JEO - Insight

Catatan
Tragedi Bom Thamrin: Direncanakan
di Penjara,
Dieksekusi Residivis 

Rabu, 1 Desember 2021 | 13:17 WIB

 "Terorisme akan bertumbuh subur jika kita diam saja"

~Malala Yousafzai~
Peraih Nobel Perdamaian dan aktivis kelahiran Pakistan

JAKARTA, 14 Januari 2016. Suasana cerah pagi jelang siang hari itu. Sejumlah orang sedang menikmati kopi di gerai kopi atau mungkin sarapan pagi yang sudah kesiangan di pusat-pusat perbelanjaan yang baru saja buka di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Arus lalu lintas di MH Thamrin pun ramai tetapi lancar.

Namun, seketika suasana itu mendadak jadi tragedi. Serangkaian ledakan bom yang disusul aksi baku tembak terjadi di kawasan sekitar pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin tersebut. Rekaman video dan foto tentang peristiwa itu yang diambil orang-orang yang berada di gedung-sekitar lokasi viral di media sosial.

Horor yang terjadi dari aksi teror di kawasan Jl MH Thamrin pun menjalar ke penjuru Ibu Kota.

Kronologi serangan teroris di kawasan Jl MH Thamrin pada 14 Januari 2016 - (DOK KOMPAS/DICKY/ISMAWADI)

Ledakan terjadi di dua tempat, yaitu di tempat parkir Menara Cakrawala, yang berada sebelah utara Mal Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Delapan orang—termasuk empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil—tewas dan 24 lainnya luka-luka dalam serangan itu.

Dentuman pertama berawal di gerai kedai kopi Starbucks di Menara Cakrawala sekitar pukul 10.39 WIB. Orang-orang yang menikmati kopi di tempat itu seketika terlempar dari tempat duduknya. Gerai kopi itu porak poranda. Seorang pelaku meledakkan bom bunuh diri di gerai tersebut.

Selang 11 detik, terjadi ledakan kedua di pos polisi di perempatan Jalan MH Thamrin dan Jalan Wahid Hasyim. Seorang pengedera sepeda motor menghampiri pos polisi dan meledakkan diri. Ledakan itu setidaknya mengakibatkan lima polisi yang tengah bertugas di situ terluka. 

Baca juga: Hari Ini 5 Tahun Lalu, Teror Bom dan Baku Tembak di Thamrin

Pukul 10.44 WIB, rombongan polisi yang semula hendak mengamankan aksi unjuk rasa di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, berhenti di lokasi dan menutup Jl MH Thamrin.

Empat menit kemudian, pada pukul 10.48 WIB, dua orang yang membawa ransel muncul dari arah Starbucks di mana ada kerumunan massa. Mereka kemudian diketahui bernama Afif alias Sunakim dan Muhammad Ali.

Afif berjalan dari arah tiang listrik di depan Starbucks menuju dua polisi yang sedang menutup jalan dan langsung menembak kedua polisi tersebut.

Sementara Muhammad Ali berlari ke area dalam Starbucks lalu menembak dua orang warga negara asing, yakni Amer Quali Tahar (tewas) dan Yohanes Antonius Maria (terluka).

Aksi tersebut membuat sejumlah polisi mendekati area depan dan samping gerai kopi tersebut. Tak lama berselang, terjadi empat ledakan susulan yang disertai aksi baku tembak antara polisi dan pelaku. Baku tembak berlangsung sekitar 11 menit.

Pelaku yang tersudut melemparkan bom ke salah seorang polisi yang mendekat ke depan Starbucks. Lemparan kedua diarahkan pelaku ke mobil milik Kabag Operasional Polres Jakarta Pusat yang baru merapat ke lokasi.

Terjadi dua ledakan susulan berskala kecil pada detik-detik terakhir. Seorang pelaku berupaya melemparkan bom ke arah polisi, tetapi gagal karena lebih dulu terkena tembakan polisi. Pelaku lain juga berupaya melakukan hal serupa, tetapi kembali lebih dulu terkena tembakan polisi. Kedua bom meledak di tangan kedua pelaku.

Beberapa jam setelah teror itu, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS atau Islamic State of Iraq and Syria/ISIS) mengklaim bahwa serangan tersebut merupakan ulah mereka. 

Sejumlah serangan teroris yang diklaim didalangi NIIS atau ISIS - (DOK KOMPAS/ISMAWADI)

ISIS merupakan kelompok teroris yang didirikan ekstrimis Yordania Abu Musab al-Zarqawi tahun 1999. Awalnya namanya Jama'at al-Tawhid wal-Jihad. Kelompok itu semula berjanji setiap kepada Al-Qaeda, kelompok teroris lain yang lebih dulu ada.

Dalam perkembanganya, ISIS dan Al-Qaeda berpisah jalan, malah berseberangan. ISIS lalu menjadi terkenal pada awal 2014 ketika mereka mengalahkan pasukan pemerintah Irak di kota-kota penting Irak di Irak bagian barat, disusul dengan kejatuhah kota Mosul dan pembantaian Sinjar terhadap orang-orang Yazidi oleh kelompok itu.

Pada Maret 2015, ISIS telah menguasai wilayah berpenduduk 10 juta di Irak dan Suriah. Pendukung ISIS lalu berdatangan dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia,  ke Irak dan Suriah.

Peristiwa bom Thamrin itu menjadi penegas bahwa ada kelompok teroris di Indonesia telah mengubah afiliasinya mereka dari Al-Qaeda ke ISIS.

Afif alias Sunakim, salah satu pelaku serangan di Jl MH Thamrin pada pagi itu, belakangan diketahui pernah tinggal di Karawang, Jawa Barat. Dia pernah dipenjara karena ikut pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar. Pelatihan itu untuk aksi terorisme dioperasikan oleh Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), bentukan Abu Bakar Ba’asyir, yang berafiliasi ke Al-Qaeda.

Namun, aksi Afif dan kawan-kawannya tidak dinyatakan sebagai kegiatan Al-Qaeda. Justru, Al-Qaeda disebut-sebut pernah memberi tahu soal potensi teror dari ISIS di Indonesia. Informasi itu beredar beberapa bulan sebelum kejadian bom Thamrin dan sudah didengar aparat keamanan Indonesia.

Sebelum terjadi ledakan dan baku tembak di Thamrin itu, Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah memantau sedikitnya 1.085 sel teroris di Indonesia. Sebagian sudah ditangkap di pengujung 2015. Sayangnya, terdapat kelompok yang lolos dan akhirnya beraksi di jantung Kota Jakarta itu.

Siapa saja pelaku serangan di Jl MH Thamrin pada pagi itu, siapa dalangnya, dan bagaimana hubungannya dengan ISIS? Bagaimana mereka merencanakan serangan dan lolos dari amatan aparat keamanan?

Bagimana pula cerita para penyintas tragedi itu kini, selewat lima tahun peristiwa tersebut? Pelajaran apa yang bisa kita petik dari horor dan tragedi ini untuk masa depan? 

DIRANCANG DI PENJARA

LAPAS Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 2015. Aman Abdurrahman alias Oman Rachman sedang menjalani hukuman sembilan tahun penjara di lapas itu. Dia sudah enam tahun menjalani masa hukuman. Ia divonis bersalah atas keterlibatannya dalam pelatihan teror di Aceh.

Saat itu, bukan hanya Aman narapidana di Lapas Kembang Kuning yang punya rekam jejak terorisme. Ada pula Iwan Darmawan Muntho alias Rois. 

Bedanya dengan Aman, Rois adalah terpidana mati. Ia dalang pengeboman Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004 yang merenggut nyawa 9 orang dan menyebabkan sedikitnya 150 orang cedera.

