Kasus Covid-19 masih banyak tapi mencuat gelagat pelonggaran PSBB. Apakah kita tengah digiring menuju herd immunity? Atau ada apa? Quo vadis PSBB?
BELAKANGAN publik ribut soal rencana-rencana pemerintah yang terkesan akan melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kebijakan yang dipilih Indonesia untuk menghadapi pandemi penyakit akibat varian baru virus corona (Covid-19).
Kesan itu dimulai dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (7/5/2020), yang meminta kita berdamai dengan Covid-19 selama vaksin belum ditemukan.
Meskipun, pernyataan tersebut "dikoreksi" oleh istana pada esok harinya. Berdamai dengan Covid-19 dibilang artinya kita berada dalam keadaan “new normal”.
Masyarakat Indonesia diminta untuk hidup seperti saat ini, yaitu mengenakan masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak aman (physical distancing).
Pernyataan yang bikin risau selanjutnya datang dari Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 Doni Monardo, Senin (11/5/2020).
Dengan alasan menekan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), warga berusia 45 tahun ke bawah diizinkan beraktivitas kembali.
Lagi-lagi ada koreksi, sehari berselang.
Menurut Doni, pelonggaran itu hanya untuk mereka yang bekerja di 11 bidang industri yang sudah diatur dalam peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Jauh hari sebelumnya, Jokowi juga sudah membuat publik kebingungan dengan kebijakannya yang berubah-ubah soal mudik. Bahkan, Jokowi sampai menegaskan beda makna antara mudik dan pulang kampung.
Padahal, penanganan Covid-19 masih menuai banyak kritik. Angka kasus pun belum bisa dibilang surut. Yang terjadi, di Ibu Kota belum reda, kasus Covid-19 pun malah makin banyak di provinsi lain.
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto menyebutkan, kasus positif yang masih terus ada ini disebabkan banyak masyarakat tak disiplin untuk tetap berdiam di rumah dan menerapkan protokol kesehatan.
"Manakala kasus positif bertambah terus, artinya masyarakat belum sepenuhnya berdisiplin untuk menerapkan pencegahan penularan," kata Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB, Rabu (13/5/2020).
Wajar bila kegelisahan publik lalu menyeruak dengan kebijakan yang saling tabrak. Ini belum menyebut sejumlah kebijakan yang diinisiasi pemerintah daerah tetapi lalu dimentahkan pemerintah pusat....
Apakah kita sedang dibawa ke moda herd immunity? Siapa yang kuat akan bertahan dengan sendirinya, kalau tidak kuat ya selamat jalan? Atau ada penjelasan lain?
Hendak kemana PSBB dan arah kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia? Quo vadis PSBB?
MESKI ada UU Kekarantina Kesehatan yang di dalamnya mencakup protokol penanganan wabah seperti Covid-19 ini, pemerintah memilih menerapkan kebijakan PSBB.
PSBB sebagai langkah penanganan Covid-19 dinyatakan Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020, hampir sebulan setelah kasus positif di Indonesia diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020.
"Kami telah memutuskan dalam ratas kabinet bahwa opsi yang kami pilih adalah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB," ujar Presiden dalam konferensi pers, Selasa (31/3/2020).
Saat itu sejumlah pihak sudah mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown di zona merah Covid-19. Namun, lockdown tak menjadi opsi yang diambil oleh pemerintah.
Jokowi mengatakan, lockdown tak ditempuh karena seluruh aktivitas perekonomian harus berhenti. Jika langkah itu ditempuh, pemerintah pun harus memenuhi kebutuhan hidup warga sesuai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
"Kami ingin tetap aktivitas ekonomi ada. Tapi masyarakat, kita semua, harus jaga jarak aman, social distancing, physical distancing. Itu yang paling penting," kata Jokowi.
Setelah Jokowi memutuskan PSBB, satu demi satu sejumlah daerah mengajukan penerapan PSBB kepada pemerintah pusat. Penerapan PSBB mensyaratkan persetujuan dari Kementerian Kesehatan.
Payung hukum penerapan PSBB adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yang ditandatangani Menteri Kesehatan pada 3 April 2020.
Hingga 15 Mei 2020, ada 4 provinsi dan 27 kabupaten kota yang menerapkan PSBB.
Jumlah daerah yang menerapkan PSBB ini memperlihatkan peningkatan. Padahal, ada sejumlah daerah yang pernah menerapkan PSBB tak mengajukan perpanjangan setelah masa berlakunya terlewati.
Untuk pembanding, tabel berikut ini adalah data daerah yang menerapkan PSBB dalam rekapitulasi hingga 6 Mei 2020.
