknya, ada ucapan terima kasih yang tak terkatakan selain lewat ekspresi syukur sekaligus tak percaya dalam satu ketika.

Riset Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) yang didukung Perkumpulan Inisiatif, FITRA, dan International Budget Partnership (IBP), misalnya, mendapati banyak orang miskin bertambah miskin, yang nyaris miskin jadi miskin.

Baca juga: Mereka yang Terpaksa Berdamai dengan Pandemi Covid-19 dan Cengkeraman Oligarki...

Digelar pada 14 April 2020-13 Mei 2020, survei ini mendapatkan respons dari 3.598 kepala keluarga di DKI Jakarta. Para responden tersebar di 94 kelurahan dari enam wilayah administrasi Ibu Kota.

Salah satu hasilnya, dari semula 2.310 keluarga dampingan SPRI yang masuk kategori sangat miskin sebelum pandemi, keluarga sangat miskin bertambah menjadi 3.194 setelah pandemi. Lalu, 73 persen responden memenuhi kriteria mendapat PKH tetapi belum mendapatkannya hingga saat survei itu dijalankan.

Dari sekian banyak fakta, 92 persen responden kedapatan adalah keluarga yang tak punya aset untuk jaga-jaga dalam kondisi ekonomi sulit. Pada kurun waktu itu saja, 60 persen responden mengaku sudah ada anggota keluarga yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Hasil Survei SPRI pada 14 April 2020-13 Mei 2020, terkait Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Pandemi - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Itu baru di DKI Jakarta. Bagaimana dengan kota dan kabupaten lain di 33 provinsi?

Menteri Sosial Juliari P Batubara, Rabu (3/6/2020), mengakui angka kemiskinan telah melonjak 4 persen, dari 9,22 persen sebelum pandemi Covid-19 menjadi 13,22 persen pada saat dia mengungkap data tersebut.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan 9,22 persen merupakan data hingga September 2019. Data terkini untuk angka kemiskinan yang dilansir BPS pada Rabu (15/7/2020), untuk periode hingga Maret 2020, adalah 9,78 persen.

Tren dan Sebaran Kemiskinan di Indonesia 2019-2020 - (DOK KOMPAS/ANDRI)

Lewat paparan virtual, Kepala BPS Suhariyanto telah mengakui ada penurunan pendapatan di seluruh lapisan masyarakat. Untuk masyarakat lapisan bawah atau berpendapatan rendah, sebut dia, 70 persen mengaku pendapatannya turun selama pandemi.

Dari kelas masyarakat berpendapatan tinggi, dengan batas pendapatan di atas Rp 7,2 juta, menurut Suhariyanto ada 30 persen yang juga mengaku telah mengalami penurunan pendapatan selama pandemi.

"Pandemi Covid-19 ini menghantam seluruh lapisan masyarakat dan dampaknya terasa lebih dalam ke masyarakat lapisan bawah," kata Suhariyanto.

Temuan dari data kinerja ekonomi

Angka kemiskinan terbaru setelah Maret 2020 memang belum muncul. Namun, data kinerja ekonomi Indonesia hingga kuartal II 2020 sudah pula memberikan sejumput gambaran.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun telah mengakui bahwa data kemiskinan hingga Maret 2020 saja sudah melampaui perkiraan dalam skenario berat yang sebelumnya dibuat pemerintah.

Dalam skenario berat, jumlah orang miskin diperkirakan bertambah 1,1 juta orang karena pandemi. Adapun dalam skenario yang lebih berat, akan ada tambahan 3,78 juta orang miskin dari pandemi ini.

Loading...

Lalu, data kinerja ekonomi hingga kuartal II 2020 pun perlu dibedah lebih dalam. Penurunan konsumsi rumah tangga, ungkap Ah Maftuchan dari Perkumpulan Prakarsa, harus jadi peringatan kencang soal ekonomi ini.

"Langkah paling cepat dan tepat saat ini adalah menjaga household purchasing power, tidak hanya di level rumah tangga miskin atau tidak mampu tetapi juga di level rumah tangga menengah dan menengah atas," tegas Maftuch.

Konsep jaminan penghasilan semesta, lanjut dia, dapat menjadi strategi menjaga daya beli tersebut. Karena, bentuknya tunai, tanpa syarat, dan diberikan kepada semua warga negara—bukan hanya sebagian warga negara—, cepat, dan sederhana teknis penyalurannya.

Menurut Maftuch, sejumlah daerah sudah menerapkan konsep universal basic income (UBI) ini. Bentuknya, ujar dia, memang ala lokal. Seperti, penerima bantuan tunai diminta kerelaan tak menerima dana utuh, dengan sebagian yang lain disisihkan lalu dibagikan kepada seluruh warga.