Foto-foto dari dari aksi teror di Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004, tayang di harian Kompas edisi 11 September 2004 - (ARSIP KOMPAS)

Aman dan Rois memang memiliki pertautan ideologis. Mereka sama-sama bersimpati terhadap ISIS. Aman dikenal sebagai seorang ideolog yang kukuh dan penebar doktrin yang teguh. “Pemikiran-pemikirannya” kerap dirujuk para ekstremis dan gerakan-gerakan teror.

Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, tahun 1972 itu dijuluki “Singa Tauhid” ISIS di Indonesia, bahkan disebut-sebut sebagai orang paling ditakuti se-Asia Tenggara. Aman, dengan berbagai predikat yang disematkan padanya,  punya pengaruh yang tak main-main dalam jaringan teror di kawasan ini.

Dari balik jeruji Nusakambangan, Aman yang mengagumi ISIS itu  mendirikan kelompok teror Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang acap kali mengadakan latihan perang dan mengirim anggota-anggotanya ke Suriah. Dugaan afiliasi ISIS dengan JAD juga terlacak dari aliran dana yang mengalir ke elite-elitenya.

Baca juga: Mengingat Lagi Sepak Terjang JAD Dalangi Bom Thamrin dari Balik Penjara

Sementara itu, nama Rois lebih mentereng sebagai penyusun siasat yang jitu di balik aksi-aksi teror. Aksinya meledakkan Kedubes Australia didalangi Jemaah Islamiyah besutan Noordin M Top dan Azahari.

Membesuk Aman

Suatu hari pada November 2015, amir/pimpinan JAD Wilayah Ambon sekaligus Ketua Laskar Ashkary, Saiful Munthohir alias Abu Gar datang membesuk Aman di Lapas Kembang Kuning. Ia bermaksud menyampaikan hasil pertemuan Dauroh di Malang, Jawa Timur.

Di lapas, Saiful melihat Aman dan Rois sedang dibesuk pula oleh sejumlah jemaah lain. Aman dan Rois, juga terpidana terorisme lainnya, memang saling kenal sejak mereka sama-sama dibui. Melihat itu, Saiful pun bergabung dalam lingkaran pembesuk itu.

Kedatangan Saiful diketahui Aman yang langsung memintanya mendekat dengan isyarat tangan.

“Ada perintah dari umaroh (pimpinan khilafah) Suriah untuk melaksanakan amaliyah jihad seperti yang terjadi di Paris,” bisik Aman ke telinga Saiful di sana.

Insiden Paris yang diungkit Aman merujuk pada serangkaian aksi teror sistematik—pengeboman, penembakan, penyanderaan—di Ibu Kota Perancis itu pada 13 November 2015. Akibat serangan yang dilakukan tujuh ekstremis dengan sabuk peledak itu, sedikitnya 129 orang tewas.

ISIS, melalui pemimpinnya Abu Bakar Al Baghdadi memang dikenal mendoktrin pengikutnya, “Berhijrah ke Bumi Syam (Irak-Suriah) apabila sanggup, tetapi apabila tidak sanggup berjihadlah kalian di negeri masing-masing”.

“Teknis pelaksanaannya nanti akan disampaikan oleh Rois,” lanjut Aman kepada Saiful.

Hanya itu. Selebihnya, Saiful kembali ke lingkaran para pembesuk. Tak lama, giliran Rois memanggilnya dengan isyarat sejenis, lalu membisikkan kepadanya hal yang hampir sama dengan yang sudah disebutkan Aman. Namun, Rois juga membeberkan sedikit detail.

Pertama, sasaran dari aksi yang mereka sebut amaliyah jihad itu adalah orang-orang bule, khususnya orang-orang Perancis atau Rusia. Dikatakan pula oleh Rois, ia telah menyiapkan dana Rp 200 juta untuk aksi itu.

Pengantin—sebutan kelompok teror bagi eksekutor/pelaku bom bunuh diri—juga sudah siap. Saiful diminta mengatur dan mencari tambahan personel sebagai koordinator lapangan.

Sopir angkot jadi koordinator lapangan

Selesai jenguk dari Nusakambangan, Saiful bergerak ke Jakarta. Ia menuju kediaman seorang sopir angkot yang saban hari wara-wiri di Ibu Kota, Muhammad Ali alias Rizal alias Abu Isa di Meruya, Jakarta Barat.

Saiful sampaikan pesan Rois kepada Ali perihal rencana aksi amaliyah itu, termasuk bahwa ia dititipi pesan untuk mencari koordinator lapangan. Tergerak, Ali yang notabene pernah jadi narapidana perampokan Bank CIMB Niaga Medan, Sumatra Utara, pada 2010 untuk mendanai terorisme itu, menawarkan diri untuk mengisi posisi yang dicari Rois dan Saiful.

Misi Saiful belum beres meski Ali telah menyanggupi peran koordinator lapangan. Saiful kemudian rutin berkorespondensi melalui aplikasi Telegram dengan Rois yang mendekam di lapas.

Ya, perencanaan aksi teror ini digodok dari dalam lapas, seperti dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan.

"Ada cerita, Bahrun Naim ada kontak dengan Aman (Abdurrahman) di Nusakambangan. Akan kami selidiki," ujar Luhut seperti dilansir kantor berita Antara pada 27 Januari 2016.

Bahrun Naim  bukan nama asing bagi Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Densus 88 pernah membekuknya di Solo, Jawa Tengah, pada November 2010 karena kepemilikan senjata api dan bahan peledak.

Baca juga: Bom Mematikan yang Pernah Guncang Jakarta Selain Bom Thamrin

Namun, dalam proses penyidikan, polisi tidak menemukan adanya keterkaitan Naim dengan terorisme. Ia divonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surakarta karena kepemilikan senjata api dan bahan peledak. Pada Juni 2012, ia bebas.

Naim diduga telah melakukan baiat, sumpah setia, kepada ISIS pada 2014. Di tahun yang sama, ia menuju Suriah. Keterlibatan Naim dalam sederet rencana aksi teror di Tanah Air terlacak pada Agustus 2015.

Tak hanya beraksi dengan mengelola jaringan, Naim pun diduga mengelola aneka situs web untuk menyebarkan ide-ide teror hingga urusan yang sifatnya teknis, mulai dari cara otodidak membuat remot bom dengan media bel pintu, bom rakitan, granat, senjata rakitan, sampai memperkenalkan konsep perang gerilya di kota dengan sasaran aparat keamanan dan ekspatriat.

Kontak Naim dengan Aman untuk merencanakan aksi teror di Jakarta terjadi waktu Naim diduga sedang berada di Raqqa, Ibu Kota ISIS di Suriah, dan Aman di balik sel Lapas Kembang Kuning Nusakambangan. Jika Aman berurusan dengan Naim di Suriah, Rois yang sama-sama dipenjara lebih banyak berkontak  dengan jaringan lokal.

Melalui Telegram, Saiful kerap mengabari Rois bahwa dia akan mengikuti sejumlah pelatihan militer ini dan itu. Sebaliknya, Rois juga sempat meminta Saiful menjemput senjata api. Rois juga sering mengirim dana ke nomor rekening Saiful, sebagian dibelikan beberapa pucuk senjata api oleh Saiful dan sebagian lagi oleh Saiful diteruskan kepada Muhammad Ali.

“Ya sudah, bismillah saja,” jawab Rois begitu Saiful memberi tahu bahwa Ali sudah menyanggupi peran koordinator lapangan aksi teror yang direncanakan di Jakarta.

Akhir Desember 2015, Saiful dan Ali sepakat bersua di Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat untuk menyerahkan uang operasional amaliyah. Di sana, Ali juga melaporkan sudah ada para pelaksana amaliyah yang diperintahkan Aman dan Rois.

