JEO - Insight

Jelang
Satu Tahun Pemerintahan
Joe Biden

Selasa, 7 Desember 2021 | 15:37 WIB

Joe Biden dilantik menjadi Presiden ke-46 AS pada 20 Januari 2021. Sejumlah catatan dari Pilpres AS 2020 masih bergulir hingga menjelang satu tahun kekuasannya di Gedung Putih.

Ini catatan komprehensif terkait pergantian pemerintahan Amerika Serikat lewat Pilpres AS 2020 dari Donald Trump ke Joe Biden.

RABU. 20 Januari 2021, menandai lengsernya Donald Trump dari tampuk kepemimpinannya sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).

Presiden ke-45 AS itu gagal menyamai pencapaian tiga pendahulunya, yakni Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama, yang mampu melanjutkan masa jabatannya ke periode kedua.

Trump kalah telak dari Joe Biden pada Pemilihan Presiden AS 2020 yang dihelat pada 4 November 2020.

Baca juga: Hasil Pilpres AS 2020 Trump vs Biden

Biden dan wakilnya, Kamala Harris dilantik di Gedung Capitol, Washington DC, pada Rabu pukul 11.30 waktu setempat atau 23.30 WIB.

Pelantikan Presiden AS Joe Biden (paling kanan) dan Wakil Presiden AS Kamala Harris (nomor dua dari kiri) di Washington (20/1/2021)
AFP/ANGELA WEISS
Pelantikan Presiden AS Joe Biden (paling kanan) dan Wakil Presiden AS Kamala Harris (nomor dua dari kiri) di Washington (20/1/2021)

Sebelum hasil Pemilu 2020 Amerika Serikat memastikan kemenangan Biden, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan Biden punya tiga keuntungan yang membuatnya jadi pemenang dalam Pilpres AS 2020.

Pertama, diuntungkan justru dari sikap Trump yang penuh kontroversi terhadap berbagai isu di dalam negeri. Menurut dia, ini membuat swing voter enggan memilihnya lagi dan terdorong untuk memilih Biden.

Kedua, ada kemungkinan para pemilih melakukan eksperimen terhadap partai politik dalam menangani masalah, khususnya domestik.

Ketiga, jika melihat tensi secara global, ada kecenderungan masyarakat internasional berharap Amerika kembali menjadi "polisi dunia" yang mengayomi banyak negara.

"(Saat masa Trump) prinsip dasar hubungan luar negeri AS banyak dihancurkan. Bahkan Trump bilang Amerika ini juga negara berkembang, tidak mau dia dianggap sebagai negara maju yang bisa mengayomi banyak negara dan jadi polisi dunia," ujar dia.

Baca lagi: Peta Dukungan Trump vs Biden di Pilpres AS 2020

Bagaimana situasi terkini menjelang satu tahun pemerintahan Biden? 

Apakah politik luar negeri AS banyak berubah banyak setelah Trump dan Partai Republik lengser dari kepemimpinan nasional dan digantikan kepemimpinan Biden bersama Partai Demokrat? 

Apa saja yang telah terjadi sepanjang setahun ini, baik yang berdampak terhadap kondisi domestik Amerika Serikat maupun ke seantero dunia?

 

 Isu yang dibahas di artikel ini: 

 

AFGHANISTAN
DAN
TIMUR TENGAH

Warga yang dievakuasi dari Afghanistan duduk di dalam pesawat militer selama evakuasi dari Kabul, di lokasi yang tak disebutkan, Kamis (19/8/2021). Situasi tegang dan konflik memanas melanda Kabul disertai ribuan orang berupaya melarikan diri dari wilayah tersebut setelah jatuhnya kekuasaan Afghanistan ke tangan rezim Taliban.
ANTARA FOTO/US MARINES/HANDOUT
Warga yang dievakuasi dari Afghanistan duduk di dalam pesawat militer selama evakuasi dari Kabul, di lokasi yang tak disebutkan, Kamis (19/8/2021). Situasi tegang dan konflik memanas melanda Kabul disertai ribuan orang berupaya melarikan diri dari wilayah tersebut setelah jatuhnya kekuasaan Afghanistan ke tangan rezim Taliban.

NASIB sejumlah negara Timur Tengah diyakini terpengaruh dengan pergantian kepemimpinan di AS. Afghanistan, salah satunya. 

Sesuai perjanjian AS dengan Taliban pada akhir Februari 2020, Trump berjanji akan menarik pasukan dari Afghanistan secara bertahap dengan imbalan gencatan senjata dari kelompok tersebut.

"Trump ingin pasukan AS pulang sebelum Natal," kata Ketua Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley di radio NPR pada Senin (12/10/2020).

Milley juga menekankan bahwa penarikan 4.500 tentara terakhir bergantung pada pengurangan intensitas serangan Taliban dan kemajuan progres pembicaraan damai dengan pemerintah Kabul.

Janji Trump soal Afghanistan

Pada 17 November 2020, beberapa pekan setelah Pilpres AS menempatkan Biden sebagai pemenang, Pentagon mengumunkan bahwa Trump memerintahkan penarikan sekitar 2.000 tentara dari Afghanistan dan 500 tentara dari Irak sebelum pelantikan Biden.

"Pada 15 Januari (2021), jumlah pasukan kami di Afghanistan akan menjadi 2.500 tentara. Ukuran pasukan kami di Irak juga akan menjadi 2.500 pada tanggal yang sama,” kata Penjabat Menteri Pertahanan Chris Miller kepada wartawan di Pentagon, Selasa (17/11/2020), seperti dikutip VOA.

Pada 15 Januari 2021, Trump mengklaim bahwa jumlah pasukan di Afghanistan telah mencapai titik terendah dalam 19 tahun, meski dia tidak menyebutkan jumlahnya.

Menurut keterangan pers Departemen Pertahanan AS, pengurangan pasukan di Afghanistan merupakan indikasi dukungan berkelanjutan terhadap proses perdamaian di Afghanistan dan kepatuhan terhadap komitmen yang dibuat dalam perjanjian AS-Taliban dan Deklarasi Bersama AS-Afghanistan.

Foto dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat memperlihatkan satu unit CH-47 Chinook dari 82nd Combat Aviation Brigade, 82nd Airborne Division, dimasukkan ke pesawat Angkatan Udara C-17 Globemaster III di bandara internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Sabtu (28/8/2021).
KEMENTERIAN PERTAHANAN AS via AP
Foto dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat memperlihatkan satu unit CH-47 Chinook dari 82nd Combat Aviation Brigade, 82nd Airborne Division, dimasukkan ke pesawat Angkatan Udara C-17 Globemaster III di bandara internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Sabtu (28/8/2021).

