JEO - Insight

Jokowi, Covid-19, dan Hikayat Mudik

Kamis, 23 April 2020 | 12:12 WIB

Terkait merebaknya Covid-19 di Indonesia, apakah urusan mudik tetap hanya terkait lebaran? Mengapa pula Presiden Jokowi sampai membedakan mudik dengan pulang kampung? Seperti apa pula hikayat mudik yang kini serasa cuma identik dengan lebaran?

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi), Selasa (21/4/2020), menyatakan pemerintah akan melarang masyarakat mudik terkait lebaran pada tahun ini.

Pelarangan dinyatakan terkait merebaknya wabah virus corona (Covid-19) yang hingga saat ini masih terus mencatatkan penambahan kasus positif baru.

Baca juga: Pemerintah Larang Mudik

Tak hanya bertambah jumlah kasus, sebaran Covid-19 pun terus meluas. Data kasus positif Covid-19 di Indonesia diawali dua pasien yang berdomisili di Jawa Barat dari klaster Jakarta.

Saat ini, merujuk data Gugus Tugas Nasional Covid-19 hingga 22 April 2020 pukul 12.00 WIB, sebaran kasus positif Covid-19 telah merata di 34 provinsi, dengan jumlah sebaran kabupaten kota yang terus bertambah pula.

 

Pelarangan mudik yang dinyatakan Presiden Jokowi saat membuka rapat terbatas melalui telekonferensi video di Istana Negara tersebut tidaklah berdiri sendiri. Tentu saja, ini terkait upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.

Sebelumnya, upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 sudah didengungkan lewat seruan jaga jarak, bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, beribadah di rumah, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah.

Baca lagi: Mengapa Jaga Jarak sampai Karantina Penting untuk Cegah Penyebaran Corona

Namun, alangkah terperangah ketika hanya berselang sehari, Rabu (22/4/2020) malam, Presiden Jokowi membuat garis tegas antara mudik dan pulang kampung yang sama-sama berisiko memperluas sebaran Covid-19 di Indonesia.

Dalam wawancara khusus acara bincang-bincang salah satu televisi swasta nasional, Jokowi membatasi definisi mudik sebagai aktivitas masyarakat yang hanya terkait lebaran. Dengan gestur yang khas, Jokowi bahkan menjelaskan beda mudik dan pulang kampung.

Ketika dikejar bahwa esensi kedua diksi tersebut—khususnya terkait Covid-19—tidaklah berbeda, Presiden Jokowi tetap punya jawaban, bersikukuh bahwa mudik tidaklah sama dengan pulang kampung sekalipun itu dikaitkan dengan Covid-19.

Sekali lagi, esensi beragam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 sesaat terasa lenyap.

Baca juga: Saat Presiden Jokowi Akhirnya Larang Warga Mudik

Acara bincang-bincang itu pun sontak menjadi pemuncak trending topic Twitter, setidaknya hingga Rabu pukul 23.00 WIB.

Lebih dari 8.000 cuitan netizen memasang tagar nama acara itu, sementara lebih dari 60.000 cuitan lain memakai tagar mudik.

M E N U :


Jangan Terlewat Baca, Diperbarui Setiap Hari:


MAKNA KATA DAN DATA

PERNYATAAN dan acara tersebut biarlah jadi perbincangan para pakar yang memang punya ilmunya. Ada aspek komunikasi, itu pasti.

Namun, kuat juga aroma ekonomi, tata kelola pemerintahan dan keuangan, serta tentu saja kenyataan di lapangan. Ini juga sarat muatan tugas konstitusi, semestinya.

Baca juga: Bersiap Tameng Ekonomi untuk Dampak Wabah Corona

Semoga, maksud Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat garis pemisah antara mudik dan pulang kampung semata karena data mudik lebaran pada tahun-tahun sebelumnya, bukan soal kebijakan terkait Covid-19 yang tak nyambung antara satu dan lainnya.

Barangkali pula, Presiden Jokowi semata hendak bilang bahwa mudik merupakan peristiwa temporal terkait suatu momentum, sementara pulang kampung punya makna durasi lebih lama atau bahkan permanen.

Seperti jawaban dalam acara itu, Presiden menyatakan mudik dan pulang kampung berbeda karena mudik terkait lebaran sementara mereka yang pulang kampung dalam konteks saat ini adalah orang-orang yang sedang kehilangan mata pencaharian di Ibu Kota akibat Covid-19.