Amaliyah rupanya telah diputuskan Aman dan Rois akan dilancarkan di sekitar Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Pertimbangannya, banyak ekspatriat di sana. Senjata api dan bom yang bakal dipakai nantinya hasil rakitan oleh anggota lain di daerah.

Dalang Bom Thamrin - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

 

↵ Kembali ke awal artikel

RESIDIVIS JADI EKSEKUTOR

Tim Inafis melakukan olah TKP  pasca ledakan bom di lampu merah Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (14/1/2021).
KOMPAS/LASTI KURNIA
Tim Inafis melakukan olah TKP pasca ledakan bom di lampu merah Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (14/1/2021).

SELAIN Muhammad Ali, tiga orang pelaksana amaliyah lainnya adalah Ahmad Muhazin, Afif alias Sunakim, serta Dian Juni Kurniadi. Mereka menyewa sepetak kamar indekos berukkuran 3x5 meter persegi di Meruya Utara, Jakarta Barat, dua minggu sebelum aksi teror di MH Thamrin. 

"Kan harusnya bayar (kos) Rp 500.000 per bulannya, jadi cuma Rp 300.000 karena cuma dua minggu. Ya sudahlah enggak apa-apa, lagian cuma sebentar kan," kata Matsani, pemilik indekos, sebagaimana dikutip Tribunnews pada 18 Januari 2016.

Dari para pelaku, Ahmad satu-satunya yang tak punya catatan hukum atau keterlibatan dalam jaringan teror sebelumnya.

Dian diketahui sempat menghilang dari daerah asalnya, Kalimantan Tengah, usai terlibat dugaan penipuan. Di Sampit, Dian pernah bekerja sebagai montir di sebuah perusahaan pakan ternak. Keahlian dan pengalamannya di sini membuat dia punya kemampuan merakit mesin dan kelistrikan.

Baca juga: Pelaku Bom Thamrin yang Tewas Dimodali Rp 200 Juta dan Senjata

Sementara itu, Afif adalah residivis dan bukan sekadar penjahat kelas teri. Ia terlibat perampokan CIMB Niaga Medan, Sumatera Utara. Ini adalah kasus yang juga menjerat Muhammad Ali pada 2010, yang dananya mengalir untuk jaringan teror. Afif juga pernah divonis tujuh  tahun penjara imbas mengikuti latihan perang di Aceh.

Hari H penyerangan

Aktivitas di tempat parkir Menara Cakrawala berjalan biasa-biasa saja hingga sebuah bom meledak di gerai Starbucks sekitar pukul 10.39 WIB.  Adalah Ahmad Muhazin, eksekutor yang jadi pengantin pertama.

Sebelum meledakkan diri, teroris kelahiran Indramayu, Jawa Barat itu sempat memegang tangan seorang satpam, Aldi. Entah apa alasan Ahmad, sebab sasaran teror yang ia lancarkan—sesuai instruksi Aman dan Rois—mestinya ekspatriat.

Naluri Aldi untuk kabur saat dipegang oleh Ahmad terbukti tepat walau ia tetap menderita luka-luka setelah terpental belasan meter, sementara tubuh Ahmad hancur oleh bom.

Hanya selang 11 detik sejak dentuman bom di Starbucks, ledakan lain terdengar dari lokasi di dekat Pos Polisi Sarinah, di perempatan Jalan HM Thamrin dan Jalan Wahid Hasyim. Bom tabung dari pengendara sepeda motor yang menjadi pengantin kedua siang itu, Dian Juni Kurniadi, meledak dan memakan korban di situ.

Satu polisi, Aiptu Denny Maheu luka berat. Seorang pengendara yang ditilang, Rico Hermawan, tewas. Pengendara lain yang juga sedang ditilang, Anggun, selamat. Sugito, seorang kurir yang sedang melintasi pos polisi, tewas. 

Pukul 10.48, ketika polisi menutup Jalan MH Thamrin dan massa mulai berkerumun usai ledakan, teror belum usai. Masih di dekat Starbucks, Muhammad Ali sebagai koordinator lapangan ikut melancarkan serangan.

Selain dia, tersisa Afif alias Sunakim. Ia berkaos oblong hitam dengan tulisan berwarna kuning-biru, memakai topi hitam, serta mengenakan celana jeans biru saat beraksi. Adapun Ali, mengenakan kaos biru muda di balik rompi biru dongkernya.

Kedua residivis perampokan CIMB Niaga Medan itu dengan tenang berjalan ke tengah jalan dengan ransel berisi bom rakitan di punggung mereka. Sosok mereka terpotret cukup jelas oleh wartawan.

Dari posisi yang tak terpaut jauh, mereka berdua menembak ke arah polisi dari jarak relatif dekat. Seorang warga sipil, Rais Karna, justru jadi korban. Ia meninggal usai mendapatkan perawatan di rumah sakit karena peluru bersarang di kepalanya.

Ali lalu masuk ke Starbucks dan menembak lagi beberapa kali hingga menewaskan seorang warga negara Kanada, Amer Quali Tahar, dan melukai warga negara Belanda, Yohanes Antonius Maria. Ia juga melempar granat rakitan ke arah polisi.

Ali dan Afif akhirnya tewas di parkiran mobil. Polisi mengklaim telah menembak mati mereka berdua. 

Eksekutor Bom Thamrin - (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI) 

Perakit dan pemasok bom

Penggeledahan polisi berikutnya di kediaman para pengantin itu tak berhasil menemukan jejak perakitan bom. Terang saja, sebab peledak-peledak itu dipasok orang lain, yaitu Ali Makhmudin dan Dodi Suridi. Ada pula nama Ali Hamka dalam daftar.

Pada bulan yang sama dengan pengeboman di Jl MH Thamrin, seorang warga bernama Toro bin Wasjud dicokok polisi di Pasar Larangan Brebes, Jawa Tengah. Ia dituduh terlibat dalam pencurian sembilan senjata api di Lapas Klas 1 Tangerang dan menjualnya ke kelompok teroris Thamrin. Namun, kelanjutan kasus Toro tak ditemui dalam arsip berita mana pun.

Dalam rangkaian persidangan, Dodi Suridi dan Ali Hamka lebih dulu dijatuhi vonis. Hamka mendapat vonis paling ringan, 4 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti berusaha menyiapkan amunisi dan senjata untuk hari penyerangan, tetapi gagal.

Dodi mengulum senyum ke arah wartawan saat melangkah keluar pengadilan pada 20 Oktober 2016, setelah dia diganjar vonis 10 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti terlibat memasok peledak.

“Risiko sebagai teroris. Saya menerima keputusan ini,” ucap Dodi. 

Pada 25 Oktober 2016, giliran Ali Makhmudin divonis 8 tahun penjara oleh pengadilan. Dia yang disebut berbaiat kepada Daulah Islamiyah Indonesia dan ISIS itu dinyatakan terbukti sebagai perakit bom yang meledak di Thamrin. 

Ali Makhmudin membeli bahan-bahan bom itu pada Desember 2015 di Tegal, Jawa Tengah, setelah dihubungi Dian, salah satu pelaku yang tewas dalam serangan di Jl MH Thamrin. 

Bahan-bahan itu kemudian ia rakit selama sepekan. Sesudah jadi, bom itu diambil oleh Dodi atas perintah Dian. Oleh Dodi, bom hasil rakitan Makhmudin “dibungkus” menggunakan bekas tabung gas.

Baca juga: Pembuat Wadah Bom Thamrin Mengaku Awalnya Ingin Ledakkan Gedung DPR/MPR

Hal itu selaras dengan keterangan Dodi saat ia dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan yang kelak menjatuhkan pidana mati bagi Aman Abdurrahman pada 2018. Ia mengaku diperintah menggerinda tabung gas untuk bahan bom Thamrin, dijadikan case bom. Ia juga tak menampik bahwa dia mengenal Dian.