Dari pernyataan yang sama, seluruh pasukan di Afghanistan ditargerkan akan sepenuhnya ditarik pada Mei 2021. Kendati demikian, Dephan AS menyatakan penarikan seluruh pasukan akan tergantung kondisi.

Beda dengan Trump, Biden diketahui sempat menganjurkan mempertahankan pasukan kontraterorisme kecil di Afghanistan sebagai cara untuk memastikan kelompok bersenjata seperti Al-Qaeda tidak dapat menyusun rencana serangan ke AS.

Dr Yoyo, Ketua Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta berpendapat, pergantian kepemimpinan dari Trump ke Biden bisa jadi akan membuat AS memiliki kebijakan berbeda terhadap Timur Tengah.

Untuk ISIS, Yoyo menilai lengsernya Trump kemungkinan bisa menjadi momentum kebangkitan kawasan tersebut.

Namun, dia memberi catatan, "Power-nya tidak sebesar dulu, (karena) sudah kehilangan figur-figur penting." kata Yoyo saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon pada Jumat (30/10/2020).

Besarnya pengaruh AS di Timur Tengah

Dibandingkan kekuatan regional seperti Rusia dan Turki, AS terbilang berhasil mencengkeram negara-negara Timur Tengah yang strategis.

Yoyo yang juga menjabat Ketua Progam Studi Bahasa dan Sastra Arab UAD menerangkan, ada tiga pilar kebijakan AS di Timur Tengah yaitu minyak, Israel, dan stabilitas nasional.

Berbicara tentang Israel, sejauh ini sudah ada enan negara Liga Arab yang menjalin normalisasi hubungan dengan negara tersebut.

Setelah Mesir pada 1979 dan Yordania 1994, empat negara sekaligus menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko.

"Saya kira ke depan mereka (AS) akan memainkan peran strategis, isu normalisasi akan jadi isu pertama," lanjut Yoyo.

Baca juga: Jelang Pertemuan Biden dan Putin, Ini Riwayat Perseteruan Mereka

Namun, beda halnya dengan kebijakan minyak. Menurut Yoyo, topik minyak sudah dikurangi prioritasnya karena AS telah menemukan calon alternatif sumber energi yaitu dari energi terbarukan.

Nuansa ini tak hanya datang dari pemerintahan tetapi juga dari kalangan industri terkait energi di Amerika Serikat. 

“Kita membutuhkan terobosan teknologi, dan tugas saya adalah menemukannya,” kata Presiden Chevron Technology Ventures, Barbara Burger, dikutip dari New York Times.

Burger menambahkan bahwa transisi energi adalah sebuah proses yang bertahap, berkembang, terus menerus selama beberapa dekade.

Sementara itu, Exxon juga melirik energi terbarukan dan telah menghabiskan sekitar 1 miliar dollar AS (Rp 14 triliun) dalam setahun, untuk penelitian dan pengembangan teknologi energi baru serta peningkatan efisiensi yang mengurangi emisi.

Exxon baru-baru ini mengumumkan kemajuan besar para ilmuwannya di Universitas California, Berkeley, dan Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley.

Mereka mengembangkan bahan yang membantu menangkap karbon dioksida dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) gas alam, dengan pemanasan dan pendinginan yang lebih sedikit daripada metode sebelumnya.

Perubahan budaya

Hampir dua dekade lamanya Afghanistan diinvasi AS. Lalu apakah situasi itu membawa perubahan budaya ke negara itu?

"Saya masih percaya dengan tesisnya Hisham Sharabi, bahwa masyarakat Arab itu sedang bertransformasi dari bentuk patriarki lama ke dalam bentuk patriarki baru (neo patriarki)," ucap Yoyo.

Patriarki baru yang dimaksud adalah demokrasi di kelompok tertentu. Contohnya di Mesir dan Irak yang belum menemukan format terbaik dari negara mereka.

Akan tetapi Yoyo menerangkan, perubahan budaya ini tidak terlalu banyak dipengaruhi AS karena sejak 1967 orang-orang Arab sudah fokus dengan isu-isu internal.

"Jadi pengaruh luar itu tidak terlalu besar dalam artian dari sisi dimensi transformasi kebudayan," ujar Yoyo.

Dia pun menyebut ada faktor ketidaksiapan para pemimpin Arab baru untuk melakukan transformasi yang sesungguhnya.

Yoyo menerangkan, yang sudah betul-betul berhasil mengubah sistem politik dan sistem kebudayaan pasca-Arab Spring adalah Tunisia. Dialog lintas kelompok di negara itu, sebut dia, menemukan solusi berupa konstitusi 2014.

Realisasi di rezim Biden

Janji boleh diumbar, pelaksanaan belum tentu sesuai. Ini yang kemudian sempat terjadi dengan rencana dan jadwal penarikan pasukan AS dari Afghanistan. 

Pada 14 April 2021, Biden mengumumkan penundaan target penarikan total pasukan AS dari Afghanistan yang sebelumnya oleh Trump dijanjikan terjadi pada 1 Mei 2021. 

Biden menyebut penundaan berlaku selama empat bulan. Dia menyatakan pasukan AS dan NATO akan keluar dari Afghanistan sebelum peringatan 20 tahun serangan 11 September.

Baca juga: Kilas Balik, Kontroversi, dan Pelajaran dari Tragedi 9/11

Pada awal Juli 2021, Biden mengumumkan kembali bahwa penarikan akan terjadi maksimal 31 Agustus 2021. 

"Misi militer kami di Afghanistan akan berakhir pada 31 Agustus (2021)," ujar dia. 

Penarikan belum sepenuhnya terjadi, pasukan AS dikejutkan dengan serangan cepat Taliban ke penguasa Afghanistan yang didukung Barat pada 14 Agustus 2021.

Belum selesai, kejutan juga datang dari serangan bom bunuh diri ISIS-K di Bandara Kabul. Ratusan orang tewas, termasuk di dalamnya 13 tentara AS. 

Dari 13 tentara tersebut, lima di antaranya baru berusia 20 tahun. Ketika serangan 11 September 2001 menghantam Amerika Serikat, mereka masihlah balita.

Serangan yang antara lain meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) itu adalah pangkal keberadaan pasukan AS di Afghanistan atas nama perang melawan teror.

Namun, mereka terus bercokol di sana setelah menumbangkan rezim yang dituding turut mendukung serangan 11 September. Dalam perjalanannya, pemerintahan baru di Kabul yang didukung AS pun terbukti korup dan tak efektif. 

Belum lagi, pertempuran yang terus berlangsung secara sporadis dengan pasukan Taliban di Afghanistan telah merenggut nyawa 2.461 tentara AS.