"(Pembagian uang tunai seperti) itu akan mendorong 'kemerdekaan' menentukan pilihan-pilihan konsumsi sekaligus dapat digunakan untuk kegiatan konsumtif dan produktif secara bersamaan," kata Maftuch.

Dengan konsep UBI, Maftuch berpendapat sisi pasokan dan permintaan akan bersamaan terakomodasi. Pemerintah, kata dia, tinggal mengkonsolidasi ulang ragam perlindungan sosial yang telah ada selama ini tetapi terpecah-pecah di banyak kementerian dan lembaga.

"Jika konsumsi rumah tangga terjaga, resesi tidak akan terlalu dalam," tegas Maftuch.

Pemberian jaminan penghasilan dalam wujud tunai seperti ini pun, imbuh Maftuch, akan membantu menekan dan mencegah penularan virus corona.

Dengan uang untuk kebutuhan dasar terpenuhi, lalu aneka transaksi dan aktivitas bisa dilakukan lewat layanan dalam jaringan (daring), orang akan lebih bersedia untuk tinggal di rumah.

Konsep dan simulasi alternatif bansos

Terpisah, anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, pun mengingatkan lagi konsep bantuan sosial (bansos) yang selama ini bisa jadi terlewatkan karena praktik "biasanya begitu".

Menurut Alamsyah,  pemberian bansos memiliki tiga tujuan. Yaitu, mengatasi kesenjangan konsumsi, mengatasi kerentanan sosial ekonomi, serta mempertahankan kualitas hidup. Bentuknya, sebut dia, ada kompensasi, afirmasi, dan subsidi.

Selama ini, lanjut Alamsyah, pendataan warga Indonesia—yang antara lain berujung pada penentuan penerima bansos— terlalu fokus pada kriteria kesenjangan. Faktor kerentanan sosial ekonomi tak diterapkan. Adapun faktor kualitas hidup dipakai sporadis dan tak terintegrasi.

"Informality yang mendominasi lapangan kerja di Indonesia, mendekati 60 persen, adalah bukti bahwa pendekatan (intervensi program) di Indonesia selama beberapa dekade tak mengalami kemajuan," ungkap Alamsyah,  dalam diskusi bersama SPRI, Jumat (26/6/2020).

Baca juga: Cerita Sri Mulyani saat Pertama Luncurkan BLT: Ada yang Uangnya Dipakai DP Motor

Itu baru di kondisi normal tanpa ada pandemi. Bagaimana dengan kondisi terkini terkait pandemi yang butuh warga tinggal di rumah tetapi terjepit kondisi ekonomi?

Alamsyah menyebutkan ada dua pendekatan bansos yang dapat dipilih. Yaitu, model degresif dan model fixed.

Bansos dengan model degresif diberikan berjenjang. Makin besar pendapatan seseorang maka bansos yang diterima makin kecil. 

Adapun bansos model fixed memberikan bantuan dengan nominal sama untuk semua tingkat pendapatan kelompok sasaran.

Model Bantuan Sosial dalam Pandemi - (DOK OMBUDSMAN/ALAMSYAH SARAGIH)

Pilihan model bansos saat pandemi ini, ungkap Alamsyah, memiliki dua fungsi, yaitu subsidi dan kompensasi.

Bansos pandemi adalah subsidi atas kehilangan pendapatan akibat krisis, sekaligus sebagai kompensasi hilangnya peluang berusaha akibat pembatasan aktivitas.

"Karenanya, (bansos pandemi) dari sisi nilai cenderung lebih besar," ujar Alamsyah.

Bila Indonesia berkeinginan menggunakan model bansos degresif seperti yang berlaku di Kanada, Alamsyah menyebut kualitas data akan menjadi tantangan.

"Model degresif lebih hemat dan adil tetapi sulit diterapkan di Indonesia karena informality tinggi, ada kesulitan administratif untuk mengindentifikasi tingkat pendapatan," ungkap Alamsyah.

Adapun model fixed dapat dinilai kurang adil bagi kelompok berpenghasilan rendah. Namun, model ini akan dapat pula menciptakan cadagnan konsumsi bagi sebagian masyarakat penerima bantuan.

Analisis Risiko Ekonomi Rumah Tangga akibat Pandemi - (DOK OMBUDSMAN/ALAMSYAH SARAGIH)

Dalam kajian Ombudsman, Covid-19 secara umum akan menyebabkan turunnya permintaan disertai kehilangan daya beli baik karena berkurangnya permintaan global maupun penerapan pembatasan sosial.

Kelompok miskin dan rentan miskin akan menjadi kelompok pertama yang kehilangan daya beli drastis akibat sumber pendapatan terdampak PSBB.

Ini mencakup 25,4 persen rumah tangga di Indonesia dengan penghasilan hingga 1,5 kali garis kemiskinan. Jumlahnya, sekitar 18,2 juta rumah tangga, merujuk data Susenas hingga Maret 2019 yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS).