"Saya ingin hijrah. Karena dihalangi sama pemerintah Indonesia, enggak boleh ke Suriah, ya akhirnya Dian ngajak saya buat bom, dan saya mau daripada enggak bisa hijrah," ungkap Dodi yang juga pendukung ISIS itu, di dalam sidang pada 9 Maret 2018.

Terpidana pembuat wadah (casing) bom Thamrin, Dodi Suridi alias Ibnu Arsad, saat memberikan kesaksian dalam persidangan dengan terdakwa Aman Abdurrahman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (9/3/2018).
KOMPAS.com/NURSITA SARI
Terpidana pembuat wadah (casing) bom Thamrin, Dodi Suridi alias Ibnu Arsad, saat memberikan kesaksian dalam persidangan dengan terdakwa Aman Abdurrahman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (9/3/2018).

Pengadilan juga menjatuhkan vonis 9 tahun penjara kepada Saiful Munthohir alias Abu Gar karena berperan sebagai penyalur dana dan penyedia senjata api untuk pengeboman di Jl MH Thamrin. Ia mendapat uang total Rp 70 juta dari Rois, yang diteruskannya ke Muhammad Ali sebagai biaya operasional.

Bagaimana dengan Bahrun Naim? Naim dilaporkan tewas di Suriah pada 8 Juni 2018 akibat serangan pesawat tanpa awak (drone)Amerika Serikat. Adapun Aman, dalang pengeboman di Jl MH Thamrin, divonis hukuman mati.

Pencarian dan penangkapan pelaku

Hanya berselang beberapa jam setelah terjadinya teror bom dan baku tembak di Jalan MH Thamrin itu, polisi sudah punya kesimpulan sementara tentang dalang peristiwa tersebut.

Kepala Divisi Humas Polri kala itu, Irjen Anton Charliyan, mencurigai aksi teror tersebut terkait dengan peringatan yang pernah diberikan ISIS. Polisi mengatakan, peringatan akan adanya teror yang dilakukan ISIS di Indonesia telah diterima pada Desember 2015.

”Dari peringatan yang disampaikan, Indonesia akan terjadi ’konser’ yang akan jadi berita internasional. Warning dari grup ISIS. Dan kami juga sudah memberikan warning jauh-jauh hari sebelumnya, bukan untuk menakut-nakuti,” ujar Anton seperti dilansir harian Kompas pada 15 Januri 2016, sehari setelah ledakam bom itu.

Saat itu polisi berpikir, peringatan itu jadi kenyataan padahal sudah melakukan berbagai penangkapan kelompok teroris.

”Kami sudah melakukan penangkapan-penangkapan. Warning dari ISIS sudah ada sejak Desember 2015. Warning itu mengatakan akan ada konser di Indonesia yang akan jadi berita internasional,” ujar Anton.

Di tempat lain, pada 14 Januari 2016 petang, di Kantor Presiden, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya  ketika itu, Inspektur Jenderal Tito Karnavian, menyebut nama Bahrun Naim sebagai orang di balik serangan di Jl MH Thamrin. Bahrun Naim diketahui sebagai anggota ISIS sekaligus salah satu petinggi ISIS di Indonesia.

Dugaan keterlibatan ISIS diperkuat laporan kantor berita Reuters bahwa ISIS mengklaim bertanggung jawab dalam ledakan di Jakarta itu. Klaim itu bersumber dari Kantor Berita Aamaaq yang berafiliasi dengan ISIS. Akan tetapi, Aamaaq tak menyebutkan klaim tersebut persisnya dari siapa.

"ISIS bertanggung jawab dalam serangan bersenjata pagi ini dengan target warga negara asing dan petugas keamanan yang mengamankan mereka di Ibu Kota Indonesia," ujar sumber Aamaaq seperti dikutip Reuters.

Polisi saat itu belum bisa memastikan kebenaran klaim yang dilansir Aamaaq tersebut.  Namun, polisi kemudian dengan cepat menangkap sejumlah tersangka pelaku di sejumlah daerah.

Cek identitas pelaku tewas

Sembari mengejar para pelaku di sejumlah tempat, polisi juga melakukan pengecekan identitas para tersangka yang tewas dalam aksi teror itu.

Afif alias Sunakim menjadi pelaku pertama yang berhasil diidentifikasi pada 15 Januari 2016. Hal itu karena wajah Afif terekam jelas oleh fotografer Tempo dan Xinhua ketika menodongkan senjata dan menembak saat adu tembakan dengan polisi.

Sehari kemudian, polisi mengetahui nama-nama terduga pelaku teror selain Afif yang tewas di lokasi kejadian.

Mereka adalah Dian Juni yang ditemukan tak bernyawa di dekat pos polisi, lalu Muhammad Ali yang tewas di halaman parkir Starbucks, dan Ahmad Muhazin yang merupakan pelaku bom bunuh diri di kedai kopi yang sama.

Polisi sempat menduga pria tewas lainnya yang bernama Sugito sebagai salah satu teroris. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, polisi meralat dan menginfokan bahwa Sugito adalah kurir yang tengah melewati pos polisi ketika ledakan terjadi.

Keberhasilan mengidentifikasi pelaku yang tewas membawa polisi semakin dekat dengan para tersangka lain. Identifikasi Afif bak membuka tabir kasus itu. Sebab, dia merupakan residivis tindak pidana terorisme.

Afif pernah ditangkap pada 1 Maret 2010 karena berpartisipasi dalam pelatihan kelompok teroris di Aceh. Ia pernah bergabung dengan kelompok Ansharud Daulah di bawah kepemimpinan Fausan al-Anshori.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada Afif dalam perkara itu. Pada September 2015, Afif menyelesaikan masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.

Akan tetapi, Afif diyakini berpemahaman kian radikal selama di LP Cipinang karena kenal dekat dengan Aman Abdurrahman.

Terdakwa kasus teror bom Thamrin Aman Abdurrahman (memakai rompi oranye di tengah) usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018).
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Terdakwa kasus teror bom Thamrin Aman Abdurrahman (memakai rompi oranye di tengah) usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018).

”Pelaku serangan teror di Jakarta merupakan jaringan teroris yang diatur oleh Bahrun Naim. Namun, pelaku teror itu tak hanya berasal dari satu kelompok sehingga diduga berasal dari pecahan sel-sel kelompok kecil. Semua jaringan itu berafiliasi dengan NIIS (ISIS) sehingga mereka bisa saling berkoordinasi dan berkomunikasi,” kata Badrodin, Kapolri saat itu.

Baca juga: Vonis Mati untuk Aman Abdurrahman

Setelah penyelidikan lebih mendalam, polisi menetapkan Aman sebagai dalang di balik aksi teror di kawasan Jl MH Thamrin pada 14 Januari 2016 tersebut.

Saat serangan terjadi, Aman masih menjalani masa hukuman sebagai terpidana kasus terorisme. Dia baru bebas setelah mendapatkan remisi pada 17 Agustus 2017. Namun, baru sehari menghirup udara bebas, Aman kembali ditangkap terkait keterlibatanya dalam kasus bom ini. 

Aman tak sendirian sebagai dalang. Ia bekerja sama dengan Iwan Darmawan Muntho alias Rois saat keduanya menjadi tahanan di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap.  Rois kala itu berstatus narapidana hukuman mati kasus bom di Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta, yang terjadi pada 9 September 2004.

Bila Aman bertugas menyampaikan doktrin untuk mendukung ISIS ke orang-orang yang mengunjunginya di lapas dan melalui aplikasi video, Rois berperan sebagai penyusun strategi.

↵ Kembali ke awal artikel

KISAH PARA PENYINTAS 

Ilustrasi. Hentikan terorisme.
SHUTTERSTOCK/SFAM PHOTO
Ilustrasi. Hentikan terorisme.