Biaya perang yang dikeluarkan AS tercatat tak kurang dari 2,3 triliun dollar AS, setara lebih dari Rp 32.000 triliun, menurut data Watson Institute Brown University. 

Serangan beruntun di Kabul memastikan arus besar dan cepat orang-orang asing keluar meninggalkan Afghanistan. 

Baca juga: Kenapa Batas Biden Menarik Pasukan dari Afghanistan 31 Agustus? Bagaimana jika Telat?

Pada 31 Agustus 2021 petang waktu setempat, Biden menyampaikan pidato dari Gedung Putih terkait penarikan mundur pasukannya. Dia menyebutkan, perang selama 20 tahun di Afghanistan adalah yang terlama dalam sejarah Amerika Serikat. 

Setelah bertutur panjang soal kronologi dan versinya tentang penarikan pasukan, Biden pun menyinggung bahwa perang AS terhadap pelaku dan pendukung serangan 11 September 2001 belumlah usai dengan keluarnya tentara AS dari Afghanistan. 

Biden menyebutkan pula bahwa keputusan AS soal Afghanistan tak semata tentang Afghanistan. "Ini tentang mengakhiri era operasi militer besar untuk membuat ulang negara lain."

Apakah langkah AS di Afghanistan benar-benar akan berdampak pada wajah politik dan militer mereka di Timur Tengah? 

 

↵ Kembali ke daftar pilihan konten artikel

LAUT CHINA SELATAN
DAN
ASIA PASIFIK

Foto diambil pada 15 Juni 2016 yang memuat peta dan klaim China atas kawasan Laut China Selatan (dalam kotak dengan garis titik warna merah).
AFP/GREG BAKER
Foto diambil pada 15 Juni 2016 yang memuat peta dan klaim China atas kawasan Laut China Selatan (dalam kotak dengan garis titik warna merah).

SELAIN Timur Tengah, kawasan yang dinilai juga akan terkena dampak dari pergantian kepemimpinan di AS adalah Laut China Selatan.

Riza Noer Arfani Direktur Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menerangkan, siapa pun presiden yang berkuasa di AS akan tetap menyoroti persoalan Laut China Selatan.

Namun, Riza menuturkan, ada perbedaan cara pendekatan dari Trump dan Biden meski keduanya sama-sama memiliki kepentingan di perairan yang penuh sengketa tersebut.

"Trump dengan latar belakang pebisnis akan pragmatis. Biden kalkulasinya lebih matang dalam pengertian lebih hati-hati," terang Riza saat dihubungi Kompas.com, Jumat (2/10/2020).

"Yang dilakukan Trump baru menggertak untuk menaikkan posisi tawar dan melihat bagaimana reaksi China," lanjut Riza seraya menyebut rencana jangka panjang China adalah klaim teritorial nine-dash lines.

Klaim teritorial China atas kawasan tersebut menyeret banyak negara ke lingkaran persoalan tak kunjung usai, termasuk Indonesia. Terkini, China mengirimkan nota diplomatik yang meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan latihan perang di Laut Natuna Utara. 

Baca juga: China Protes Pengeboran dan Latihan Militer Indonesia di Laut Natuna Utara

Profesor James Crabtree dari Lee Kuan Yew School of Public Policy di Universitas Nasional Singapura mengatakan Biden pasti akan belajar banyak dari kesalahan yang dilakukan pemerintahan Barack Obama. Saat itu, Biden adalah wakil presidennya.

Pada 2012, pemerintahan Obama mengalami kebuntuan saat menghadapi ketegangan antara China dan Filipina di wilayah yang disebut Scarborough Shoal, tidak jauh dari pantai Filipina.

AS yang menjadi perantara tidak dapat berbuat banyak. Kesepakatan yang dibuat tidak banyak menghentikan China untuk terus maju dalam upayanya mengubah keseimbangan geopolitik di kawasan itu.

Bagaimana dengan Taiwan dan Australia?

Selain Laut China Selatan, naiknya Biden diyakini akan mempengaruhi kedekatan negara itu dengan Taiwan dan Australia. Kedua negara tersebut sedang hangat-hangatnya dengan Amerika Serikat sejak Trump menjabat.

Taiwan misalnya, yang telah menjamu kedatangan dua delegasi AS secara terpisah dalam kunjungan tingkat tinggi.

Setelah Menteri Kesehatan Alex Azar mendarat di Taipei pada 9 Agustus 2020—menjadi kunjungan tingkat tertinggi pertama pejabat AS sejak 1979—, Wakil Menteri Luar Negeri Urusan Ekonomi Keith Krach menyusul pada 17 September 2020.

Sementara itu, Australia juga sedang lengket dengan AS dalam hal menentang klaim China di Laut China Selatan, dan pandemi virus corona dengan terus mendesak penelitian internasional di Institut Virologi Wuhan.

Baca juga: Respons Kemenlu soal Isu China Protes Pengeboran di Laut China Selatan dan Latihan Garuda Shield

Meski diperkirakan ada "beda rasa" antara Trump dan Biden dalam hal isu Taiwan, bukan berarti jalan China akan terbuka lebar untuk mencaplok Taiwan. Menurut Riza, banyak hambatan yang harus diperhitungkan China untuk Taiwan masuk lagi ke wilayahnya.

Diberitakan Kompas.com pada 10 Agustus 2020, bisnis-bisnis di Taiwan para pekerjanya banyak orang China.

Penghentian mendadak semua pabrik sebelum invasi dan putusnya pengiriman uang akan menyebabkan gangguan ekonomi yang signifikan, dan diyakini dapat menimbulkan perselisihan dan kepanikan di antara penduduk sipil "Negeri Panda".

Pada akhir Desember 2020, Wakil Menteri Pertahanan Jepang, Yasuhide Nakayama mendesak Biden untuk mengambil sikap yang sama seperti Trump terhadap Taiwan.

“Sejauh ini, saya belum melihat kebijakan atau pengumuman yang jelas tentang Taiwan dari Joe Biden," ucap Nakayama, seperti dikutip Reuters pada Jumat (25/12/2020).

Selama kampanye di Pilpres AS 2020, Biden menyerukan penguatan hubungan dengan Taiwan dan "negara demokrasi yang berpikiran sama". Tapi beberapa dekade lalu sebagai senator, Biden pernah mempertanyakan apakah AS punya kewajiban untuk membela Taiwan.

Banyak orang-orang di lingkaran kebijakan luar negerinya mengakui bahwa keharusan AS telah berubah ketika China yang bangkit dan otoriter menjadi lebih tegas dan berusaha membentuk institusi global.

Seorang pejabat di tim transisi Biden mengatakan, Biden percaya bahwa dukungan AS untuk Taiwan "harus tetap kuat, berprinsip, dan bipartisan."

