Jangan anggap ini kabar menakutkan. Jadikanlah ini sebagai pengetahuan tentang apa yang sebenarnya kita hadapi sekaligus merefleksikan bagaimana semestinya hidup di tengah wabah.
Tak perlu menunggu 3.000 tahun seperti yang dilontarkan seniman Jerman, Goethe. Mereka yang tidak belajar dari kehidupan hari-hari kemarin juga berarti hidup tak menggunakan akalnya.
Akhir-akhir ini, berita duka datang tanpa henti. Belum kering air mata, kabar duka kembali tiba.
Tak mengenal kasta dan usia, banyak orang direnggut nyawanya oleh menggilanya wabah Covid-19.
Bukan hanya tetangga, kerabat dan handai taulan, kabar duka juga hinggap di keluarga.
Kita jadi semakin merana karena tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan sekadar untuk memasukan peti ke liang lahat saja tidak bisa.
Hanya bisa menangis di ujung area pemakaman, melihat kakek, nenek, bapak, ibu, suami, istri atau anak yang dihantarkan ke peristirahatan terakhir oleh orang asing.
Apalagi bagi kerabat, sahabat dan handai taulan. Betapa sedihnya mereka memanjatkan dukungan dan doa tanpa kehadiran.
Wabah ini memang malapetaka. Tak ada yang mengetahui ke siapa virus ini merenggut nyawa.
Syukur luar biasa bagi mereka yang sempat terjangkit namun masih bisa tetap melanjutkan hidup.
Ini adalah rangkaian cerita duka yang datang seolah tanpa jeda.
Namun jangan sampai terperosok ke dalam ketakutan dan memilih menutup mata atas informasi penting yang ada.
Kuatlah dan jangan kalah…
Warga salah satu kompleks di bilangan Sunter, Tanjung Priok, Jakarta Utara, geger melihat sesosok pria lanjut usia tergeletak kaku di depan kediamannya sendiri.
Peristiwa tersebut terjadi akhir Juni 2021 lalu.
Tidak ada tetangga yang berani mendekat karena pria itu sebelumnya diketahui sedang menjalani isolasi mandiri di rumah akibat terpapar Covid-19.
Oleh sebab itu, tidak ada yang tahu bahwa lansia nahas tersebut rupanya telah meninggal dunia.
Anak dari lansia itu tidak berada di rumah. Sebab, sang anak juga sedang menjalani isolasi mandiri di sebuah hotel akibat terjangkit Covid-19.
Sekitar 12 jam setelah ditemukan, barulah petugas ambulans datang didampingi aparat kepolisian.
Salah seorang personel polisi meminta maaf karena tidak bisa datang segera.
Baca juga: Saat RS Kolaps, Pasien Cobid-19 Meninggal di Jalan Hingga Jenazah Tergeletak di Depan Rumah
Ia beralasan, mesti menunggu antrean ambulans yang memang sedang sibuk mengantarkan jenazah Covid-19 ke tempat pemakaman.
Jenazah lansia itu kemudian diangkut oleh petugas mengenakan APD untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rorotan.
Di Ciputat, Tangerang Selatan, peristiwa serupa juga terjadi, tepatnya pada 11 Juli 2021.
Seorang pemuda berusia 25 tahun yang diketahui sedang menjalankan isolasi mandiri ditemukan meninggal dunia di apartemennya.
Polisi menyebut, korban tinggal seorang diri di unit apartemennya.
Diduga, kondisi kesehatannya menurun saat sedang menjalani isolasi mandiri. Akhirnya, korban menghembuskan napas terakhirnya.
Jasad pemuda itu kemudian dibawa ke RS Sari Asih Ciputat, untuk dilakukan proses pemakaman menggunakan prosedur Covid-19.
Baca juga: 4 Lansia di Tangerang Meninggal Dunia Saat Isolasi Mandiri
Peristiwa yang sama dialami seorang pria 45 tahun asal Lumajang, Jawa Timur.