Baca juga: Soal Mudk dan Pulang Kampung, Ini Perbedaannya Menurut BNPB

Karena, kalau kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik merupakan salah satu makna dari pulang kampung.

Geser ke kiri dan atau ke kanan garis pembatas vertikal dalam infografik berikut ini untuk melihat makna kata mudik dan pulang kampung dalam KBBI:

Selain kamus makna kata, laman daring KBBI juga menyediakan tesaurus, termasuk untuk "mudik" dan "pulang kampung".  Tesaurus juga merupakan rujukan yang biasa digunakan untuk mencari makna kata. 

Badan Bahasa menjelaskan, kamus mendeskripsikan makna kata atau ungkapan dan menjelaskan konteks pemakaiannya. Adapun tesaurus memuat daftar kata atau ungkapan yang bertalian makna.

Geser garis vertikal di tengah infografik berikut ini untuk melihat tesaurus "mudik" dan "pulang kampung":

Soal waktu saja, biasanya, pernyataan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang menyulut perbincangan publik seperti ini akan segera mendapat penjelasan resmi.

Data mudik

Lalu, mari bicara data. Soal mudik, kali ini.

Merujuk data mudik lebaran hingga 2019, belasan bahkan puluhan juta orang berbondong-bondong pulang dari kawasan Jabodetabek ke kampung halamannya.

 

Sebelum 2019, jumlah pemudik cenderung naik dari tahun ke tahun.

Namun, pada 2019 jumlah pemudik sedikit berkurang dibandingkan pada 2018, terutama pemudik yang menggunakan pesawat untuk pulang kampung.

Penurunan pemudik lewat jalur udara pada 2019 diduga terkait dengan harga tiket penerbangan.

Terkait Covid-19, angka sebanyak itu bergerak serentak dari episentrum Covid-19 tentu mengkhawatirkan.

Baca juga: Survei: 3 Juta Orang Diprediksi Tetap akan Mudik Tahun Ini...

Sebesar-besarnya angka mereka yang pulang kampung dalam definisi Presiden Jokowi di acara bincang-bincang di televisi itu, gelombang mudik jelas bicara soal jumlah orang yang jauh lebih banyak lagi.

Terlebih lagi, mudik terkait lebaran tak sekadar cerita pulang. Mudik lebaran punya banyak dimensi psikologi sosial.

Agak susah menahan hasrat pulang kampung saat lebaran—katakanlah ini definisi mudik sebagaimana kata Presiden—bila sudah di tataran psikologis.

Baca juga: Mudik Lebaran, Pulang Menjemput Keajaiban Maaf...

Secara ritual keagamaan, tak ada dalil bagi praktik mudik lebaran. Kalaupun disangkut-sangkutkan, dalil terdekat adalah silaturahim, yang itu pun tak pernah ada syarat hanya bisa dilakukan saat lebaran.

Yang jadi masalah adalah, karena yang dilarang adalah mudik dan dimaknai terbatas pada hari-hari menjelang lebaran, banyak orang memilih lebih awal pulang ke kampung halamannya sekadar biar terhindar dari sanksi melanggar larangan. 

Semoga saja virus juga pilih-pilih hari untuk mereplikasi dan menempel di inang baru....

 

M E N U :


Jangan Terlewat Baca, Diperbarui Setiap Hari:

HIKAYAT MUDIK

APA pun definisi mudik, apalagi dikaitkan dengan mudik yang sudah jadi semacam tradisi dan seolah adalah bagian dari lebaran, seperti apa sejarah dan serba-serbinya?  

Ilustrasi mudik - (DOK KOMPAS/DIDIE SW)

Kalau memang mudik dan pulang kampung adalah dua hal yang berbeda makna, lebaran kapan pun nanti jangan lagi tanya "kapan pulang kampung?" jika yang dimaksud adalah mudik lebaran.

Itu kalau dua kata tersebut memang berbeda makna ya....

Konon sejak zaman Majapahit

Kompas.com pernah menayangkan artikel berjudul Kisah Menarik di Balik Sejarah Mudik... pada 6 Juni 2018. 

Di situ, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno, menjelaskan bahwa mudik diduga sudah terjadi sejak era Kerajaan Majapahit.