"Begitu menjabat, dia akan terus mendukung penyelesaian damai masalah lintas selat yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan terbaik rakyat Taiwan," kata pejabat itu.

Baca juga: Biden Berjanji Selama Dia Menjabat, China Tak Akan Jadi Pemimpin Dunia

China masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya dan masih berambisi agar pulau yang dulu dikenal dengan nama Formosa itu berada di bawah kendali penuh Beijing.

China marah dengan meningkatnya dukungan AS untuk Taiwan, termasuk penjualan senjata dan kunjungan pejabat senior AS ke Taipei, yang semakin memperburuk hubungan China-AS yang sudah buruk.

Pada November 2021, perseteruan China dan Amerika Serikat terkait isu Taiwan mencuat kembali. Biden sempat menyebut bahwa Taiwan adalah negara independen dan bisa membuat keputusan sendiri terkait nasibnya.

Pernyataan ini menuai kritik karena AS diketahui tidak mengakui kedaulatan Taiwan tetapi mendukung upaya perlawanannya terhadap pemerintah China daratan. Belakangan, Biden pun meralat ucapannya dan menyatakan bahwa sikap AS terhadap Taiwan tak berubah dari rezim sebelumnya. 

Baca juga: Biden Klarifikasi Ucapannya tentang Taiwan yang Independen

 

↵ Kembali ke daftar pilihan konten artikel

ENERGI
DAN LINGKUNGAN

Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat berpidato di konferensi iklim COP26 Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
AP PHOTO/EVAN VUCCI
Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat berpidato di konferensi iklim COP26 Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).

SAAT masa kampanye Pilpres AS 2020, Trump dan Biden membawa gagasan yang bertolak belakang mengenai perekonomian, kesehatan, energi, hingga isu perubahan iklim saat kampanye.

Di sektor lingkungan, Trump sempat menyebut perubahan iklim adalah kabar bohong alias hoaks. Dia tak segan-segan menarik AS dari Kesepakatan Paris yang diratifikasi pada 2015 untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) di tahun-tahun awal menjabat sebagai Presiden AS.

Adapun Biden menyatakan perubahan iklim adalah isu yang sangat mendesak untuk diperhatikan dan ingin kembali bergabung dalam Kesepatakan Paris jika dia menjadi Presiden AS.

Di sektor energi, Trump cenderung semakin mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber energi fosil, terutama minyak dan gas (migas). Pemerintahan Trump berulang kali menginginkan pembukaan Suaka Margasatwa Nasional Alaska (ANWR) untuk eksplorasi migas.

Sebaliknya, Biden berencana membangun energi masa depan yang modern, berkelanjutan, dan bersih. Salah satu kebijakan awal yang Biden buat begitu menempati kursi Gedung Putih adalah mengeluarkan perintah aksi untuk mengatasi krisis iklim, termasuk memastikan dukungan untuk Kesepakatan Paris, termasuk mendorong industri dan warga negaranya memimpin revolusi peralihan ke penggunaan energi bersih. 

Dosen Ketahanan Energi Universitas Pertahanan, Donny Yusgiantoro, memprediksi jika Trump terpilih lagi menjadi Presiden AS, dia akan tetap mengedepankan upaya eksplorasi dan eksploitasi energi fosil, termasuk membuka lagi eksplorasi migas federal yang dulu pernah dimoratorium di era Barack Obama.

Namun, lanjut Donny, baik Trump maupun Biden sebenarnya sama-sama ingin menguasai pasar global. Dengan menguasai pasar global, AS memiliki nilai tawar yang tinggi di mata negara-negara di seluruh dunia.

“Misalnya kalau punya bargaining besar, dia kalau mau ekspansi bisnis lagi bisa dengan mudah,” kata Donny saat dihubungi Kompas.com menjelang Pemilu AS 2020.

Ilustrasi ladang minyak.
SHUTTERSTOCK/CALIN TATU
Ilustrasi ladang minyak.

Saat masih menjabat, Trump menggunakan kekuatannya untuk menekan saingan negaranya, terutama Iran, agar semakin memantapkan AS menjadi penguasa pasar global.

“Dia (Trump) juga meminta negara-negara sekutunya di Eropa dan di Arab supaya tidak beli minyak dari Iran,” imbuh Donny.

Di sisi lain, dalam kampanye-kampanyenya, Biden lebih menonjolkan pembangunan energi terbarukan. Biden mengusulkan paket stimulus yang akan memompa ratusan miliar dollar AS untuk pekerjaan energi bersih.

Kendati demikian, saat dituding anti-eksplorasi shale gas dan shale oil, Biden menampiknya. Itu karena sejumlah negara bagian produsen migas, seperti Texas dan Pennsylvania, memiliki basis suara yang cukup besar.

Shale gas dan shale oil adalah minyak dan gas yang didapat dari teknik eksplorasi yang mampu mengangkat resapan-resapan minyak dan gas dari sela bebatuan, termasuk dari sekitar sumur eksplorasi lama.

Dengan teknologi ini, eksplorasi minyak dan gas tak lagi harus sepenuhnya mengandalkan sumber besar dan sumur eksplorasi. 

Kendati demikian, Donny berpendapat jika AS ingin tetap menjadi penguasa pasar global dan menjaga pengaruhnya di tataran gobal, siapa pun presiden AS mendatang harus melihat juga ke negara-negara berkembang sebagai pasar sekaligus pemasok sejumlah kebutuhannya.

Di sisi lain, China kini juga menjadi negara adidaya yang disegani di seluruh dunia. Beberapa kali China menunjukkan taring dan pengaruhnya terhadap negara-negara lain.

“Nanti kita lihat bisa tidak presiden AS mendatang mempertahankan pengaruhnya di mana pun mereka berada,” ujar Donny.

Satu tahun berjalan...

Sesuai dengan perintah eksekutif yang Biden terbitkan pada hari-hari pertama kekuasannya, energi bersih dan penanganan krisis iklim menjadi warna yang kental mencuat pada hari-hari pemerintahannya di tengah pandemi Covid-19. 

Salah satu momentumnya datang dari pertemuan UN Framework Convention on Climate Change (UNFCC) Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-13 November 2021. 

Baca juga: Apa Itu COP26 dan Mengapa Penting?

Biden menyatakan bahwa sekarang adalah dekade menentukan untuk kita bersama-sama menjaga kenaikan suhu Bumi tak lebih dari 1,5 derajad Celcius pada 2030.

Dia pun menjanjikan dalam pidatonya pada 1 November 2021 di forum tersebut bahwa Amerika akan mengejar target ambisius pada 2030 telah mengurangi emisi karbonnya hingga 50-52 persen dari level pada 2005.