Pria malang tersebut divonis menderita Covid-19 pada tanggal 29 Juni 2021 melalui tes usap..
Karena rumah sakit penuh, ia pun menjalani isolasi mandiri di rumahnya, Desa Purwosono, Kecamatan Sumbersukmo.
Tanggal 10 Juli 2021 alias 11 hari kemudian, pria tersebut ditemukan meninggal dunia.
Penemuan itu berawal dari tetangga yang curiga karena tidak mendengar aktivitas di dalam rumah selama beberapa hari.
Setelah melapor, rupanya pria tersebut sudah tergeletak tak bernyawa di atas tempat tidurnya.
Sepucuk surat tergeletak di depan kamar almarhum. Surat itu berisi kalimat penyemangat dari sang anak untuk ayahnya yang sedang berjuang menghadapi Covid-19.
Ada yang pergi dalam sunyi, namun ada pula yang pergi di tengah ikhtiarnya mencari perawatan.
Di Indramayu, Jawa Barat, ada seorang pria 43 tahun yang dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil pikup karena mengalami sesak napas.
Baca juga: 548 Pasien Covid-19 Meninggal Dunia Saat Isolasi Mandiri, Terbanyak di Jawa Barat
Sebelumnya, pria itu sudah dibawa ke Puskesmas setempat. Setelah dites usap, yang bersangkutan divonis menderita Covid-19.
Karena peralatan di Puskesmas tidak memadai, petugas hendak memindahkannya ke fasilitas gawat darurat di rumah sakit.
Namun, Satgas Covid-19 di Kabupaten Indramayu menginformasikan bahwa ICU di seluruh rumah sakit daerah itu penuh.
Sementara itu, kondisi pasien semakin kritis. Pihak keluarga nekat membawanya dengan mobil bak terbuka.
Lima rumah sakit telah didatangi, tetapi fasilitas dan tenaga medis di sana juga tidak bisa menanganinya dengan cepat.
Pasalnya, banyak pasien gejala berat/kritis yang lebih dulu tiba dan otomatis mendapatkan perawatan terlebih dahulu.
Di rumah sakit terakhir, pasien menghembuskan napas terakhir dalam antrean.
Kabar duka juga datang dari garda depan penanggulangan wabah, yakni tenaga kesehatan.
Baca juga: Panduan Lengkap Isolasi Mandiri Pasien Covid-19 di Rumah
Berdasarkan data Koalisi Warga Lapor Covid-19, jumlah tenaga kesehatan yang meninggal dunia akibat penyakit Covid-19 mencapai 1.183 orang.
Jumlah itu dihitung mulai dari Maret 2020 hingga awal Juli 2021.
Salah satu di antaranya bernama Liza Putri Noviana (33), tenaga kesehatan yang bertugas di layanan isolasi terpusat Wisma Atlet, Kemayoran.
Ia gugur pada Kamis, 24 Juni 2021, setelah sepekan dirawat intensif di ICU RSUP Persahabatan.
Liza tercatat merupakan tenaga kesehatan pertama di Wisma Atlet Kemayoran yang gugur akibat Covid-19.
Jenazahnya dihantarkan ke tempat peristirahatan terakhir dengan nyala lilin dari rekan sejawat.
Kabar duka memang tengah meliputi Indonesia. Sejumlah tokoh wafat setelah terjangkit Covid-19.
Beberapa di antara mereka wafat setelah dinyatakan negatif Covid-19.
Namun, bukannya semakin membaik, kondisi kesehatan mereka kian memburuk karena penyakit bawaan.
hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Dikutip dari data kawalcovid19.id, dari akhir Mei hingga awal Juni 2021, penambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia masih berada di kisaran angka 4.000 hingga 6.000 per hari.
Angka kematian akibat Covid-19 juga tidak pernah melebihi 250 kasus.