Sudah ada PSBB pun, kasus Covid-19 di Indonesia juga tak serta-merta berhenti bertambah. Korban meninggal terus berjatuhan pula, dengan angka kesembuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan tren global.
Saat Jokowi mengumumkan keputusan soal pilihan kebijakan PSBB, ada 1.528 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Namun per Sabtu (16/5/2020) ini, sudah ada 17.025 kasus positif.
Presiden Jokowi, Selasa (12/5/2020), pun mengakui bahwa pelaksana PSBB belum sepenuhnya efektif menekan laju penyebaran virus corona.
Menurut dia, hasil dari PSBB bervariasi di sejumlah daerah karena pelaksanaannya juga dengan aktivitas yang berbeda-beda.
Jokowi mengatakan, ada daerah yang penambahan kasus barunya mengalami penurunan secara gradual, konsisten, meski tidak drastis.
Sebaliknya, ada daerah yang penambahan kasus baru terus terjadi laiknya sebelum menerapkan PSBB.
Pakar Epidemi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menilai masih ada daerah yang belum maksimal dalam penerapan PSBB. Indikasinya, tidak sedikit masyarakat yang masih terlihat beraktivitas di luar rumah.
Berdasarkan hasil pemodelan terbaru yang dibuat, rata-rata masyarakat yang tetap di rumah selama pelaksanaan PSBB secara nasional masih sekitar 50 persen.
Di provinsi seperti Jawa Tengah bahkan tingkat kepatuhan masyarakat untuk tetap di rumah masih di bawah 40 persen.
MESKI laju penyebaran virus corona masih terus terjadi, pemerintah justru berencana melakukan relaksasi atau pelonggaran PSBB.
Rencana ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Mahfud menyebut relaksasi diperlukan agar kegiatan perekonomian di masyarakat selama masa pandemi Covid-19 tetap berjalan. Namun, kata dia, tetap ada batasannya.
"Ekonomi harus tetap bergerak, tetapi di dalam (batasan) kerangka protokol kesehatan itu. Itulah yang disebut relaksasi," ujar dia seperti dikutip dari siaran Kompas TV pada Senin (4/5/2020).
Setelah pernyataan Mahfud itu, pemerintah mulai membuat kebijakan dan pernyataan yang memperkuat gelagat pelonggaran PSBB tersebut.
Misal, Kementerian Perhubungan membuka kembali operasional seluruh moda transportasi antar-kota, baik angkutan darat, laut, maupun udara.
Kemenhub beralasan, pembukaan transportasi ini ditujukan hanya terbatas kepada penumpang dengan kepentingan khusus yang ditetapkan dalam Surat Edaran Gugus Tugas.
Pelonggaran transportasi ini tetap tidak berlaku bagi warga yang hendak mudik atau pulang kampung. Larangan mudik dibilang tetap berlaku pula.
Faktanya, pelonggaran ini langsung memunculkan kepadatan di Bandara Internasional Soekarno Hatta pada Kamis (14/5/2020).
Pernyataan Jokowi soal berdamai dengan Covid-19 dan lontaran Doni Monardo soal dibolehkannya warga berusia di bawah 45 tahun untuk beraktivitas kembali, menggenapi kesimpangsiuran langkah penanganan Covid-19 di Indonesia, sekalipun ada "pelurusan" segera sesudahnya.
Belum lagi menyoal ungkapan dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Efendi yang menyebut pemerintah memang mempertimbangkan pelonggaran PSBB.
Padahal, sebelumnya juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menegaskan PSBB masih menjadi cara terbaik untuk menghadapi wabah ini.
Penjelasan soal "new normal" lalu jadi dalih. Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, misalnya, menggunakan frasa itu untuk memperjelas maksud pernyataan "berdama dengan Covid-19" yang dilontarkan Jokowi.
"Ya, artinya jangan kita menyerah. Hidup berdamai itu penyesuaian baru dalam kehidupan. Ke sananya yang disebut the new normal. Tatanan kehidupan baru," kata dia.
Jokowi juga belakangan menginstruksikan gugus tugas untuk membuat simulasi pelonggaran PSBB. Namun, Jokowi mengingatkan bahwa pelonggaran ini harus dilakukan secara hati-hati, tidak tergesa-gesa, dan berdasarkan fakta lapangan.
Berbagai kebijakan dan pernyataan pemerintah dan otoritas itu memunculkan kekhawatiran akan diterapkannya strategi herd immunity atau kekebalan kelompok di Indonesia.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mewanti-wanti bahwa penggunaan strategi herd immunity untuk mengatasi pandemi virus corona sangat tidak etis.