Bukan berarti tidak ada kritik dan kecaman yang mempertanyakan arah kebijakan energi dan lingkungan Biden. Munculnya varian baru Omicron Covid-19 menambah pula persoalan yang langsung menyerang titik penting ketahanan energi AS.

Ilustrasi energi hijau, energi baru dan terbarukan (EBT).
SHUTTERSTOCK/D-KRAB
Ilustrasi energi hijau, energi baru dan terbarukan (EBT).

Sebagai salah satu konsumen energi terbesar dunia, AS butuh kepastian pasokan energi yang menggerakkan transportasi, pemanas untuk kebutuhan hidup di negara empat musim, industri, dan generasi digital pada saat ini. 

Transisi energi ke sumber energi terbarukan dinilai masih jauh dari mencukupi untuk memasok kebutuhan energi yang sudah terlanjur tinggi dan butuh berkelanjutan di negara itu. 

Seperti diungkap Foreign Policy, bahkan kubu Demokrat pun mulai menyuarakan alternatif-alternatif pilihan bagi pemerintahan Biden terkait isu energi yang salah-salah bisa mengarah ke krisis ini.

Salah satu alternatifnya, tidak menjadikan energi berbasis fosil dan energi terbarukan sebagai pilihan biner yang menjadikan satu opsi sebagai pilihan dan yang lain ditinggalkan. 

Baca juga: Ada Varian Omicron Covid-19, Pasar Keuangan, Kripto, dan Minyak Muram

The Economist dan YouGov pun memotret tingkat persetujuan publik Amerika Serikat atas kebijakan Biden di angka yang memperlihatkan kebimbangan, yaitu 41 persen mendukung, 9 persen tak yakin, dan 49 persen tak mendukungnya, berdasarkah hasil jajak pendapat hingga 15 November 2021.  

 

↵ Kembali ke daftar pilihan konten artikel

RASISME:
DARI POLITIK
SAMPAI PANDEMI

Aksi selebrasi warga pada 25 Juni 2021 setelah pengadilan menjatuhkan vonis 22,5 tahun kepada Derek Chauvin, polisi yang didakwa atas kematian warga kulit hitam George Floyd.
GETTY IMAGES NORTH AMERICA via AFP/BRANDON BELL
Aksi selebrasi warga pada 25 Juni 2021 setelah pengadilan menjatuhkan vonis 22,5 tahun kepada Derek Chauvin, polisi yang didakwa atas kematian warga kulit hitam George Floyd.

BERBAGAI isu mewarnai Pilpres AS 2020, di antaranya yang paling banyak disorot adalah terkait rasisme dan supremasi kulit putih, isu yang membuat orang bisa melihat dengan jelas perbedaan Trump dan Biden.

Isu rasisme menjadi salah satu isu yang paling kuat, dengan adanya korban jiwa dan menimbulkan aksi protes di hampir seluruh AS, menuntut keadilan untuk warga negara kulit hitam, yang dikenal sebagai gerakan Black Live Matter (BLM).

Pembebasan Kyle Rittenhouse

Pembebasan Kyle Rittenhouse oleh pengadilan Amerika telah membangkitkan isu rasial yang panas selama pemilu AS 2020.

Kyle Rittenhouse mengatakan bahwa dia tidak rasis dan mendukung Black Lives Matter (BLM) dalam wawancara pertamanya sejak pembebasannya pada Jumat (19/11/2021), seperti yang dilansir dari Sky News pada Senin (22/11/2021).

Remaja 18 tahun itu telah mengakui menembak fatal Joseph Rosenbaum (36 tahun), dan Anthony Huber (26 tahun), serta melukai Gaige Grosskreutz (28 tahun) pada Agustus 2020 di Kenosha, Wisconsin. Ia mengatakan serangan itu ia lakukan untuk membela diri.

Mantan kadet pemuda polisi tersebut dibebaskan dari dua tuduhan pembunuhan yang disengaja, satu tuduhan percobaan pembunuhan, dan dua tuduhan tindakan sembrono membahayakan keselamatan.   

Rittenhouse dan orang-orang yang dia tembak semuanya berkulit putih, tetapi perdebatan soal isu rasial mengikuti kasusnya karena penembakan itu terjadi selama kerusuhan sipil atas kebrutalan polisi terhadap ras kulit hitam tahun lalu.  

"Saya bukan orang yang rasis, saya mendukung gerakan BLM (Black Lives Matter). Saya mendukung demonstrasi damai. Saya percaya perlu ada perubahan," kata Kyle Rittenhouse kepada Fox News  setelah pembebasannya pada Jumat.

Kemarahan telah tumbuh di seluruh AS setelah putusan pengadilan terhadap , dengan protes yang melibatkan sekitar 200 orang di Portland, Oregon, berubah menjadi kekerasan dan kemudian dinyatakan sebagai kerusuhan.

Aksi protes warga di Wisconsin, Amerika Serikat pada 21 November 2021, menyusul vonis bebas bagi Kyle Rittenhouse.
GETTY IMAGES NORTH AMERICA via AFP
Aksi protes warga di Wisconsin, Amerika Serikat pada 21 November 2021, menyusul vonis bebas bagi Kyle Rittenhouse.

Sementara terjadi protes damai di tempat lain, termasuk di New York di mana orang banyak berbaris di jalan-jalan.

Amnesty International mengatakan "kenyataan yang menyakitkan adalah bahwa sistem peradilan pidana negara kita dan masyarakat kita didasarkan pada supremasi kulit putih serta rasisme anti-Kulit Hitam".

Selama kampanye pemilu AS 2020, Biden mengunggah sebuah video di twitter yang terlihat mengaitkan Kyle Rittenhouse—tanpa bukti—dengan supremasi kulit putih.

Pada Jumat di luar Gedung Putih seorang reporter bertanya kepada presiden Demokrat apakah dia mendukung komentar masa lalunya tentang remaja itu.

Melansir BBC pada Sabtu (20/11/2021), Biden mengatakan dia baru saja mendengar berita itu dan menambahkan, "Saya mendukung apa yang telah disimpulkan juri. Sistem juri bekerja dan kita harus mematuhinya."

"Sementara putusan di Kenosha akan membuat banyak orang Amerika merasa marah dan khawatir, termasuk saya sendiri, kita harus mengakui bahwa juri telah berbicara," kata Biden dalam sebuah pernyataan yang dirilis.

Selama pemilu AS 2020, isu rasial adalah salah satu topik panas yang dibahas. Biden mengakui adanya rasisme sistemik di Amerika dan ia mengkritik saingannya, Trump, karena dianggap memicu perpecahan rasial di negaranya.