Namun, menjelang pertengahan Juni 2021, penambahan kasus Covid-19 melonjak linear dengan angka kematian akibat Covid-19.
Berikut ini infografiknya:
Pada 9 Juni contohnya, kasus Covid-19 harian mulai menembus di atas angka 7.000 kasus.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya pada 17 Juni, penambahan kasus harian mulai melewati angka 10.000 kasus dengan angka kematian mencapai 277 kasus per hari.
Pada 20 Juni, kasus kematian sudah mencapai angka 371 kasus dan terus mengalami kenaikan pada hari-hari setelahnya.
Memasuki bulan Juli, kasus kematian mulai menyentuh 504 kasus per hari.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 6 Juli, angka kematian bahkan sudah melewati 700 kasus per hari.
Baca juga: Rekor, 1.040 Kematian Akibat Covid-19, Apa Penyebabnya?
Rekor kasus kematian akibat Covid-19 selama pandemi di Indonesia terjadi pada 16 Juli. Tercatat ada 1.205 pasien Covid-19 yang harus meregang nyawa.
Secara keseluruhan, angka kasus kematian di Indonesia yang terdata selama pandemi mencapai 71.397 kasus.
Tingginya angka kematian akibat Covid-19 itu sedikit banyak disebabkan oleh fasilitas kesehatan yang tidak berdaya menghadapi ledakan kasus.
Dari tingkat puskesmas, klinik, RSUD hingga rumah sakit swasta disesaki pasien Covid-19 bergejala berat.
Catatan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta per 16 Juli misalnya. Sebanyak 3.400-an orang tidak tertampung di rumah sakit.
Baca juga: Megaproyek Triliunan Rupiah Anies yang Masih Berjalan di Tengah Pandemi
Sebanyak 1.900-an orang tertahan di IGD menunggu ruang perawatan.
Sebanyak 1.400-an orang terpaksa menunggu antrean IGD. Dengan terpasang oksigen, mereka duduk di kursi ruang tunggu, tergeletak di lorong-lorong rumah sakit atau memilih menunggu panggilan dari rumah.
Banyak di antara mereka yang menunggu perawatan akhirnya pergi terlebih dahulu meninggalkan dunia ini sebelum mendpatkan perawatan yang layak.
Menghadapi angka kematian yang begitu tinggi, pemerintah sudah menerapkan sejumlah kebijakan untuk meredamnya.
Per 3 Juli 2021, pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat meliputi Pulau Jawa dan Bali.
Kebijakan pembatasan ini berlaku hingga tanggal 20 Juli 2021 dan rencananya akan kembali diperpanjang hingga akhir Juli atau Agustus 2021.
Selengkapnya, dapat simak infografik berikut ini:
Selain PPKM Darurat, pemerintah telah menambah ruang perawatan, mempertebal testing, tracing dan treatment serta mendorong percepatan vaksinasi.
Pemerintah juga meluncurkan program telemedicine bagi pasien yang tidak tertampung di rumah sakit agar tetap bisa mendapatkan perawatan dari dokter. Harapannya, tidak terjadi perburukan situasi bagi pasien isolasi mandiri.
Sayang, program telemedicine ini baru berjalan di DKI Jakarta.
Baca juga: Gelombang Covid-19 dan Melanjutkan Ikhtiar
Namun demikian, dua pekan serangkaian kebijakan berlangsung tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.
Pembatasan yang dilakukan nampaknya kurang efektif. Penambahan kasus baru Covid-19 masih terus di atas 50.000 per hari. Padahal, ketika pekan pertama PPKM Darurat, penambahan kasus masih berkisar 30.000 per hari.
Program penambahan rumah sakit dan sebagainya juga tak mampu menekan angka kematian akibat Covid-19.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui, PPKM Darurat belum berhasil menekan kasus.
Pasalnya, penambahan kasus baru yang begitu tajam bukan bersumber dari penularan di tempat kerja maupun di ruang publik, melainkan dari klaster keluarga.