Tentu, itu tak terkait lebaran. Konon, kekuasaan Majapahit pada saat itu membentang hingga ke Semenanjung Malaya dan wilayah yang kini bernama Srilanka.

Banyak pejabat dari "pusat" yang ditempatkan ke wilayah kekuasaan itu. Pada waktu-waktu tertentu, para pejabat ini akan menghadap raja di pusat pemerintahan sekaligus mengunjungi kampung halaman. Inilah yang diduga definisi mudik berasal. 

Lalu, lanjut Silverio, ada punya yang menyebut tradisi mudik bermula dari masa Kerajaan Mataram Islam. Polanya serupa. Pejabat ditempatkan di wilayah kekuasaan, pulang menghadap raja sekaligus bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman.

Efek politik pembangunan 

Di era setelah kemerdekaan, fenomena mudik berbondong-bondong dari Ibu Kota dan kawasan-kawasan industri tak pelak adalah efek politik pembangunan yang dipilih Soeharto sejak berkuasa.

Buat penyegaran saja, Soeharto yang berkuasa secara definitif dan de facto sejak 1966 menjadikan pembangunan sebagai ideologi politiknya. Atas nama ekonomi, kestabilan politik diterapkan ketat, termasuk menebas mereka yang berseberangan paham.

Herbert Feith dan Lance Castles, dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 terbitan LP3ES, menyebut politik pembangunan Soeharto ini sebagai satu dari tiga pembeda utama rezim Soeharto dengan kepemimpinan nasional sebelumnya.

Terkait mudik, kebijakan Soeharto yang sangat mengedepankan ekonomi tersebut mengubah Ibu Kota dan sejumlah kota lain sebagai magnet bagi tenaga kerja. Perputaran uang sangat besar dan cepat terjadi di sana.

Tenaga kerja dari luar Ibu Kota dan kawasan industri itulah yang kemudian mengawali fenomena mudik tahunan setiap lebaran.

Mengapa lebaran? Ya, kira-kira karena itu libur agak lebih panjang daripada akhir pekan.

Katakanlah perlu ambil cuti tambahan, itu biar lebih lama berkumpul dengan sanak saudara yang sama-sama memilih pulang dengan alasan yang kurang lebih sama juga.

Tradisi

Fenomena para rantau yang serentak pulang ke kampung halaman setiap kali menjelang lebaran ini lalu jadi semacam tradisi.

Bahkan, mereka yang tak merayakan lebaran juga bisa ikut pulang ke kampung halaman, demi berkumpul pula dengan keluarga, teman masa kecil, dan kerabat.

Ada juga sisi kebutuhan membuktikan eksistensi, sukses diri dari merantau, dalam momen pulang kampung serentak di masa lebaran. Tentu, ini tidak berlaku bagi semua orang tetapi tak dimungkiri ada.

Kami Mudik maka Kami Ada - (DOK KOMPAS/JITET)

Pengalaman Wijayanto—dosen komunikasi politik Universitas Diponegoro—selama belajar di luar negeri mendapati, mudik dan bahkan bermaaf-maafan pada lebaran tak dia jumpai dari kolega yang berasal dari negara lain, yang juga berpenduduk mayoritas Muslim sekalipun.

"Mudik itu sangat berbau antropologis, bercampur budaya kita. Ada sungkem ke orangtua dan saudara. Lalu ada tradisi ujung-ujung, sowan atau bersilaturahim ke tetangga. Itu khas sekali," ungkap Wijayanto, dalam perbincangan dengan Kompas.com melalui telepon, Senin (3/6/2019). 

Selain antropologis dan spiritual, lanjut dia, mudik juga kental nuansa sosiologis bahkan menjangkau hingga ranah komunikasi politik. 

"Lebaran dan mudik itu momentum yang menyentuh sampai ke alam bawah sadar individu, melampaui momentum politik lima tahunan. Saya yakin ada dampaknya untuk meredam pembelahan politik yang kemarin-kemarin terjadi," kata Wijayanto.

Saat perbincangan ini terjadi, suhu politik nasional masih belum reda dari demam panjang akibat kontestasi politik nasional. Lebaran dan mudik sempat jadi harapan untuk menggerus polarisasi yang menggelembung gara-gara politik praktis kekuasaan.

Kekuatan maaf

Ini makin-makin tak ada lagi literatur yang khusus mengaitkan mudik dengan urusan permaafan dari hati.