Sehingga sepanjang kampanye dan pidato kemenangan pemilu AS 2020, ia berjanji untuk memberikan kesetaraan ras bagi seluruh bangsa Amerika.

Komitmen Biden telah dilihat publik dengan memilih Kamala Harris sebagai pasangannya untuk maju ke pemilu AS 2020, menjadikannya calon wakil presiden wanita kulit hitam pertama di partai besar.

Kembali ke kasus Kyle Rittenhouse, ada momen menarik perhatian publik dalam ruang peradilan, yaitu sikap dan nada dering Hakim Bruce Schroeder.

Pada pemeriksaan silang pada Rabu lalu (17/11/2021), telepon Schroeder tiba-tiba berdering dengan nada dering "God Bless the USA", seperti diberitakan The Guardian pada Jumat (19/11/2021).

"God Bless the USA" dirilis pada 1984 oleh Lee Greenwood, lagu ini populer di kalangan konservatif dan sering dimainkan sebagai pengiring masuknya Donald Trump selama kampanye pemilu 2020.

Nada dering Schroeder memicu banyak kritik di dunia maya, dengan banyak yang berpendapat bahwa nada dering tersebut semakin mengungkapkan potensi biasnya kasus Kyle Rittenhouse.

Schroeder sebelumnya telah dituduh menetapkan standar ganda oleh pihak penuntut, ketika dia memutuskan sebelum persidangan bahwa jaksa tidak dapat menyebut orang-orang yang ditembak oleh Kyle Rittenhouse sebagai "korban", sedangkan pengacara pembela dapat menyebut mereka "pembakar" atau "penjarah".

Rasialisme di Pemilu AS 2020

Isu rasisme meledak pertama kali mewarnai proses pilpres AS 2020, saat terjadi kasus George Flyod yang tidak bersenjata tewas di Minneapolis akibat ditindih lehernya oleh polisi setempat pada 25 Mei 2020.

Menyusul tragedi Floyd, muncul tindakan kekerasan semena-mena lainnya yang dilakukan oleh petugas polisi kulit putih AS kepada warga negara kulit hitam.

Pada 23 Agustus, terjadi kasus Jacob Blake yang ditembak 7 kali di punggungnya oleh polisi di negara bagian Wisconsin. Akibat tembakan itu, bagian pinggang ke bawah tubuh Blake lumpuh.

Pada 13 Maret, terjadi kasus Breonna Taylor yang ditembak 8 kali hingga tewas di apartemenya di Louisville, dalam aksi penyelidikan narkoba oleh polisi setempat.

"Soal rasisme, salah satu faktor yang kuat mempengaruhi suara pemilih," kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, kepada Kompas.com pada Selasa (20/10/2020).

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato di Konferensi Aksi Politik Konservatif (CPAC) di Hotel Hyatt Regency, Orlando, Florida, Minggu (28/2/2021)
GETTY IMAGES NORTH AMERICA via AFP/JOE RAEDLE
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato di Konferensi Aksi Politik Konservatif (CPAC) di Hotel Hyatt Regency, Orlando, Florida, Minggu (28/2/2021)

Dikutip dari Newsweek edisi 25 September 2020, Trump menganggap BLM adalah bagian dari "aturan massa" yang "menghancurkan banyak nyawa kulit hitam". Namun, Trump belum pernah menerangkan secara gamblang maksud ucapannya.

Trump juga menuding, "Tujuan yang diyatakan dari organisasi BLM, rakyat adalah untuk mencapai penghancuran keluarga inti, menghapus polisi, menghapus penjara, menghapus keamanan perbatasan, menghapuskan kapitalisme, dan menghapuskan pilihan sekolah. Itulah tujuan yang mereka nyatakan."

Namun, tidak ada satu pun dari ucapan laki-laki 74 tahun itu yang benar sebagaimana yang tercantum dalam situs web orgaisasi nasional BLM.

Ada pun tujuan murni dari gerakan BLM diketahui, untuk menyatukan komunitas kulit hitam di seluruh dunia dalam menentang kekerasan dan rasisme anti-kulit hitam yang disetujui negara, sekaligus menciptakan komunitas berbagi empati yang bebas dari prasangka.

Pada 30 Juni, Trump menyebut lukisan di jalanan Fifth Avenue kota New York sebagai dukungan gerakan BLM, adalah "simbol kebencian".

Pada 8 September, Trump mengklaim bahwa para aktivis BLM adalah orang-orang yang "anarkis, ukan pengunjuk rasa" dan menyebut mereka sebagai "preman" di Twitter.

Sentimen negatif Trump terhadap orang kulit hitam sudah berlangsung lama, bukan hanya saat maraknya gerakan BLM.

Jauh ke belakang, pada 1970, perusahaan real estate Trump sudah terkenal menghindari penyewaan apartemen kepada orang Afrika-Amerika dan memberikan perlakukan istimewa kepada orang kulit putih, menurut pemerintah federal yang dilansir dari New York Times pada 15 Januari 2018.

Seorang mantan eksekutif hotel berkata Trump mengkritik seorang akuntan kulit hitam dengan mengatakan, "Orang kulit hitam menghitung uang saya! Saya membencinya...Saya pikir pria itu malas. Dan itu mungkin bukan salahnya, akrena kemalasan adalah sifat orang kulit hitam."

Cenderung menilai sesuatu secara rasial, Trump juga melontarkan klaim rasisnya dalam menanggapi pandemi Covid-19.

"Kita bersatu dalam upaya kita untuk mengalahkan Virus China yang tak terlihat," tulis Trump dalam unggapan di Twitter pada Selasa (21/7/2020).

Pernyataan tersebut sangat kontroversial di mata netizen karena cenderung rasis dnegan mengatakan virus corona sebagai "virus China".

Namun dalam debat akhir capres AS pada Kamis (22/10/2020), Trump mengklaim empat tahun masa pemerintahannya telah menjadi waktu perbaikan bersejarah bagi orang Afrika-Amerika.

"Saya orang paling tidak rasis di ruangan ini," katanya. "Sejak tidak adanya Abraham Lincoln, tidak ada yang melakukan seperti apa yang saya lakukan untuk komunitas Kulit Hitam," tambah Trump mengacu pada Presiden AS yang menghapus perbudakan pada 1863.

Hikmahanto menilai Trump menghadapi kesulitan dalam memperoleh suara dukungan karena berbagai sikap rasisnya yang mencolok itu.

Ia menilai, pada dasarnya Partai Republik AS cenderung memiliki prinsip eksklusivitas diri, meliputi status ekonomi-sosial dan ras. Sehingga, tidak heran kebijakan dan sikap perwakilan pemimpinnya cenderung memberikan superioritas kepada kaum menengah atas dan kulit putih.