SERANGAN teror di Jalan HM Thamrin, Jakarta, itu menyebabkan delapan orang tewas dan 24 yang lain cedera. Hampir enam tahun berlalu, tiga orang penyintas dari teror itu menceritakan kisah mereka kepada Kompas.com.

Pagi itu, Dwi Siti Romdhoni atau Dwiki (33) tengah duduk bersama rekan dan kliennya di kedai kopi Starbuck. Ledakan pertama pukul 10.39 WIB memporak-porandakan kedai itu. 

Badan Dwiki langsung terlempar terkena ledakan bom. Ia tak sadarkan diri selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, perempuan itu melihat keadaan sudah kacau. Samar-samar ia mendengar teriakan orang minta tolong. Banyak yang terluka dan berlumuran darah. 

Dwiki berusaha keluar dari lokasi ledakan. Tak sanggup berdiri, ia merangkak menuju jendela terdekat. Ia lalu langsung melompat melalui jendela yang kacanya sudah pecah. Namun, setelah ia berada di luar kedai, bom kedua meledak dari pos polisi di seberang jalan. Ledakan itu kembali membuat Dwiki tersentak dan kehilangan kesadaran.

Ledakan kedua di pos polisi itu mengenai Agus Kurnia (34). Saat itu, Agus tengah menyeberang dari Mal Sarinah menuju ke arah Gedung Bawaslu. Badan Agus langsung terpental terkena ledakan bom kedua.

Agus lalu melihat sejumlah orang di pos polisi itu sudah tergeletak dan bersimbah darah, sementara yang lainnya panik dan langsung berlarian ke segala arah. Namun, Agus tak bisa mendengar suara kepanikan saat itu. Pendengarannya terganggu akibat ledakan bom. Dengan kuping yang berdenging, Agus berupaya bangkit dan menjauh dari lokasi kejadian.

Sementara itu, Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Denny Mahieu (47) tak bisa lagi melarikan diri setelah terkena ledakan bom di pos polisi tersebut. Polantas yang tengah berada dekat dengan pos polisi itu mengalami luka parah di bagian telinga kanan dan sebagian wajah, serta di lengan dan kaki kanan. Meski tak kehilangan kesadaran, ia hanya pasrah tergeletak di jalan sambil menunggu bantuan datang.

Dwiki, Agus, dan Denny selamat dari teror keji itu. Namun, kehidupan mereka tak lagi sama.

Cedera Fisik

Luka akibat ledakan bom berdampak pada kondisi fisik korban untuk jangka panjang. Setidaknya hal itu yang dirasakan Dwiki, Agus, dan Denny.

Meski tak mengalami pendarahan, Dwiki didiagnosis menderita sejumlah luka dalam. Tiga ruas tulang lehernya patah. Rahangnya mengalami pembengkakan. Pendengaran telinganya juga terganggu, begitu juga penglihatannya.

Dwiki harus menjalani perawatan selama 10 bulan di rumah sakit. Di awal masa perawatan, ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Duduk saja tidak bisa.

"Makan saja saya tidak bisa. Harus pakai infus di kedua tangan," ujar Dwiki. 

Awal 2017, Dwi sudah keluar dari rumah sakit dan mencoba beraktivitas kembali. Namun, kondisinya tak lagi sama. Ia harus tetap rutin rawat jalan ke dokter untuk mengecek perkembangan di ruas lehernya yang sempat patah.

Aparat kepolisian berusaha mendekati tempat terjadinya ledakan dan penembakan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Aparat kepolisian berusaha mendekati tempat terjadinya ledakan dan penembakan di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016).

Ia beberapa kali pingsan jika melakukan aktivitas cukup berat seperti berolahraga.

"Pernah waktu itu naik sepeda saya tiba-tiba pingsan di Taman Surapati. Saya sampai dikira orang mabuk," kata dia.

Sementara itu, Agus Kurnia mengalami cedera di kepala dan gendang telinga. Ia menjalani perawatan selama satu bulan di rumah sakit, lalu lanjut istirahat di rumah selama dua bulan.

Namun, setelah kembali beraktivitas, kondisi fisik Agus tak lagi prima. Ia  harus menggunakanalat bantu dengar. Ia juga tak lagi bisa berada di tempat yang berisik karena itu akan mengganggu kondisi gendang telinganya.

Agus yang sebelumnya bekerja di sebuah restoran ini juga kerap jatuh pingsan saat melakukan aktivitas berat. Setelah jatuh pingsan baru-baru ini, ia pun mengetahui ada dampak lain ledakan bom itu bagi kondisi fisiknya.

"November 2020 kemarin di-CT Scan, baru ketahuan dokter ada pembekuan pembuluh darah di otak kanan," kata Agus. 

Sementara itu, bekas luka akibat ledakan bom itu masih menempel di lengan kanan dan kaki kanan Denny Mahieu. Dia yang kini masih bekerja di kepolisian harus selalu mengenakan seragam lengan panjang untuk menutupi bekas lukanya.

"Saya sekarang juga kalau berenang sudah susah, orang-orang pada ngeliatin bekas luka saya," kata Denny.

Aiptu Denny Mahieu salah satu korban yang selamat melakukan tabur bunga di Sarinah, Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1/2017). Mereka mengenang kembali aksi terorisme yang terjadi siang hari tepat setahun lalu.
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Aiptu Denny Mahieu salah satu korban yang selamat melakukan tabur bunga di Sarinah, Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1/2017). Mereka mengenang kembali aksi terorisme yang terjadi siang hari tepat setahun lalu.

Denny mengaku kerap merasa nyeri di lengan kanan dan kaki kanannya. Namun, ia tak terlalu memusingkan rasa sakit itu.

"Kalau dibilang nyeri, nyeri. (Dibilang) semutan ya  semutan. Hampir tiap jam. Cuma yang penting, pikiran saya, tidak usah terlalu dirasakan," kata dia.

Tak hanya itu, pendengaran di telinga kanan Denny juga terkadang masih terganggu. Ia juga tidak bisa bekerja terlalu keras.

Dwiki, Agus dan Denny saat ini masih rutin memeriksakan kondisi kesehatan mereka ke rumah sakit. Untungnya, pengobatan mereka sejak awal terkena bom sampai saat ini masih sepenuhnya dibiayai negara.

Marah dan depresi

Para korban tak hanya mengalami dampak fisik dari terror itu. Kondisi psikis, sosial, dan ekonomi mereka juga terganggu.

Saat menjalani perawatan selama 10 bulan, Dwiki mengaku terus mengutuk keadaan yang menimpanya. Ia bertanya-tanya kenapa dia yang harus menjadi korban teror tersebut. Ia dendam dan dipenuhi amarah kepada pelaku. Kerap kali rasa marah itu dilampiaskan ke orang terdekatnya.

"Bahkan ke ibu saya saja saya marah-marah," kata Dwiki.

Kondisi ekonomi Dwiki juga terganggu karena dia harus menjalani perawatan yang cukup lama. Biaya perawatan memang seluruhnya ditanggung negara. Namun, ia tidak lagi bisa bekerja dan tidak mendapatkan penghasilan.

"Saya bilang, kalau memang (hidup) harus berakhir ya berakhir, (tetapi) saya belum terima waktu itu," kata Dwiki sambil menitikkan air mata.

Meski begitu, Dwiki tetap mencoba bertahan. Dukungan dari keluarga dan rekan-rekannya membuat ia kuat menjalani cobaan hidup yang begitu pahit.