Secara dalil, umat Islam hanya punya dua hari raya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. Dari dua itu, Idul Adha seharusnya adalah hari raya yang lebih besar, bukan Idul Fitri.

Beberapa tuntunan ritual keagamaan untuk kedua hari raya tersebut memperlihatkan "bobot" masing-masing. Itu pun, ucapan yang dianjurkan kepada mereka yang sama-sama merayakan adalah doa semoga ibadah masing-masing diridhai Tuhan Semesta Alam.

Namun, dalil juga tak hanya berdimensi tunggal, tentu saja. Terlebih lagi bila itu terkait dengan hubungan di antara manusia, yang juga dapat menjadi ibadah.

Ini semacam penjelasan untuk halal bihalal yang khas lebaran di Indonesia, juga pemaknaan bahwa hari raya setelah Ramadhan itu diartikan sebagai "kembali suci" padahal arti kata dasarnya adalah "kembali dapat makan" setelah sebulan berpuasa.

Amir Sodikin, salah satu wartawan di kantor kami, mendapati pemaknaan kekuatan maaf bukan dari buku teks melainkan lewat pelatihan yang pernah diikuti. Dia menyaksikan sendiri kekuatan maaf bagi hidup seseorang di situ.

Baca lagi: Mudik Lebaran, Pulang Menjemput Kekuatan Maaf

Dalam pelatihan itu, tutur Amir, mereka diminta melakukan perjalanan virtual ke masa lalu. Dalam keheningan dan mata terpejam, mereka mencari residu sakit hati, dendam kesumat, bahkan kejadian traumatis pada masa lalu.

Saat residu-residu itu ketemu, setiap orang diminta memaafkan mereka yang telah menyakiti itu. Sebesar apa pun kesalahan yang telah diperbuat, diminta untuk rela dimaafkan. Termasuk dirinya sendiri. 

Ibarat gim atau permainan, target perburuan perjalanan virtual itu adalah mencari luka-luka batin pada masa lalu. 

"Cari induknya. Untuk menghancurkan residu itu, tembakkanlah seratus maaf. Jika kurang, seribu, selaksa,  bahkan sejuta maaf yang kita miliki," tutur dia, mengulang arahan instruktur pelatihan tersebut.

Terasa berat dan sakit. Namun, saat residu itu rontok,  jiwa seolah ringan, terbang melayang, seolah lahir menjadi manusia tanpa beban, kembali ke fitrah manusia yang memang penuh maaf.

Jika seseorang telah mampu memaafkan kesalahan orang lain yang dianggap sebagai kesalahan terbesar yang pernah dilakukan pada diri kita, kesalahan-kesalahan kecil lainnya sudah tentu mudah untuk dimaafkan.

Orang-orang yang telah memaafkan masa lalunya, mampu berdamai dengan keadaan masa lalu, lebih ringan menghadapi masa depan sesulit apa pun itu. Orang-orang yang ringan memaafkan, jiwanya lebih sehat, mudah lepas dari rongrongan sakit hati.

"Kata-kata maaf, entah meminta maaf atau memberikan maaf, ternyata berkhasiat seperi terapi pada diri kita sendiri. Istilahnya, auto-healing, yang bisa menyembuhkan diri sendiri," lanjut cerita Amir.

Luka batin masa lalu, entah karena disakiti “mantan”, disakiti musuh, dikhianati orang kepercayaan, difitnah rekan kerja atau orang terkasih, atau karena cekcok dengan keluarga, tak semestinya dibawa lari sepanjang hidup.

Luka itu harus dibasuh, dibalut, hingga akhirnya kering dan sembuh. Obat apa yang bisa membasuh dan menyembuhkan luka seperti itu?

Tak ada obat kedokteran dan tak ada ahli kedokteran yang mampu menanganinya. Hanya kekuatan maaf pada diri kita masing-masing yang bisa melakukannya.

Nah, mudik tampaknya punya ruang luas untuk menghadirkan momen-momen permaafan ini.

Minimal, di tengah keluarga besar dan kawan-kawan lama sejak masih ingusan agak sungkan juga kalau harus kelihatan terus-menerus menghindari seseorang apalagi banyak orang.

Ini mungkin "cocoklogi" tapi sepertinya memang terjadi, bukan?

 

M E N U :


Jangan Terlewat Baca, Diperbarui Setiap Hari: