SERI PEMILU PRESIDEN AS
Ini fakta-fakta yang diperkirakan bakal mengubah peta politik AS, berikut skenario perhitungan kemenangan Trump dan Biden di Pilpres AS 2020.
SEJUMLAH momentum beserta perubahan sosial ekonomi dan demografi bergelagat mengubah komposisi peta politik Amerika Serkiat (AS) dalam Pemilu Presiden AS 2020 yang digelar pada 3 November 2020 waktu setempat.
Baik basis pendukung Partai Republik yang mengusung Donald Trump maupun Partai Demokrat yang menjagokan Joe Biden, diproyeksi bisa saja bergeser.
Hitungan dukungan elektoral (electoral votes) di Electoral College pun diperkirakan berubah tak seperti tren yang sebelumnya ada.
Berikut ini sejumlah fenomena dan fakta yang diproyeksi bakal mempengaruhi hasil akhir Pemilu Presiden AS 2020:
Calon presiden petahana Donald Trump mendapat dukungan loyal dari blok pemilih pria berkulit putih tanpa pendidikan universitas atau sering juga disebut pemilih berkerah biru.
Blok pemilih industrial ini tinggal di kota kecil atau daerah pedesaan pertanian. Trump juga setia didukung oleh pemilih evangelis konservatif.
Namun, dukungan dari blok pemilih ini jelas terlihat melemah jika mengacu ke hasil-hasil survei terutama di negara bagian Rust Belt.
Walau masih tertinggal, Biden berhasil memotong keunggulan Trump dari 37 poin atas kubu Demokrat pada Pilpres 2016 menjadi tinggal 23 poin menurut survei terbaru dari Siena College/The New York Times yang dirilis 20 Oktober 2020.
Akibatnya, peluang Trump untuk menang semakin rumit karena dia tidak dapat memperluas basis pemilihnya.
Adapun kantung suara capres Demokrat Joe Biden adalah pemilih yang tinggal di kota besar, pemilih dari kelompok minoritas seperti Hispanik dan Afro-Amerika, serta pemilih muda.
Hal ini menjadikan pemilih kulit putih baik pria maupun wanita yang berpendidikan universitas sebagai swing voters pada Pilpres AS 2020. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan suburban.
Pada Pilpres 2020, kunci utama penentu pemenang pilpres terletak pada pemilih suburban.
Pemilih suburban dikenal sebagai loyalis tradisional Partai Republik, terutama sejak mantan Presiden Ronald Reagan berkuasa pada 1981.
Itu karena demografi pemilih suburban awalnya didominasi pemilih kulit putih berpendidikan universitas.
Memasuki dekade 2010, pemilih minoritas seperti warga Afro-Amerika, Asia-Amerika, dan Hispanik mulai berpindah ke suburban, menjadikan kawasan ini sangat beraneka ragam.
Pemilih minoritas seperti diketahui adalah kantung suara Partai Demokrat. Kehadiran mereka di kawasan suburban mulai mengikis dukungan untuk Partai Republik.
Loyalitas dukungan yang lama dinikmati Partai Republik semakin melemah pada Pilpres 2016 ketika Hillary Clinton secara mengejutkan menang di puluhan distrik suburban.
Akhirnya, suara Partai Republik di suburban kolaps pada Pemilu Sela atau Midterm 2018.
Demokrat merebut kembali kontrol House of Representatives (DPR) melalui kemenangan 38 kandidat di daerah suburban yang tersebar dari Phoenix, Atlanta, Minneapolis, Oklahoma City, Houston, hingga Dallas.
Kemarahan terhadap retorika ofensif Trump, kebohongan tanpa henti Trump, perlakuan tidak senonoh Trump terhadap wanita, skandal demi skandal pemerintahannya, dan kekacauan di Gedung Putih, diduga jadi alasan pemilih suburban mengganti haluan politik.
Trump menang tipis di kawasan suburban pada Pilpres 2016 dengan selisih 5 poin dari Hillary. Kemenangan ini hampir pasti tidak akan terulang lagi.
Justru, Trump terancam menjadi capres dengan kekalahan terbesar di suburban pada Pilpres 2020. Padahal, tanpa kemenangan di suburban, hampir mustahil bagi presiden berusia 74 tahun itu mengalahkan Biden.
Sejumlah survei dengan metode live interview yang dnilai lebih akurat menunjukkan Biden unggul dua digit antara 15 poin hingga 20 poin atas Trump di kawasan suburban.
Keunggulan ini sangat luar biasa karena tidak ada capres Demokrat dalam sejarah yang menang lebih dari 5 poin di kawasa suburban.
Bahkan Barack Obama yang menang telak suara nasional pada Pilpres 2008 hanya unggul 2 poin di kawasan suburban.