"Sementara di Partai Demokrat lebih liberal. Enggak melulu fokus pada orang kulit putih, tapi juga campur. Maka, Joe Biden memilih Kumala Harris, orang Amerika-Afrika," terangnya.

"Itu sudah jadi ideologi yang sejak lama ada, dan itu dipertentangkan," imbuhnya.

Soal supremasi kulit putih

Nama 'Proud Boys' sempat menjadi bahasan dalam isu rasialisme yang diungkap dalam debat calon presiden Amerika Serikat pertama pada akhir September 2021.

Moderator debat saat itu, Chris Wallace menanyakan kepada Trump apakah dia menolak segala bentuk kelompok supremasi kulit putih yang memicu kekerasan rasial di tingkat nasional.

Warga di Washington DC, Amerika Serikat, berjoget di jalanan, merayakan Jeneteenth di Black Live Matter Plaza, pada 19 Juni 2021. Pada 17 Juni 2021, Pemerintah AS menetapkan Juneteenth, yang adalah penanda pembebasan perbudakan di negara tersebut, sebagai hari libur Federal, bersamaan dengan pesan Presiden Joe Biden kepada warga negaranya agar belajar dari sejarah.
AFP/ROBERTO SCHMIDT
Warga di Washington DC, Amerika Serikat, berjoget di jalanan, merayakan Jeneteenth di Black Live Matter Plaza, pada 19 Juni 2021. Pada 17 Juni 2021, Pemerintah AS menetapkan Juneteenth, yang adalah penanda pembebasan perbudakan di negara tersebut, sebagai hari libur Federal, bersamaan dengan pesan Presiden Joe Biden kepada warga negaranya agar belajar dari sejarah.

Atas pertanyaan itu, Trump meminta Wallace untuk menyebutkan nama kelompok itu dengan gamblang. Joe Biden menyahut dengan menyebut nama kelompok sayap kanan Proud Boys.

Sontak, Trump lalu berujar, "Proud Boys, mundur dan bersiap. Tapi seseorang harus melakukan sesuatu terhadap Antifa dan sayap kiri karena masalahnya bukan pada sayap kanan melainkan sayap kiri."

Sahutan Trump ini banyak dikutip media utama di Barat, seperti The Guardian dan the Washington Post.

Baca juga: Dari "Supremasi Kulit Putih" sampai "Rasisme", Ini Daftar Kata yang Paling Banyak Dicari Pasca Debat Perdana Capres AS

Penolakannya mengecam kelompok sayap kanan itu dianggap merupakan bentuk dukungan implisit bagi supremasi kulit putih. Penolakan ini pun sempat memicu kekahawatiran serius bakal terjadi kecurangan dalam Pilpres AS 2020. 

Menurut para pakar yang dipaparkan The Guardian, konsekuensinya mengerikan karena kelompok supremasi kulit putih telah meneror di kota-kota seluruh AS pasca protes anti-rasialisme yang dipicu kematian George Floyd. 

Namun, tak disangka, pada Rabu keesokan hari usai debat pertama, Trump mengaku bahwa dia belum pernah mendengar apa pun tentang kelompok sayap kanan Proud Boys. 

Penolakan Trump mengecam supremasi kulit putih bukan baru sekali itu. Pada Februari 2016, ketika pertama kali mencalonkan diri menjadi presiden, Trump menolak mengutuk supremasi kulit putih terkemuka termasuk mantan pemimpin Ku Klux Klan, David Duke. 

Mengutip BBC, Trump bahkan pernah mencuit ulang cuitan akun WhiteGenocideTM di Twitter yang sebelumnya mengunggah materi rasial.

Proud Boys adalah kelompok sayap kanan yang pertama kali didirikan pada 2016 oleh aktivis sayap kanan berdarah Kanada-Inggris, Gavin McInnes. Semua anggotanya laki-laki dengan nama mereka mengacu pada lagu Proud of Your Boy, dari film besutan Disney, Aladdin.

Anggota Proud Boys sering memakai baju polo Fred Perry hitam dan kuning dengan topi merah bertuliskan "Make America Great Again".

Rasisme dan pandemi

Ilustrasi sebaran Covid-19 di Amerika Serikat.
SHUTTERSTOCK/DIANA SKLAROVA
Ilustrasi sebaran Covid-19 di Amerika Serikat.

Pandemi Covid-19 lagi-lagi turut mengangkat bara dalam sekam bernama rasialisme di Amerika Serikat. Ini mulai dari persoalan akses layanan kesehatan, jumlah tenaga medis dari kelompok masyarakat kulit hitam, hingga angka kematian warga kulit hitam yang lebih tinggi. 

Regulasi boleh dan bisa bilang apa saja termasuk soal kesetaraan tetapi praktik dan data di lapangan memperlihatkan fakta yang berbeda. 

Kaiser Family Foundation (KFF) dalam riset Race, Health, and Covid-19: The Views and Experiences of Black Americans, menggarisbawahi bahwa kesenjangan rasial adalah persoalan di Amerika Serikat bahkan sebelum pandemi Covid-19 menerjang. 

Kesenjangan itu mencakup cakupan asuransi yang lebih rendah, hambatan akses perawatan kesehatan, dan data kesehatan yang relatif lebih buruk juga di kelompok masyarakat kulit hitam. 

Situasi ini berkelindan dengan ketidakadilan sosial-ekonomi, termasuk angka pengangguran yang lebih tinggi di kalangan kelompok warga Afrika-Amerika, yang pada akhirnya berdampak pula pada kualitas kesehatan. 

Baca juga: Jelang 100 Hari Pertama Biden, Kasus Baru Covid-19 di AS Naik 10 Persen

Sistem medis pun diyakini berkontribusi semakin memperlebar kesenjangan, dengan kontribusi pada rendahnya kualitas perawatan, ketidakpercayaan terhadap sistem perawatan kesehatan, serta stres dan trauma. 

Pandemi Covid-19 menjadi potret buram terbaru, yang konsisten menunjukkan bahwa warga kulit hitam di Amerika Serikat secara tidak proporsional menanggung beban lebih berat terkait wabah ini. 

Cakupannya termasuk risiko penularan dan tertular yang lebih tinggi, tingkat vaksinasi yang lebih rendah, serta kasus yang harus dirawat dan kematian yang lebih tinggi. Dampak ekonomi akibat pandemi pun terpantau lebih telak menghantam mereka. 

Riset KFF yang dilansir pada Oktober 2020 tersebut antara lain mendapati, setengah dari orang dewasa kulit hitam mengaku setidaknya satu orang di keluarganya kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Di kelompok warga kulit putih, angkanya adalah 42 persen.