"Pilihan itu sangat tidak etis karena akan menyebabkan sebagian penduduk terinfeksi dan meninggal," kata Pandu, Rabu (13/5/2020).
Herd immunity merupakan konsep epidemiologi ketika penyebaran penyakit menular akan terhambat karena sekelompok populasi kebal terhadap penyakit itu.
Menurut Pandu, untuk menimbulkan herd immunity, sekitar 70 persen masyarakat harus terinfeksi Covid-19 terlebih dahulu.
"(Jika langkah itu dipilih), rumah sakit bakal kewalahan dan tingkat kematiannya akan tinggi. Kita kan harus menekan kematian bukan hanya menekan kasus," ungkap dia.
Di kalangan medis internasional, herd immunity pun disebut sebagai konsep berbahaya.
Kekebalan kelompok, sebutan sederhana untuk herd immunity, baru akan efektif kalau setidaknya 80-95 persen populasi telah mendapatkan vaksinasi atau memiliki kekebalan karena pernah terinfeksi.
Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO, Mike Ryan, tidak sanggup membayangkan ada negara yang "secara ajaib" mengatasi wabah ini dengan konsep kekebalan kelompok pada tataran saat ini.
"Ini adalah kalkukasi yang sangat berbahaya. Saya tidak yakin jika ada negara yang berani membuat keputusan ini," papar Ryan, seperti dikutip dari Telegraph, Selasa (12/5/2020).
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Sally A Nasution, risiko yang dihadapi Indonesia akan sangat besar bila sampai herd immunity jadi pilihan langkah menghadapi Covid-19.
Ini terkait juga dengan data penderita beragam penyakit lain yang memperburuk risiko Covid-19. Sally menyebut, ada 1,5 persen orang Indonesia mengidap penyakit kardiovaskuler, 10,9 persen diabetes, 3,7 persen paru kronis, hipertensi 34 persen, kanker 1,8 persen per 1 juta penduduk, dan 3 persen autoimun.
Kalaupun orang Indonesia di rentang usia produktif benar-benar punya imunitas yang baik, lanjut Sally, data-data di atas tetaplah terlalu fantastis untuk "dikorbankan". Belum lagi, ada 9,6 persen orang Indonesia berusia lanjut dan sekitar 26 persen usia non-produktif.
Belum lagi, penyakit akibat varian baru virus corona ini juga belum benar-benar diketahui karakternya, apalagi respons imun badan kita terhadapnya.
Gelagat pelonggaran PSBB pun mengundang banyak kritik karena landasan data dianggap tak transparan bahkan tidak jelas. Selama ini, data yang diumumkan pemerintah tak jauh dari data kasus.
Padahal, proyeksi siklus wabah membutuhkan data epidemik. Ini mencakup data pergerakan dari pasien yang sudah dikonfirmasi positif Covid-19, termasuk melacak perkiraan waktu terinfeksi dan siapa saja yang berinteraksi dengannya sejak saat itu.
Pelacakan memang dilakukan otoritas kesehatan atas aktivitas dan pergerakan pasien Covid-19. Namun, para pakar epidemiologi menyebut, data yang terkumpul belum memenuhi standar kebutuhan penyusunan kurva epidemiologi.
Terlebih lagi, tes Covid-19 di Indonesia pun masih terlalu sedikit. Tes yang dibutuhkan pun tidak cukup bila berupa tes cepat (rapid test)—yang oleh banyak pakar dinyatakan tak cukup akurat menjerat pertanda infeksi virus corona.
Hasil yang bisa disebut sebagai terkonfirmasi butuh uji reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) dan tes cepat molekuler (TCM).
Faktanya, sejak 1 April 2020 hingga 16 Mei 2020, baru 181.890 spesimen diperiksa menggunakan RT-PCR dan 928 memakai TCM, dengan 135.193 orang (kasus) yang diperiksa menggunakan RT PCR dan 533 orang melalui TCM.
Jumlah "yang tak seberapa sekali" dibandingkan jumlah penduduk Indonesia bahkan yang hilir mudik di Jakarta, bukan?
MASYARAKAT galau dengan kesan PSBB yang tak dijalankan dengan benar. Sudah begitu, sebagian masyarakat pun meng-angin lalu-kan PSBB.
Ada saja malah yang berkeyakinan Covid-19 tidaklah berbahaya dan mematikan, tidak lebih dari konspirasi dan pemberitaan yang dibesar-besarkan.