Baca juga: Posisi Indonesia Pada Pandemi Covid-19 Dunia, Ada di Mana?
Oleh karena itu, ia meminta masyarakat lebih disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, termasuk di lingkungan keluarga.
"Saya perlu menegaskan bahwa peran masyarakat sangat besar dalam menekan klaster keluarga," ujar Wiku dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube Sekretariat Presiden, Kamis 15 Juli 2021.
View this post on Instagram
Di tengah makin gentingnya situasi, muncul beberapa skenario penanganan yang akan diambil pemerintah. Salah satunya opsi memperpanjang PPKM Darurat hingga enam pekan selanjutnya.
Bila itu diberlakukan, artinya mobilitas masyarakat masih akan dibatasi hingga sekitar akhir Agustus.
Melalui paparannya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI pada 12 Juli, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sudah menyiapkan skenario perpanjangan PPKM Darurat.
Baca juga: Jokowi Minta Menteri Harus Miliki Sense of Crisis Saat Kondisi Darurat
Perpanjangan PPKM Darurat dilakukan bila risiko pandemi Covid-19 masih tinggi.
"PPKM Darurat selama empat-enam minggu dijalankan untuk menahan penyebaran kasus. Mobilitas masyarakat diharapkan menurun signifikan," kata perempuan yang biasa disapa Ani tersebut.
Memperpanjang pembatasan itu otomatis berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengantisipasi jatuhnya perekonomian lebih dalam, pemerintah akan memperkuat belanja APBN.
Baca juga: Mengenal 11 Varian Virus SARS-CoV-2
Sebelumnya, pemerintah sudah menambah belanja di sektor kesehatan dan perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Penambahan anggaran dua sektor tersebut berasal dari refocusing dan realokasi sektor lainnya, yakni bantuan UMKM dan korporasi serta program prioritas.
"Belanja APBN diperkuat untuk merespons dampak negatif peningkatan kasus Covid-19 kepada perekonomian. Diperlukan akselerasi vaksinasi, efektivitas PPKM Darurat, dan kesiapan sistem kesehatan," sebut paparan tersebut.
Meski demikian, hingga artikel ini ditayangkan, belum ada keputusan final apakah PPKM Darurat benar-benar diperpanjang atau tidak. Sebagai pejabat yang menjadi koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan juga belum bisa memastikan.
Baca Juga: PPKM Darurat Jadi Diperpanjang atau Tidak?
Melalui pernyataan yang diunggah lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis 15 Juli 2021, Luhut mengaku, tidak menduga lonjakan kasus terjadi sedemikian cepat.
"Kasus meroket ini sudah kita duga juga mungkin terjadi, tapi tidak kita duga terus terang secepat ini. Tapi balik ke pemahaman kita terhadap varian Delta ini juga banyak yang tidak paham betul," kata Luhut.
Prediksi pemerintah, ledakan kasus Covid-19 beserta dengan angka kematiannya yang tinggi, baru akan melandai tiga pekan mendatang.
Oleh sebab itu, hari-hari mendatang masih sangat mungkin terjadi lonjakan kasus hingga di atas 60.000 per hari.
Luhut menambahkan, saat ini pemerintah menyiapkan skenario terburuk dalam menghadapi itu.
Menurut Luhut, pemerintah masih memiliki persiapan yang cukup baik bila kasus harian Covid-19 bertambah 60.000 per hari. Namun, ia berharap kasus harian Covid-19 tidak mencapai 100.000 kasus dalam sehari.
"Jadi kita bicara worst case scenario untuk 60.000 atau lebih sedikit, kita masih sudah cukup OK. Kita tidak berharap mungkin sampai ke 100.000, tapi itu pun kami sudah rancang sekarang kalau pun sampai terjadi di sana," ujar purnawirawan jenderal bintang empat itu.