Sepertiga warga dewasa kulit hitam, dibandingkan dengan 17 persen orang dewasa kulit putih, mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasar mereka selama pandemi, seperti perumahan, utilitas, dan makanan.

Dua per tiga lansia kulit hitam mengaku telah kehilangan pendapatan dan 46 persen telah melaporkan masalah pemenuhan kebutuhan.

Dua per tiga orang dewasa kulit hitam punya pikiran bahwa Pemerintah AS akan mengambil tindakan yang lebih bertenaga untuk memerangi pandemi ketika orang kulit putih yang terpapar Covid-19 dibanding bila orang kulit hitam yang sakit dan meninggal karena penyakit yang sama.

Bahkan, mayoritas warga kulit hitam Amerika berkeyakinan bahwa akses ke vaksinasi pun akan sulit bagi mereka sekalipun digratiskan. 

Baca juga: Jelang Tahun Pertama Pemerintahan Joe Biden, Apa yang Sudah Dilakukan?

Isu rasialisme sepertinya masih akan menempuh jalan panjang di negeri yang menggaungkan diri sebagai tempatnya setiap orang boleh dan bisa menjadi seseorang.

Tantangan ekonomi dan problem penyediaan lapangan kerja diyakini menjadi tambahan bahan bakar bagi kelompok-kelompok rasis dan pendukungnya untuk pembenaran tindakannya. 

 

↵ Kembali ke daftar pilihan konten artikel

PERALIHAN
YANG TAK MULUS

Pendukung Donald Trump menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Mereka menolak ratifikasi kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020. Setidaknya lima orang tewas dalam insiden yang kemudian dikenal sebagai Capitol Riot alias Kerusuhan Gedung Capitol.
GETTY IMAGES NORTH AMERICA VIA AFP/BRENT STIRTON
Pendukung Donald Trump menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Mereka menolak ratifikasi kemenangan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020. Setidaknya lima orang tewas dalam insiden yang kemudian dikenal sebagai Capitol Riot alias Kerusuhan Gedung Capitol.

ADA yang berbeda dari Pilpres AS kali ini dibanding pemilihan-pemilihan sebelumnya. Jika pada masa lalu kandidat yang kalah selalu berbesar hati mengucapkan selamat kepada yang menang, hal itu tidak dilakukan oleh Trump.

Bukannya mengucapkan selamat, Trump alih-alih menuding ada kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres AS 2020. Padahal saat dia memenangi Pemilu AS, Barack Obama mengirimkan pesan yang kemudian dinisbatkan sebagai pesan terbaik pendahulu kepada penerusnya.

Sampai awal Januari 2021, Trump masih merasa dirinya adalah pemenang Pilpres AS. Pernyataan-pernyataan yang kerap dia lontarkan inilah yang kemudian dianggap memancing demo berujung kerusuhan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.

Saat itu, massa pendukung Trump bentrok dengan polisi, melakukan vandalisme, serta membuat anggota parlemen ketakutan dan meninggalkan upacara yang menyatakan kemenangan Biden. Lima orang dinyatakan tewas dalam peristiwa tersebut, termasuk satu polisi.

Penyerbuan Gedung Capitol berbuntut panjang. Akun twitter Trump diblokir karena dianggap berisi hasutan yang memicu kerusuhan di Gedung Capitol.

Foto ilustrasi seseorang membuka app store untuk mengunduh TRUTH Social, media sosial bikinan mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto diambil di Los Angeles pada Rabu (20/10/2021).
AFP PHOTO/CHRIS DELMAS
Foto ilustrasi seseorang membuka app store untuk mengunduh TRUTH Social, media sosial bikinan mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Foto diambil di Los Angeles pada Rabu (20/10/2021).

Selain Twitter, Facebook dan YouTube juga telah memblokir akun pribadi Trump karena khawatir Presiden AS ke-45 ini mungkin menggunakan platform tersebut untuk memicu lebih banyak kekerasan.

Baca juga: Truth Social, Situs Media Social Donald Trump, Akan Digarap Bersama Pangeran Brasil

Tak cuma mengalami pemblokiran akun medsos, Trump juga dimakzulkan oleh DPR AS pada 13 Januari 2021. Itu merupakan pemakzulan kedua yang dia alami selama menjabat, sekalipun memang tak melengserkan Trump dari jabatannya yang tinggal menghitung hari.

Pada akhirnya Trump mengakui kekalahannya dan menyatakan mendukung proses transisi kekuasaan. Namun, dia menyatakan tidak akan menghadiri pelantikan Biden dan Harris.

Trump kemudian terbukti tidak hadir. Pada saat Biden dilantik, Trump diketahui ada di kediamannya di Mar-a-Lago, Florida

Hingga menjelang satu tahun Biden menempati Gedung Putih, buntut kerusuhan Capitol masih belum berakhir bagi Trump. Vonis bagi orang-orang yang terlibat kerusuhan itu mulai dibacakan, sementara sejumlah dokumen dan fakta terus dikulik dan dibedah dengan bukti-bukti baru yang mengarah ke Trump.

Baca juga: "Dukun" Kerusuhan Gedung Capitol Dipenjara 41 Bulan

Di antara perkembangan kasus ini, Komite DPR AS akan menghadirkan mantan Kepala Staf Gedung Putih di era rezim Trump, Mark Meadows. Mantan anggota Kongres dari Partai Republik itu adalah salah satu orang terdekat Trump, termasuk yang keras memperjuangkan pemenangan Trump dalam Pilpres AS 2020. 

Setelah terus berusaha menolak hadir memberikan kesaksian, Meadows berjanji akan memenuhi panggilan Komite DPR AS tersebut pada 7 Desember 2021. Panel ini ingin mengulik seberapa dalam koordinasi dari Gedung Putih ke massa pendukung Trump yang terlibat Kerusuhan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. 

Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
AP PHOTO/EVAN VUCCI
Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Seperti dikutip AFP, Meadows masih mempersyaratkan penggunaan hak istimewa eksekutif yang menjaga kerahasiaan antara presiden dan staf terdekatnya. Trump juga telah mengajukan penggunaan hak ini untuk menolak menyerahkan dokumen yang diminta oleh komite sekaligus memblokade para ajudannya menjawab pertanyaan komite.

Meadows akhirnya membuat janji kesediaan bersaksi setelah penasihat politik Trump, Stephen Bannon, didakwa menghinga Kongres dan ditangkap karena menolak bersaksi dalam perkara yang sama. 

Seperti apakah kasus ini bergulir dan berakhir? Apakah ini akan mempengaruhi pula laju pemerintahan Biden yang sudah mendapat banyak tekanan dari penanganan Covid-19 dan ekonomi domestiknya? Perjalanan masih berlanjut....

 

↵ Kembali ke daftar pilihan konten artikel