Wartawan Kompas.com, Rakhmat Nur Hakim dan Fabian Januarius Kuwado, berkesempatan mewawancarai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, di kantornya, Selasa (12/5/2020), membahas polemik PSBB ini.
Berikut ini petikan wawancaranya, dalam format tanya jawab:
(Penerapan PSBB) on the track.
Dari Sumatera Barat menyampaikan, dengan PSBB itu perkembangannya sangat-sangat positif. Jakarta juga perkembangannya positif. Bali tidak ada PSBB tetapi menuju ke positif.
Setelah semuanya kami dengarkan, ada pendekatan-pendekatan kultural yang dijalankan.
Pendekatan kultural yang di Bali adalah menjalankan masyarakat adat. Masyarakat Bali itu siaga berbasis desa adat. (Mereka) membangun satgas gotong royong berbasis desa adat.
Yang di Jakarta membangun Satgas RT/RW, gugus kampung tapi menggunakan RT/RW.
Di Sumatera Barat juga pendekatan kultur. Semuanya itu menghasilkan kondisi yang baik.
Khusus di Jawa Timur, karena perkembangannya cukup signifikan, pendekatan sedikit berbeda karena di sana ada (Korps) Marinir (TNI AL).
Biasanya orang Jawa Timur itu sangat dekat dengan Marinir khususnya Kota Surabaya. Marinir akan diturunkan nanti ke desa-desa, ke komunitas-komunitas.
Dengan gaya Marinir, itu diharapkan nanti bisa sosialisasinya lebih.
Inilah kira-kira pendekatan-pendekatan efektivitas. Harus cari cara yang terbaik. Bagaimana efektivitas dari penyelesaian konflik ini (agar) bisa selesai cepat.
Kami saat ini sedang (dalam) proses yang berkelanjutan untuk mengevaluasi.
Presiden menyelenggarakan (evaluasi itu) satu minggu dua kali untuk melihat efektivitas PSBB di setiap wilayah.
Dari situ sebenarnya fokus kami adalah masih kepada PSBB. Jadi, mengenali hasil dari yang dievaluasi terus-menerus, mengenali berbagai kesulitan dalam penyelenggaraan PSBB.
Kami juga membandingkan dengan (data wilayah) yang non-PSBB. Dari situ kan biasa kita selalu membangun scenario planning. Kalau situasinya begini, nanti kira-kira apa yang akan kita rencanakan.
Ke depan kalau situasinya memburuk, (atau sebaliknya) kalau situasinya menuju ringan, seperti apa (tindakan yang harus diambil). Kalau situasinya sedang, (langkahnya) seperti apa. Kalau (situasinya) berat, (harus melakukan) apa. Itu skenario-skenario yang dibangun seperti itu.
Kalau muncul skenario ringan maka bisa-bisa nanti akan dijalankan kelonggaran atau (istilahnya) kemarin yang sempat terlontar relaksasi.
Tapi Presiden (Joko Widodo) tadi juga sangat menekankan (untuk) hati-hati dalam melakukan pelonggaran. Harus betul-betul dihitung dengan saksama, seteliti mungkin. Agar jangan sampai salah.
Setidak-tidaknya ada tiga persyaratan atau prasyarat ketika kita akan melakukan pelonggaran (PSBB). Itu enggak boleh serta-merta.
(Prasyarat itu, dari) epidemologinya itu kita lihat seperti apa. Apakah terjadi berkurangnya jumlah kasus suspect dan kematian dalam kurun waktu sedikitnya 14 hari. Jadi enggak boleh (pelonggaran) itu tanpa ada kalkulasi.
Berikutnya, kita lihat kesehatan publik seperti apa. Apakah jumlah tes dan contact tracing itu bertambah dari waktu ke waktu. Presiden menginginkan ada 10.000 untuk jumlah tes PCR (polymerase chain reaction). Itu yang sekarang lagi dikejar.
Juga, (bagaimana dengan) proporsi kesadaran masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Apakah cuci tangan itu masih dijalankan dengan baik. Pakai masker (atau) enggak, physical distancing (berjalan atau) enggak?
Ini harus dievaluasi. Jangan seperti kemarin begitu Sarinah buka udah physical distancing-nya gagal lagi.
(Prasyarat) yang ketiga adalah fasilitas kesehatannya. Bagaimana tenaga kesehatannya? Kita juga menghadapi tenaga kesehatan yang kena positif (Covid-19). Juga ada PDP, ODP juga. Itu harus dihitung.
Jangan sampai nanti jumlah tenaga medis berkurang. APD-nya tambah tapi jumlah manusianya (berkurang), enggak ada gunanya. Semuanya serba dihitung. Terus (dicek juga) peningkatan kapasitas ICU seperti apa, ventilatornya seperti apa.