Baca juga: Presiden Pimpin Pengendalian Pandemi Covid-19 24 Jam
Dari beberapa strategi yang akan dilakukan pemerintah menghadapi skenario terburuk, salah satu yang disebutkan Luhut adalah mengenai pembuatan rumah sakit lapangan.
Presiden, sebut Luhut, telah meminta TNI untuk membuka rumah sakit-rumah sakit lapangan untuk merawat pasien Covid-19.
Bersamaan dengan itu, Kementerian Pekerjaan Umum juga tengah menyiapkan 14 rumah sakit darurat yang akan tersebar di Jakarta, Bandung, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Semarang dan Solo Raya, Surabaya, serta Bali.
Berikut ini daftar lengkap lokasinya:
Kehidupan saat ini memang sangat berbeda dibandingkan beberapa tahun lalu.
Wabah Covid-19 betul-betul memporakporandakannya dan membawa seluruh aktivitas manusia ke tatanan yang baru. Normal yang baru.
Psikolog dari Universitas Indonesia Dr Rose Mini Agoes Salim , M. Psi mengatakan, untuk bisa survive di era yang baru ini, pada dasarnya seseorang harus membangun kesadaran diri terlebih dahulu bahwa kehidupan sudah berubah.
Seseorang harus sadar bahwa segala sesuatu tidak bisa lagi dilakukan dengan cara lampau.
“Banyak sekali orang pasang standar sama seperti sebelum wabah. Saya dulu begini, saya dulu begitu. Kalau patokannya sudah begitu dan standar tidak mau diturunkan, maka akan sulit menjalani hari-hari ke depan,” ujar Rose saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Jumat 16 Juli 2021.
“Sulitnya kenapa? Ya karena sekarang ini kita enggak akan mungkin sampai ke situ. Ekspektasi yang terlalu tinggi ini membuat frustasi dan sebagainya,” lanjut dia.
Mereka yang mengambil sikap menyangkal (denial) atas perubahan dan tetap hidup dengan cara dan nilai terdahulu hanya akan jatuh dikecewakan. Cepat atau lambat.
Jadi, merendahkan hati, merelakan diri dan mengubah mindset bahwa dunia telah berubah merupakan kunci awal.
Akhir-akhir ini, banyak orang mengatakan bahwa mengurangi konsumsi berita tentang wabah adalah kunci hidup damai. Rose tidak setuju sepenuhnya.
Bagi dia, sikap menutup pintu dari segala informasi tentang wabah adalah hal yang tidak bijak. Bahkan, berpotensi mencelakai diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.
Baca juga: Kebanjiran Kabar Duka di Medsos, Ini Dampak Psikologis dan Solusinya
Hal yang harus dilakukan atas lautan informasi itu adalah trtsp bersikap kritis, skeptis dan tidak tergesa-gesa menjustifikasi.
“Yang betul itu disaring. Kalau ada informasi data statistik misalnya, harus dilihat dulu itu apa, dari mana, kenapa sampai terjadi seperti itu. Kadang kita baru baca sekilas, justru malah di-forward begitu saja sehingga menimbulkan ketakutan,” ujar Rose.
Ia bisa memahami mengapa sikap menutup diri dari informasi ini muncul. Orang biasanya merasa lebih aman bila tidak mengetahui banyak hal.
Namun, Rose mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan hal serius yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Oleh sebab itu, semua orang semestinya mampu mengakses dan memilah informasi yang dibutuhkan demi keselamatan bersama.
“Sekali lagi, intinya kita harus melihat informasi dengan bijak. Kalau tidak mau tahu sama sekali kan juga tidak benar,” ujar Rose.
“Niat media massa itu baik. Misal dikasih lihat pemakaman yan penuh, ambulans harus antre. Niatnya supaya orang lebih merasa, oh ada yang seperti ini, kita jangan sampai berada di situasi itu. Makanya harus apa? Pakai masker, patuhi protokol kesehatan,” lanjut dia.