Baca juga: Kisah Penyintas Bom Thamrin, Sempat Terpuruk tetapi Bangkit Setelah Memaafkan Pelaku

Setelah keluar dari rumah sakit, kondisi psikis Dwiki juga belum sepenuhnya pulih. Ia masih belum terima dengan keadaan yang menimpanya. Dendam terhadap para pelaku teror masih tersimpan.

"Ada secuil yang ngeganjel di hati," katanya.

Akhirnya Dwiki dipertemukan dengan para korban teror bom yang lebih dulu terjadi, seperti korban Bom Bali 2002. Di pertemuan itu, Dwiki melihat bahwa ada penyintas teror bom yang kondisinya jauh lebih parah dari dirinya. Banyak yang mengalami cacat fisik dan bekas luka bakar.

"Orang itu sudah lama banget alami kejadian itu dan selama ini saya tidak aware kepada mereka. Saya nih enggak seberapanya dibanding mereka," kata Dwiki.

Setelah itu, Dwiki rutin mengikuti kegiatan rekonsiliasi. Ia berkumpul dengan para korban teror bom hingga mantan napi terorisme (napiter) yang sudah bertobat.

Pertama kali bertemu seorang mantan napiter dalam suatu forum, Dwiki mengaku belum bisa begitu saja memberikan maaf. Selesai acara, Dwiki menghampiri mantan napiter itu. Sambil menangis, ia menegur mantan napi terorisme itu atas perbuatan yang dilakukannya di masa lalu.

"Saya bilang, 'kita sama sama muslim. Bedanya saya mengucapkan Allahu akbar ketika saya terkena bom. Bapak bilang Allahu akbar ketika membunuh'. Bapak itu lalu nangis juga,"  kata Dwiki.

Massa yang tergabung dalam Sahabat Thamrin, Yayasan Penyintas, dan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) melakukan tabur bunga di Sarinah, Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1/2017). Mereka mengenang kembali aksi terorisme yang terjadi siang hari setahun sebelumnya.
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Massa yang tergabung dalam Sahabat Thamrin, Yayasan Penyintas, dan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) melakukan tabur bunga di Sarinah, Thamrin, Jakarta, Sabtu (14/1/2017). Mereka mengenang kembali aksi terorisme yang terjadi siang hari setahun sebelumnya.

Dwiki berpikir, rasa dendam yang masih mengganjal di hatinya akan menghilang setelah ia mengungkapkan rasa kesalnya ke mantan napiter itu. Namun, kemudian dia sadar bahwa perbuatannya justru makin menumbuhkan kebencian.

"Di perjalanan pulang saya berpikir lagi. Kok saya jadi jahat ya. Bapak itu sudah tobat, kok saya malah jadi menghakimi. Karena kan rasa benci itu masih ada, saya jahat, dan itu malah makin menyiksa saya," tutur dia.

Akhirnya, Dwiki kembali menghadiri sebuah acara rekonsiliasi dan bertemu dengan napiter lain. Kali ini Dwiki mencoba sepenuhnya untuk memaafkan orang tersebut.

"Saat itu, ya sudah, saya benar benar ikhlas memaafkan. Saya ngobrol dengan mantan napiter ini. Kisahnya seperti apa. Akhirnya saya menyadari kita sama-sama korban," ujarnya.

Butuh waktu tiga tahun bagi Dwi untuk benar-benar ikhlas dengan peristiwa yang menimpanya dan memaafkan pelaku. Namun, setelah memaafkan pelaku, Dwi justru merasa kondisi psikisnya jauh lebih baik.

"Terapi diri yang paling mujarab itu memang ketika kita memaafkan kesalahan seseorang yang sudah menzalimi kita," ujarnya.

Kehilangan pekerjaan

Sementara itu, Agus Kurnia harus kehilangan pekerjaan. Kondisi fisiknya tak lagi memungkinka dia bekerja di sebuah restoran di kawasan Jakarta Pusat. Setelah Agus selesai perawatan, awalnya ia kembali bekerja di restoran itu. Namun, beberapa kali ia jatuh pingsan saat bekerja karena kondisi fisiknya melemah.

Selain itu, Agus juga tak tahan dengan suara musik kencang di tempat kerjanya. Musik kencang itu mengganggu gendang telinganya.

"Akhirnya dokter memberi rujukan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), saya harus keluar dari tempat kerja saya," kata Agus.

Agus lalu keluar dari tempat kerja karena LPSK menjamin akan memberinya pekerjaan pengganti yang lebih layak. Namun, pekerjaan yang dijanjikan itu tak kunjung datang.

"Karena prosesnya alot akhirnya saya kerja lagi (di restoran), keluar masuk, keluar masuk, karena memang kondisi kesehatan," kata dia.

Baca juga: 12 Korban Bom Thamrin dan Kampung Melayu Minta Ganti Rugi, Ada yang Rp 571 Juta

Untungnya, baru-baru ini Agus mendapatkan modal Rp 10 juta dari pemerintah. Modal uang tunai itu ia dapat setelah mengikuti sebuah pelatihan yang digelar untuk para penyintas dan ia menjadi peserta terbaik.

Agus memutuskan pulang kampung ke Sumedang, Jawa Barat. Di sana, ia membuka usaha kedai minuman yang menjual kopi serta boba drink. Sayangnya, pandemi Covid-19 datang menerjang. Usahanya pun tak mulus. 

"Sehari itu paling laku satu cup, dua cup, paling banyak lima sampai tujuh cup," kata dia saat dijumpai di pengujung 2020.

Peristiwa teror bom tersebut masih menyisakan trauma bagi Agus. Kini, ia kerap merasa was-was saat berada di keramaian. Terutama jika ia melihat ada orang dengan gelagat mencurigakan.

"Kalau trauma pasti saya yakin tiap korban juga pasti (mengalami). Itu kan serangan secara mendadak. Kalau ada orang bawa koper, orangnya juga mencurigakan, pasti ada perasaan yang membuat kita menjauh," ungkap Agus.

Namun, Agus mengaku sejak awal sudah memaafkan pelaku teror bom yang mengubah jalan hidupnya ini. 

"Kalau memaafkan, dari awal saya sudah maafkan. Dendam juga untuk apa, enggak ada manfaatnya. Saya harus menatap ke depan juga," katanya.

Kini Agus turut aktif dalam Yayasan Penyintas Indonesia, organisasi nirlaba yang fokus membantu para korban bom.

"Jadi saya bisa memotivasi orang lain. Walau kondisi kita terpuruk jangan diperlihatkan ke mereka kalau kita ini down banget," ujarnya.

Bersyukur

Sama dengan Agus dan Dwiki, Aiptu Denny Mahieu juga kini sudah mengikhlaskan peristiwa kelam di pagi hari pada awal 2016 itu. Baginya, terkena ledakan bom adalah takdir dari Allah yang tak bisa dihindari. Ia bersyukur tidak tewas dalam ledakan tersebut.

"Jadi jangan salahkan siapa pun, termasuk Tuhan jangan disalahkan. Kita bersyukur masih hidup. Karena kata dokter, biasanya kalau kena bom itu meninggal. Saya masih hidup ya harus disyukuri," tutur Denny.

Denny juga mencoba ikhlas dengan memaafkan pelaku teror bom itu. Ia merasa tidak perlu lagi menaruh dendam..

"Kita kasih maaf mereka. Cuma kan pelakunya enggak ketemu saya, sudah mati. Itu nanti urusan sama malaikat," katanya.

Denny juga menegaskan akan tetap bertugas di kepolisian sampai kelak pensiun. Ia mengaku tak gentar jika suatu hari akan menghadapi peristiwa teror lagi.

"Kita mah kalau ada lagi hadapin aja. Saya bawa senjata kemana-mana. Kita sudah tahu rasanya kok kena bom, untuk apa takut," ujar dia.