Minimum tiga hal itu ya. Epidemiologisnya bagaimana, kesehatan publiknya kita lihat, bagaimana fasilitas kesehatan. Itu sebagai minimumlah persyaratan dasar (untuk pelonggaran PSBB).
Saya pikir itu sama dengan pengajuan PSBB. Karena yang tahu persis daerahnya ya kepala di wilayahnya masing-maisng.
Kalau nanti berlawanan dengan kehendaknya pemda, ya repot. Jadi lebih dominan bagaimana pemda menyikapi situasi.
Sama. Enggak berubah, PSBB. Mudik dilarang, aktivitas dibatasi.
Sebelum ke sana, sedikit yang perlu juga saya sampaikan, kita mengenal istilah baru yang disampaikan oleh Presiden, (yaitu) berdamai dengan Covid-19.
Maksudnya itu begini....
Covid-19 kini telah membawa sebuah perubahan baru dalam perilaku bahkan bisa dikatakan new world order, new normal. Bisa saja ini menjadi konteks new world order, ada tatanan baru dunia dalam menyikapi situasi. Dalam konteks ini, oke-lah kita menuju new normal.
Covid-19 Ini adalah sebuah situasi yang riil dihadapi dan kita belum tahu kapan sebenarnya selesai vaksin itu ditemukan. Maka, kita harus berdamai dengan Covid-19.
Covid-19 maunya kalau kamu mau berdamai dengan saya (Covid-19), pakailah masker. Kalau saya lawan (kemauan Covid-19 itu), enggak usah saya maskeran. Saya lawan berarti saya akan kena.
Covid-19 mintanya kamu cuci tangan dong. (Maka), cuci tangan.
Kita berdamai, kita itu jaga jarak agar jangan mudah ketularan. Itulah pemahaman dalam konteks yang lebih jauh tentang damai dengan Covid-19.
Kan sebelumnya kita tidak mengenal (kebiasaan) pakai masker, cuci tangan. Tapi kan sekarang akan memasuki kehidupan baru. Kita berdamai dengan situasi Itu.
Kalau enggak, kita resisten terus, ah saya enggak mau, saya enggak mau, itu malapetaka. Sebenarnya di sini saja yang pemahaman atas diksi (berdamai dengan Covid-19). Maksudnya itu segera menyesuaikan itu.
Ada dua poin sebenarnya (soal) pelonggaran (PSBB) itu.
Presiden lebih menekankan ke dalam (kabinet dan pemerintahan). Baru tadi (Selasa, 12 Mei 2020), berbicara tentang pelonggaran untuk kita betul memikirkan dengan sebaik-baiknya.
(Pembahasan) itu lebih ke dalam (pemerintahan). (Baru akan ada langkah) setelah kami membangun scenario planning tadi. Apa tahapan-tahapan kebijakan yang harus dimainkan.
Ya tadi, kalau kondisinya ringan, sedang, berat, masing-masing ada strategi menanganinya.
Yang kedua, tadi itu, masalah pemahaman masyarakat yang berdamai tadi, menyesuaikan kehidupan sehari-hari dengan bisa mengikuti maunya Covid-19.
Imbauan saya kepada masyarakat, saya pikir kita semua ingin Covid-19 segera selesai. Maka, satu, ayo sama-sama ikuti protokol kesehatan.
Cuci tangan terus menerus. Kalau kita masih ragu, cuci tangan lagi, kenakan masker. Tetap menjaga phisycal distancing dengan baik.
Yang kedua, membangun gotong royong. Ini enggak bisa persoalan ini diselesaikan oleh pemerintah, pemda. Enggak bisa.
Dibutuhkan sikap gotong royong. Karena dampak Covid-19 ini bukan hanya masalah kesehatan melainkan juga ekonomi dan sosial. Maka, gotong royong harus dimasifkan.
Saya juga perlu mengucapkan rasa terima kasih karena berbagai komunitas sekarang aktif bergotong royong di mana-mana. Ini luar biasa. Konsep di Jakarta dan Bali hampir sama, gotong royong dan (pendekatan) budaya.
Saya kira ini pesan saya kepada masyarakat. Kalau itu berhasil dijalankan dengan baik, kita membuat proyeksinya menjadi mudah.
(Misal), ok target kita (wabah) sampai akhir Juni (2020), itu bisa kita ikuti perkembangannya dengan baik.
Kalau enggak begitu, (kasus Covid-19 di) kita nanti naik, turun, naik, turun. Kapan selesainya?