Rose menilai, setiap manusia, setidaknya yang hidup di Indonesia, semestinya sudah mulai menyadari perubahan ini. Sebab, pandemi di Tanah Air sudah berlangsung sekitar 27 bulan.
Selama periode itu, kita semua diharapkan sudah beradaptasi dengan keadaan-keadaan normal yang baru. Kita sudah punya-setidaknya memikirkan-jalan keluarnya.
Mulai dari yang menyangkut kehidupan sehari-hari semisal, menerapkan protokol kesehatan, menghadapi pembatasan aktivitas dan berkomunikasi secara virtual, hingga dalam situasi yang buruk, yakni merawat diri sendiri atau anggota keluarga yang sakit dan menerima kabar duka.
“Kita sudah belajar dari sejak awal pandemi. Maka, sudah muncul sikap-sikap tertentu yang sudah dikembangkan di dalam diri untuk mengatasi persoalan pada perubahan itu,” ujar Rose.
Baca juga: Tiap Hari Beri Kabar Duka, Nakes: Saya Merasa Tak Berdaya
Bagi mereka yang masih saja menyangkal atas kondisi ini, cepat atau lambat akan merasakan dampak wabah.
Meskipun, Rose berharap jangan sampai seseorang tertimpa persoalan dahulu, baru dia terbuka dan berubah kemudian.
“Karena pada waktu keluarga ada yang terkena, bahkan sampai meninggal dunia, biasanya ketakutan itu baru muncul atau meningkat. Dia mulai merasa, oh ini real,” ujar Rose.
“Mungkin kemarin baru sebatas mendengar cerita, melihat di TV, sehingga kadang masih kurang percaya. Tetapi begitu dialami sendiri, barulah dia tersadar. Semoga enggak ada yang begitu,” lanjut dia.
Selain membangun kesadaran penuh, kita juga harus mulai memupuk resilience atau kemampuan menyesuaikan diri, menghadapi dan kembali pulih pada tekanan internal dan eksternal.
Beberapa sikap yang dibutuhkan untuk memupuk resiliensi, antara lain pengelolaan emosi yang baik, pengendalian impuls alias dorongan dalam diri, optimisme, analisis penyebab masalah dan empati.
Dengan menapaki sikap-sikap tersebut, kita jadi bisa membuat skala prioritas yang harus dilakukan saat dihadapkan pada persoalan. Kabar duka contohnya.
“Jadi, setiap kali ada masalah, dia jatuh, dia balik lagi, bounce back. Melenting dari situasi terpuruk dan berdiri lagi,” ujar Rose.
Baca juga: 6 Cara Sembuhkan Duka Akibat Kehilangan Orang Tersayang
Persoalannya, ia mengakui, tidak semua orang memiliki kemampuan ini. Banyak yang jalan di tempat ketika berada dalam situasi terpuruk.
“Ngeluh, sedih, enggak bisa ke mana-mana, mengasihani diri sendiri, saya enggak bisa apa-sapa, saya di-PHK. Tetapi tidak mencari jalan keluar. Dari sini otak kita memang harus jernih dulu. Kalau bukan dari diri sendiri, bisa input dari orang lain,” lanjut dia.
Rose sekali lagi mengingatkan, kita harus mempersiapkan fisik dan pikiran sebaik mungkin untuk hidup dalam kondisi wabah.
Tidak ada yang dapat memastikan kapan kekacauan ini terjadi. Oleh sebab itu, selalu bersiaplah untuk kemungkinan terburuk.
“Di kepala kita, harus diletakkan bahwa yang dulu enggak real, sekarang menjadi real. Hidup kita saat ini suka tidak suka sudah berdampingan dengan itu,” ujar Rose.
Di tengah amukan wabah, masih ada harapan untuk masa depan. Ikhtiar sebaik-baiknya merupakan jalan terbaik untuk menapakinya.