↵ Kembali ke awal artikel

MEWASPADAI
DAN MENCEGAH
AKSI TERORISME

Kami Tidak Takut
KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Kami Tidak Takut

AKSI terorisme seperti yang meluluhlantakkan kawasan Jl MH Thamrin, Jakarta, pada Kamis (14/1/2016) kerap dipertautkan dengan keyakinan dan agama. 

Padahal, sejatinya, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan apalagi memerintahkan aksi teror yang mencelakakan manusia dan kemanusiaan. Dogma tentang perang dan perlawanan mengharuskan prasyarat ketat untuk dijalankan.

Isu terorisme pun mewarnai wajah sejarah panjang dunia dengan beragam sebab dan pemicu. 

Sebuah refleksi tentang aksi terorisme dunia, tak hanya di Indonesia, antara lain muncul dalam catatan Trias Kuncahyono di Trias Credential. Mantan wartawan senior harian Kompas ini memasang judul Kala Marica di tulisan reflektif tentang aksi terorisme ini. 

Trias menulis, terorisme adalah wujud lain dari keserigalaan manusia. Kisah keserigalaan manusia ini pun sebenarnya sudah dimulai sejak tragedi pembunuhan Abil (Abel) oleh Kain, sebuah cerita yang muncul di ajaran agama-agama samawi. Inilah kejahatan pertama yang dilakukan anak manusia.

Baca juga: Penggunaan Diksi Kontraradikalisme dan Deradikalisasi di Perpres Pencegahan Ekstremisme Dikritik

Sejak saat itu, manusia seperti ditempeli pada dirinya sifat-sifat jahat, kuasa kejahatan. Yang jahat itu tidak ada di luar manusia tetapi ada di dalam diri manusia, di dalam hati manusia. Di sanalah kejahatan itu berada.

Kejahatan itu keluar dari hati manusia yang dirasuki tabiat Kain, menjadi horor dan teror bagi sesama. Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. 

Praktik teror, itulah yang disebut terorisme. Kata terorisme berasal dari kata dalam bahasa Latin, yakni terrere yang berarti menakuti, mengejutkan, menggentarkan.

Karena itu, terorisme adalah tindakan menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, entah tujuan politik atau tujuan yang lain.

Terorisme, muncul dalam banyak wajah. Ia bagaikan Rahwana atau Dasamuka, yang memiliki sepuluh wajah.

Ia juga dapat menjelma seperti Sarpakenaka seorang rakshasi atau rakshasa wanita berwajah jelek, adik kandung Rahwana, yang bisa berubah menjadi seorang wanita sangat cantik jelita. Namun, kecantikannya membawa bencana.

Ia juga bisa seperti Kala Marica, raksasa pembantu Rahwana yang bisa berubah menjadi Kijang Emas, yang memikat Dewi Sinta.

Trias Kuncahyono saat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas (berdiri pegang mikrofon), ketika menjadi pembicara dalam seminar Middle East Updates di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (27/3/2018).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Trias Kuncahyono saat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas (berdiri pegang mikrofon), ketika menjadi pembicara dalam seminar Middle East Updates di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (27/3/2018).

Karena bisa berubah rupa, terorisme bisa pula masuk ke mana-mana: ke berbagai organisasi, lembaga—segala macam lembaga mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, keamanan, sosial, bahkan hingga agama—baik swasta maupun pemerintah, kelompok maupun komunitas rakyat jelata. 

Maka tidak heran, muncul teror atas nama agama. Teror atas nama agama—ada yang menyebut sebagai teror suci—merupakan fenomena yang selalu terjadi. David C Rapoport (2004) menggolongkan teror agama sebagai teror gelombang keempat yang dimulai tahun 1979, hingga kini.

Baca juga: Polemik Perpres 7/2021, Warga Jadi Intel bagi Warga Lainnya?

Gelombang terorisme modern pertama adalah anarki dimulai di Rusia pada tahun 1880-an dan berlangsung hingga tahun 1920-an. Gelombang kedua yakni antikolonial, dimulai pada tahun 1920-an dan berakhir pada tahun 1960. Dan, gelombang ketiga adalah gerakan kiri baru, yang dimulai pada tahun 1960 dan berlanjut hingga tahun 1980-an.

Kata F Gerges (2014, “ISIS and the third wave of jihadism”, Current History, 2014), gelombang keempat teror atas nama agama ini dibagi dalam tiga fase.

Fase pertama, berlangsung sampai akhir dekade 1990, tokohnya adalah Abu Musab al-Zarqawi (1966-2006). Lalu, Osama bin Laden (1957-2011) memimpin fase kedua dengan Al-Qaeda-nya. Dan fase ketiga dipimpin oleh Abu Bakar al-Bagdhadi (1971-2019) dengan ISIS.

Oleh para pelakunya—teror atas nama agama—dipandang sebagai tindakan transendental; dibenarkan oleh otoritas agama, yang melakukan pun akan “besar upahnya di surga.” Namun, darah Abil yang membasahi bumi akan terus mengalir, mengejar keturunan Kain yang menebar kematian, menyebarkan kekejian yang membinasakan itu.

"Mereka (para pelaku terorisme) ini tidak memelihara kehidupan, tetapi lebih memilih dan mengunggulkan kematian, bahkan kematian hati dan jiwanya sendiri," tulis Trias.

Baca juga: Naskah Lengkap Prepres 7 Tahun 2021 soal Ekstremisme, Kekerasan, dan Terorisme

Menegasikan manusia dan kemanusiaan

Pertanyaan yang juga lalu kerap mencuat adalah apa alasan seseorang bisa melakukan aksi teror yang sampai mengorbankan dirinya sendiri menggunakan bom bunuh diri? Dalam tulisan berbeda yang muncul di Trias Credential dan kompas.id edisi 16 November 2019, Trias mengurai persoalan ini

Mengutip Robert A Pape dalam Dying to Win, The Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005), Trias menulis bahwa salah satu rintangan untuk mengetahui alasan seseorang melakukan aksi terorisme bunuh diri adalah kecenderungan berpikir bahwa semua pelaku terorisme bunuh diri memiliki alasan yang sama.

Dengan kata lain, sebenarnya, para pelaku terorisme bunuh diri memiliki alasan berbeda-beda mengapa mereka melakukan aksi serangan bunuh diri; mengapa mereka mencari mati seperti itu.

Ada yang kesulitan ekonomi (kemiskinan), menjadi alasan melakukan terorisme bunuh diri. Ada pula yang karena dorongan keyakinan agama. Ada lagi yang karena alasan ideologi. Ada juga karena balas dendam atau juga karena keputusasaan hidup, atau merasa diperlakukan tidak adil.

Berbagai alasan bisa menjadi pendorong seseorang melakukan tindakan terorisme bunuh diri, bisa faktor internal maupun eksternal. Yang menarik—apa pun alasan yang mendorong mereka melakukan tindakan itu—, mereka mau menjadikan dirinya sebagai senjata.

Mengutip François Géré dalam Suicide Operations: Between War and Terrorism (2007), Trias menulis bahwa filosofi teror bunuh diri melampaui pengorbanan diri tentara (pengorbanan diri adalah bagian tradisi militer) karena tindakan ini didasarkan pada sebuah paradoks, yaitu di satu sisi tindakan pengorbanan diri seperti itu adalah altruistik tetapi di disi lain mereka perlu menegasikan kemanusiaan dirinya sendiri dan orang lain.

"Di sinilah unsur kemanusiaan ditiadakan, ditinggalkan. Dengan kata lain, mereka para pelaku penyerangan (bom) bunuh diri tidak mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan yang mereka langgar begitu saja," tulis Trias.

Trias menggarisbawahi pula bahwa terorisme bunuh diri muncul di Indonesia sebenarnya “aneh.” Sebab, lingkungan yang memungkinkan munculnya terorisme bunuh diri, menurut Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur dalam Suicide Terrorism (2010) adalah masyarakat yang terbelah dan terpolarisasi menurut garis etnis dan agama.