Selain dukungan pemilih suburban, faktor lain yang membuat Biden begitu perkasa di survei adalah dukungan menakjubkan dari pemilih wanita, terutama yang tinggal di kawasan suburban.
Kemarahan terhadap retorika ofensif Trump mendorong pemilih wanita dalam jumlah besar bermigrasi ke Biden. Rataan survei memperlihatkan pemilih wanita memberikan Biden keunggulan telak dua digit atas Trump sekitar 25 poin atau lebih.
Angka tersebut sangat fantastis karena bila terbukti mewujud dalam Pilpres AS 2020 akan memecahkan rekor 24 poin yang dimenangkan Presiden Lyndon Johnson dari Partai Demokrat di Pilpres 1964.
Capres Demokrat selain Johnson hanya pernah memenangkan suara pemilih wanita maksimum 15 poin.
Tidaklah mengejutkan jika survei Biden unggul di swing state yang memiliki jumlah besar pemilih wanita—khususnya yang berkulit putih—, yaitu di trio Rust Belt—Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan.
Dengan hampir pastinya Hakim Amy Coney Barrett menjadi Hakim Agung AS, pemilih wanita akan semakin termotivasi untuk memberikan suara ke Demokrat.
Para pemilih wanita khawatir Hakim Barrett yang berideologi konservatif bersama lima Hakim Agung konservatif lain akan mencabut Keputusan Mahkamah Agung Roe vs Wade yang memberikan jaminan kebebasan bagi kaum wanita AS untuk melakukan aborsi.
Pemilih lansia—yang cenderung lebih konservatif—sudah lama menjadi basis suara Partai Republik. Jumlah terbesar pemilih lansia ada di Florida dengan proporsi 20 persen populasi.
Pemilih lansia juga tersebar di trio Rust Belt krusial, yaitu Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Namun, pandemi Covid-19 diprediksi menghancurkan dukungan pemilih lansia ke Donald Trump.
Berang dengan tindak tanduk Trump yang tidak menanggapi serius virus corona, pemilih lansia yang masuk kategori rawan terinfeksi diduga mengubah pilihannya ke Joe Biden.
Biden adalah capres Demokrat pertama sejak Pilpres 1996 yang diproyeksi mendapat dukungan tinggi dari pemilih lansia.
Pada Pilpres 2016, Trump memenangi hati pemilih lansia dengan selisih satu digit. Survei-survei terbaru menunjukkan kondisi berbalik drastis.
Biden yang juga adalah lansia berusia 77 tahun unggul sekitar 8-10 poin atas Trump. Dari keunggulan yang didapat dalam aneka jajak pendapat sejauh ini, 25 persen demografi pemilih AS adalah pemilih lansia.
Tanpa dukungan krusial dari pemilih berusia di atas 65 tahun ini, suami Melania Trump bagaikan pungguk merindukan bulan untuk melanjutkan periode kepresidenannya.
UNTUK memenangi Pemilu Presiden AS lewat electoral college, calon presiden di Amerika Serikat harus mengumpulkan minimal 270 suara elector dari total 538 electoral vote.
Selain di Nebraska dan Maine, suara rakyat dalam pemilu (popular vote) akan menentukan capres yang mendulang dukungan dari seluruh elector di tiap negara bagian. Istilahnya, the winner takes all di negara-negara bagian minus Nebraska dan Maine.
Adapun di Nebraska dan Maine, suara elector kepada calon presiden akan diberikan secara proporsional sesuai perolehan suara langsung dari rakyat kepada kandidat.
Tentu, selalu ada saja peluang kejadian di luar pakem terjadi. Pada Pilpres AS 2016, misalnya, ada tujuh elector yang menolak memberikan suara ke kandidat partai yang mendapat dukungan terbanyak di popular vote.
Sejumlah negara bagian diyakini akan tetap menjadi basis suara untuk Trump, sementara sebagian yang lain tetap pula jadi basis dukungan untuk Biden.
Namun, jangan lupa, ada swing state yang kerap kali justru jadi penentu akhir perolehan dukungan di electoral vote.
Bagaimana peluang Donald Trump dan Joe Biden dalam Pilpres AS 2020 untuk mengumpulkan 270 electoral vote?
Jalan calon presiden petahana Trump untuk mencapai angka 270 diproyeksi bakal terjal.
Hasil beragam survei menunjukkan dia tidak hanya ketinggalan di trio Rust Belt yang harus dimenangkannya, tetapi juga tertatih-tatih di sejumlah negara bagian yang seharusnya sudah diamankan dengan mudah seperti Ohio, Iowa, Georgia, dan Maine Distrik ke-2.
Jalur paling realistis bagi Trump adalah meminimalisir dukungan di trio Rust Belt yang akan hilang dari tangannya. Survei menunjukkan Michigan dan Wisconsin adalah yang paling rawan direbut kembali oleh Biden.
Trump akan menang tanpa dua negara bagian itu dengan syarat dia harus menang di Pennsylvania dan menyapu kemenangan di negara bagian lain yang dimenangkannya pada Pilpres 2016.
Jika skenario ini terjadi, Trump punya peluang kembali ke Gedung Putih dengan 280 electoral vote dari Electoral College.
Trump akan kalah melawan Biden jika dia gagal mengamankan Pennsylvania.
Taipan real estate itu sempat membidik negara bagian cadangan seperti Minnesota, Nevada, Colorado, dan Virginia. Namun, survei menunjukan Biden favorit kuat dan unggul jauh atas Biden di negara-negara bagian tersebut.
Berdasarkan peta persaingan menurut hasil survei, Joe Biden memiliki banyak jalur mengamankan 270 electoral votes untuk menjadi Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS)
Jalur pertama yang paling sederhana bagi Biden adalah memenangkan lagi 20 negara bagian plus ibukota Washington DC yang dimenangkan Hillary Clinton pada Pilpres 2016, ditambah dengan merebut kembali kemenangan di trio Rust Belt.
Pada Pilpres 2016, Trump secara mengejutkan merebut kemenangan di semua negara bagian Rust Belt yang dikenal sebagai pertahanan terakhir Demokrat.
Ketiga negara bagian alias trio Rust Belt itu adalah Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan.
Jalur ini akan memberikan 278 electoral votes kepada mantan Wakil Presiden di Pemerintahan Barack Obama itu.
Tim kampanye Biden telah menggelontorkan energi dan dana untuk merebut kembali kemenangan di tiga negara bagian industrial yang didominasi pemilih kulit putih tanpa pendidikan universitas tersebut.
Hasil tiga negara bagian ini biasanya saling berkaitan satu sama lain. Jika Biden berhasil menyapu trio Rust Belt, dia juga berkemungkinan memenangkan Ohio dan Iowa, dua negara bagian lain di Rust Belt.
Menyapu trio Rust Belt bukanlah pekerjaan mudah. Walau memimpin di survei, Biden juga mempersiapkan skenario jika satu atau bahkan dua dari trio Rust Belt gagal dimenangi, dengan Pennsylvania menjadi negara bagian yang paling rawan lepas.
Jika gagal menang di kampung halamannya itu, Biden masih dapat terpilih jika mampu mendapat suara penuh dari seluruh negara bagian yang pernah dimenangi Hillary Clinton pada Pilpres 2016 ditambah kemenangan di Michigan, Wisconsin, Arizona, dan Nebraska Distrik Kongresional ke-2.
Skenario ini akan memberikannya kemenangan yang super tipis, yaitu tepat 270 electoral votes.
Sejauh ini survei menunjukkan Biden favorit untuk merebut kembali kemenangan di tiga negara bagian Rust Belt.
Namun, jika satu atau bahkan dua dari ketiga negara bagian itu gagal dimenangi, Biden harus melupakan Rust Belt. Sangat kecil kemungkinan Biden dapat memenangkan Ohio atau Iowa jika dia gagal mengamankan trio Rust Belt.
Meski begitu, Biden masih berpeluang menjadi presiden melalui kemenangan di negara bagian Sun Belt memakai beberapa pilihan kombinasi:
Biden saat ini unggul dua digit di survei suara nasional. Keunggulan dua digit ini dapat berpotensi menjadi kemenangan sangat telak jika mayoritas undecided voters yang saat ini berjumlah sekitar 5 persen pemilih menjatuhkan pilihan ke Biden.
Kemenangan telak akan didapat Biden jika dia menyapu 11 swing states di Rust Belt, Sun Belt, dan Distrik Kongresional, untuk memastikan 375 electoral votes di kantung.
Bahkan, suami Jill Biden itu juga berpotensi memenangkan Texas dalam skenario landslide. Texas adalah basis kuat Partai Republik.
Peluang menang di Texas ini terbuka karena sejak Pemilu Midterm 2018, Partai Demokrat berhasil menang di sejumlah distrik DPR dan DPRD yang mensinyalkan perubahan peta politik Texas.
Bukanlah kejutan jika Texas menjadi swing state pada Pilpres AS ke depan. Skenario kemenangan dengan Texas ada di dalamnya bakal menjadi kemenangan terbesar Electoral College dalam 32 tahun terakhir bagi Demokrat, yaitu dengan 413 electoral votes.
Partai Demokrat percaya kemenangan besar Biden akan mencegah terjadinya sengketa pemilu dengan Trump sekaligus mengakhiri total ideologi politik Trumpism yang dinilai sangat memecah-belah.