Baca juga: Quo Vadis PSBB?

Selain kelompok miskin dan rentan miskin, pandemi Covid-19 pun diyakini berdampak signifikan pada penghidupan sebagian kelompok rumah tangga di atas rentan miskin. Mereka juga berpotensi jatuh ke tingkat bawah akibat sumber penghasilan terdampak pembatasan selama pandemi.

Sebagian kelompok di atas rentan miskin ini mencakup 17,4 persen rumah tangga di Indonesia, dengan penghasilan antara 1,5 kali sampai dua kali garis kemiskinan. Jumlahnya, 12,4 juta rumah tangga.

Hal ini tak terlepas dari fakta temuan BPS dalam Susenas hingga Maret 2019 bahwa 57,3 persen rumah tangga Indonesia menggantungkan penghidupan dari sektor informal.

Analisis Risiko Ekonomi Rumah Tangga akibat Pandemi dari Jenis Pekerjaan - (DOK OMBUDSMAN/ALAMSYAH SARAGIH)

Salah satu simulasi yang dipaparkan Alamsyah menerakan angka bantuan sosial setara 1,75 garis kemiskinan konsumsi, untuk tak ada lonjakan angka kemiskinan akibat pandemi. Sasaran penerima bantuan mencakup 24,9 juta rumah tangga.

Dengan garis kemiskinan konsumsi senilai Rp 1,99 juta menurut data BPS, nilai bansos ideal di level 1,75 persen garis kemiskinan tersebut bernilai Rp 3,5 juta.

Dengan angka ini, mereka yang sebelum pandemi berada pada kelompok rentan miskin dan di atas rentan miskin tak perlu terseret turun menjadi miskin.

Namun, ada pula sejumlah simulasi lain meski hasil yang didapat tak sesignifikan bila bantuan diberikan sebesar 1,75 kali garis kemiskinan tersebut.

Simulai Bansos berdasarkan Garis Kemiskinan - (DOK OMBUDSMAN/ALAMSYAH SARAGIH)

Berapa dana yang harus disiapkan pemerintah?

Dengan nominal Rp 600.000 seperti yang sebelumnya dibagikan ke masyarakat, untuk waktu tiga bulan, pemerintah harus mengalokasikan Rp 44,8 triliun.

Bila yang dipakai adalah bantuan dengan nominal sesuai angka garis kemiskinan makanan (GKM) Rp 1,466 juta, butuh dana Rp 104,8 triliun untuk tiga bulan.

Adapun bila besaran penerima bantuan sampai garis kemiskinan (GK), dibulatkan Rp 2 juta, butuh dana Rp 149,4 triliun.

Bedanya di mana? Sama-sama menyasar kelompok miskin dan rentan miskin, semakin besar nominal yang diberikan, peluang hilangnya pendapatan dan akses berusaha pun makin kecil.

Baca juga: Selain Masyarakat Miskin, BLT Dialokasikan untuk Driver Ojol dan Pegawai Mal

Sasarannya, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pun bisa meningkat karena kebutuhan dasar tak lagi jadi persoalan. Barulah setelah itu kita kembali bicara ekonomi.

Seperti kata Dradjad, kalau mau ekonomi pulih, sekali lagi tolong selesaikan dulu pandeminya.

Tak hanya melarang tetapi juga butuh solusi untuk bikin orang mau sementara waktu bertahan di rumah, tanpa harus pusing bagaimana cara bayar kontrakan bahkan makan apa nanti malam.

Melihat situasi saat ini, diperlukan cara-cara yang radikal untuk menyelamatkan masyarakat miskin dari jurang krisis akibat pandemi.

Banyak negara yang memberlakukan pembatasan sosial pun menerapkan konsep UBI ini, termasuk negeri jiran. Tujuannya jelas, mencegah penularan virus dengan membatasi interaksi sembari memastikan kebutuhan dasar—tak hanya sembako dan makan—terpenuhi.

Pelajaran dari masa lalu pun membuktikan, wilayah yang lebih cepat memastikan daerahnya membatasi interaksi demi mencegah penularan wabah juga adalah wilayah yang ekonominya paling cepat pulih. Kasus flu pada 1918 adalah pelajaran besar untuk pandemi ini.

Pada krisis moneter 1998, wong cilik dan UMKM disanjung sebagai penyelamat ekonomi saat orang-orang kaya terjerembab, karena transaksi dan interaksi dapat terus terjadi. Kali ini, wong cilik pun tak bisa banyak berbuat dalam aneka keterbatasan dan pembatasan.

Majalah The Economist pernah menulis, the most efficient way to spend money on the homeless might be to give it to them.

Tabik....


Loading...