Lebanon dapat menjadi contoh. Bahkan, sebut Trias, di kalangan para ahli terorisme Lebanon dipandang sebagai titik awal lahirnya gelombang terorisme bunuh diri, yakni pada awal 1980-an. Meskipun, terorisme bunuh diri di Lebanon pada waktu itu lebih dikaitkan dengan pendudukan tentara asing yaitu AS dan Perancis. 

"Kalau mengacu pada pendapat Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur, (seharusnya) kecil kemungkinan terorisme bunuh diri muncul di Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia sekalipun kadang terjadi konflik bernuansa etnis, sektarian, secara umum tidak terpecah-pecah, tidak terbelah, dan tidak terpolarisasi seturut garis etnis dan agama," ungkap Trias.

Baca juga: Indonesia, Bersatu Lawan Terorisme!

Terlebih lagi, lanjut Trias, budaya martyrdom (kemartiran, kesyahidan) seperti diungkapkan oleh Leonard Weinberg dan Ami Pedahzur, tidak ada di Indonesia. Ini berbeda dengan masyarakat Syiah di Irak, misalnya, yang merayakan kehidupan individu dengan mengorbankan diri untuk tujuan yang lebih tinggi.

Di daerah konflik, kematian akibat kekerasan adalah hal biasa, yang bisa ditemui setiap hari. Orang yang hidup di lingkungan seperti itu, seperti di beberapa negara Timur Tengah, cenderung menerima kematian secara lebih alami.

Itu pun, budaya semacam itu cenderung dimanfaatkan para pemimpin kelompok militan dengan balutan agama untuk keuntungan kelompok.

Para pelaku teror, teroris, selalu mencari cara-cara baru untuk mewujudkan keinginannya. Serangan bom bunuh diri pun tidak muncul mendadak tetapi merupakan sebuah proses dalam mencari cara-cara penyerangan baru.

Membasmi akar

Fanatisme agama hanyalah salah satu faktor yang diklaim sebagai motivasi pelaku bom bunuh diri. Menurut Trias, tujuan akhir dari terorisme bunuh diri sama saja dengan terorisme pada umumnya, yaitu mendapatkan liputan media yang digunakan untuk mempromosikan kepentingan mereka.

Baca juga: Kepala BNPT Kunjungi Nusakambangan Pantau Program Deradikalisasi

Serangan bunuh diri unik karena jika teroris tidak bunuh diri maka serangan itu dianggap gagal. Meski begitu, lanjut Trias, para teroris bunuh diri bukanlah individu gila yang membalas dendam karena putus asa, mengutip Nicholas W Bakken (2007), walau mereka nekat bunuh diri.  

"Serangan-serangan mereka direncanakan dengan baik oleh individu-individu yang berpendidikan. Target telah ditentukan sebelumnya sehingga persiapan dan perincian seputar serangan dapat direncanakan dengan hati-hati," tulis Trias dalam artikel Kaum Milenial Pemuja Kultur Kematian di Trias Credential.

Para pelaku serangan terorisme menggunakan bom bunuh diri ini menurut Trias adalah penganut kultur kematian (culture of death).

Kultur kematian merupakan kultur barbaritas yang memuliakan atau menyembah kematian; mendewakan kematian. Karena dengan kematian itu mereka mencapai tujuan pragmatisnya, (Daniel M.T. Fessler  and Katinka Quintelier (2013), yaitu masuk surga seperti diajarkan oleh para gurunya.

Kultur kematian, menurut Paus Yohanes Paulus II, adalah daya negatif yang merusak dunia. Kultur kematian sekaligus menunjuk kebisuan manusia di tengah persoalan humanitas yang mempertaruhkan kehidupan umat manusia. Itulah terorisme. Itulah tindakan kaum teroris.

Karena itu, Trias mengutip pendapat Jean Baudrillard—seorang filsuf kontemporer—yang menyebut bahwa teror adalah permainan kematian.

"Mereka merancang kematiannya sendiri, menjadikan kematian sebagai kunci permainan. Jadi sistem kematian adalah “spirit of terrorism”, menjadi prinsip dasar dalam terorisme. (Silvester Ule: 2011)," tulis Trias. 

Karenanya, lanjut Trias, solusi terhadap terorisme tidaklah cukup dengan kutukan. Dia pun membagikan pesan yang dia terima dari Komaruddin Hidayat dan Yudi Latif tentang ini.

“Mati saja mereka tidak takut,” kata Komaruddin dalam pesan yang diterima Trias.

Menyambung itu, Trias menuliskan pesan Yudi Latif, “Mereka tidak berani hidup. Padahal tidak ada jalan pintas menuju surga. Janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, beramal kebajikan, atas rintangan dan tantangan zaman, demi memberi kebahagian hidup warga Bumi.”

Dengan begitu, terorisme harus dihadapi dengan menumpas akarnya, yaitu meningkatkan kualitas dan kecerdasan hidup secara berkeadilan. 

William Chang dalam opini di harian Kompas edisi 2 September 2003 berjudul Menyikapi Terorisme mengutip Nelson Mandel, menulis bahwa menghadapi terorisme berarti menghadapi kemiskinan dan penderitaan.

"Kemiskinan material dan spiritual perlu benar-benar diperhatikan tiap rezim pemerintah. Akibat kemiskinan material dan spiritual, manusia bakal melakukan aneka tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan kaidah-kaidah moral universal," tulis William.

Terorisme, lanjut William, termasuk sarana kerja totaliterisme. Kekuatan senjata saja tak bisa diandalkan dalam menghadapi terorisme. Ruang pendidikan (formal dan nonformal), tempat-tempat ibadah dan pertemuan- pertemuan umum merupakan wadah yang subur untuk menumbuhkan sikap kritis berhadapan dengan terorisme.

Wadah "pembinaan" teroris- teroris muda perlu diwaspadai terus oleh pemegang roda pemerintahan dalam kerja sama dengan segenap masyarakat. Menurut William, yang perlu segera dan terus-menerus dibangun adalah pusat perdamaian yang berasaskan kebaikan dan keadilan bagi manusia sembari mengandalkan nilai-nilai moral universal.

Pertanyaannya, apakah kebijakan dan langkah deradikalisasi yang telah menjadi program pemerintah sudah tepat? Apakah kepada pemerintah saja kita bertumpu untuk mencegah munculnya pelaku terorisme di tengah kita?

Baca juga: Deradikalisasi Tak Akan Berhasil Jika Gunakan Pendekatan Kekuasaan

Terorisme bukan kejahatan sepenggal-sepenggal dengan alasan dan tujuan pendek dan praktis laiknya kriminalitas jalanan.

Butuh upaya panjang bersama lewat banyak sektor sekaligus untuk menjauhkan siapa pun untuk menjadi pelaku terorisme yang menegasikan manusia dan kemanusiaan. Menjaga diri dan keluarga dari peluang masuknya informasi dan ajakan mengarah ke radikalisasi adalah salah satu cara yang perlu ditempuh bersama. 

Upaya pemerintah dan setiap diri kita itu juga butuh dievaluasi dari waktu ke waktu agar tak malah membuat luka baru yang mencederai dan berbalik menghadirkan wajah lain teror.

Sudah terlalu banyak darah, air mata, dan energi tumpah tersebab peristiwa-peristiwa terorisme di Ibu Pertiwi.

Tak hanya mereka yang luka atau keluarga yang kehilangan sanak kerabat, air mata karena peristiwa terorisme juga tumpah dari mereka yang terdampak secara ekonomi karena hancurnya citra negara di mata dunia. 

Waspadalah....

↵ Kembali ke awal artikel