JEO - Peristiwa

Menilik Misi Jepang dalam Olimpiade Terhening dan Termahal Sepanjang Sejarah

Sabtu, 31 Juli 2021 | 07:00 WIB

TANGGAL 7 September 2013 menjadi hari bersejarah bagi rakyat Jepang.

Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Jacques Rogge dalam kongres di Buenos Aires, Argentina, secara resmi memilih Tokyo menjadi kota tuan rumah Olimpiade musim panas ke-32 tahun 2020.

Tokyo berhasil memenangi bidding mengalahkan eksotisnya Istanbul di Turki dan megahnya Madrid di Spanyol.

Selain tiga negara itu, Baku, Azerbaijan; Doha, Qatar dan Roma, Italia diketahui turut mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2020.

Tercatat, Jepang pernah tiga kali mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, yakni tahun 1988, 2008 dan 2016. Namun usahanya kandas dalam proses bidding.

"Masih ada beberapa kekhawatiran, tetapi saya yakin dalam tujuh tahun, Jepang akan kembali jadi negara yang permai. Jadi silakan datang ke Jepang, Anda semua."

-Warga Jepang-

Oleh sebab itu, keputusan IOC tersebut pun disambut meriah rakyat Jepang. Di Tokyo, ribuan orang berhamburan ke pusat kota untuk menggelar perayaan.

Mereka berseru ‘banzai’, sebuah kata kuno Jepang yang memiliki arti harafiah ‘semoga kaisar hidup 10.000 tahun lagi’.

Kata itu kini memiliki terminologis lebih luas. Sering diucapkan ketika orang Jepang merayakan sebuah kemenangan besar.

Sukacita rakyat Jepang itu mengingatkan kita pada suasana Tokyo tahun 1964 silam. Kala itu, kota tersebut juga terpilih menjadi kota tuan rumah Olimpiade ke-18.

Salah seorang warga Tokyo, Atsushi Takahashi, kepada BBC.com mengungkapkan keyakinannya bahwa Jepang akan menjadi tempat yang tepat untuk penyelenggaraan Olimpiade 2020.

“Jepang adalah tempat yang sangat aman. Banyak lokasi tujuan wisata. Kami bangsa yang sangat ramah,” ujar dia.

Warga lainnya bernama Noriyuki Nozawa mengakui, ada beberapa kekhawatiran yang muncul setelah terpilihnya Jepang menjadi tuan rumah Olimpiade 2020. Mulai dari potensi gempa bumi hingga perekonomian negara.

Namun, ia pribadi optimistis dalam tujuh tahun ke depan sejak penetapan, negaranya akan bangkit dan menjadi tuan rumah yang baik bagi atlet dunia.

"Masih ada beberapa kekhawatiran, tetapi saya yakin dalam tujuh tahun, Jepang akan kembali jadi negara yang permai. Jadi silakan datang ke Jepang, Anda semua," kata dia.


Anda dapat membaca artikel ini secara runut atau memilih topik yang dibutuhkan. Berikut ini pilihan topiknya: 

Kekacauan Akibat Wabah   ♦   Kondisi Wabah di Jepang   ♦   Keputusan yang Berat   ♦   Sukarelawan Menganggur   ♦   Olimpiade Termahal   ♦   Penanda Kebangkitan Jepang

 Kekacauan  dimulai 

Desember 2019, China menyampaikan pengumuman penting. Penelitinya menemukan virus yang diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) terpapar pada orang-orang di Kota Wuhan.

Gejalanya mirip flu. Namun dalam banyak kasus, disertai dengan gejala gangguan saluran pernapasan akut lainnya.

Selain itu, daya transmisi virus itu lebih tinggi dan bagi beberapa orang dengan kondisi fisik tertentu menyebabkan kematian.

Oleh peneliti, penyakit yang ditimbulkan oleh virus itu dinamakan Covid-19.

Inilah awal mula kekacauan terjadi.

Baca juga: Mengenal 11 Varian Virus SARS-CoV-2

Tidak butuh waktu lama, sejumlah negara kemudian melaporkan kasus warganya juga terpapar virus tersebut dan tidak berhenti hingga kini.

Merujuk data Badan Kesehatan Dunia (WHO) per 27 Juli 2021 pukul 05.54 PM, akumulasi kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai 194.608,040.

Daratan Amerika tercatat mengonfirmasi akumulasi kasus terbanyak, yakni 76.182.529, disusul Eropa dengan 59.312.787 kasus dan Asia Tenggara dengan 37.755.175 kasus.

Peneliti menyampaikan, pembatasan mobilitas dan tatap muka merupakan kunci dalam menekan penyebaran virus itu.

Sebagian besar negara di dunia pun membatasi pergerakan orang-orang di wilayahnya. Aktivitas sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan olahraga yang menimbulkan kerumunan dan tatap muka tak luput dari kebijakan pembatasan.

Baca Juga: Reaksi Para Atlet Setelah Olimpiade Tokyo 2020 Resmi Ditunda

 

 Ditunda 

Situasi darurat ini kemudian menjadi pembahasan serius oleh IOC serta pemerintah Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade 2020.

Tanggal 24 Maret 2020, IOC dan pemerintah Jepang memutuskan menunda penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang menurut jadwal dilaksanakan 24 Juli hingga 8 Agustus 2020.

Peristiwa ini otomatis mencetak sejarah baru. Sebab, sejak dihelat pertama kali pada tahun 1896, pelaksanaan Olimpiade tidak pernah ditunda.

Rakyat Jepang menekuk wajah. Tak ada yang bisa diperbuat selain menerima keputusan dengan lapang dada.

Beberapa hari kemudian, muncul keputusan lagi bahwa Olimpiade Tokyo akan dilaksanakan pada 23 Juli hingga 8 Agustus 2021.

Meski berlangsung pada tahun 2021, Olimpiade Tokyo tetap menggunakan nama Olimpiade Tokyo 2020 karena menyangkut hak komersial dan branding.

Para penari tampil saat upacara pembukaan di Stadion Olimpiade pada Olimpiade Musim Panas 2020, Jumat, 23 Juli 2021, di Tokyo, Jepang.
AP PHOTO/CHARLIE RIEDEL
Para penari tampil saat upacara pembukaan di Stadion Olimpiade pada Olimpiade Musim Panas 2020, Jumat, 23 Juli 2021, di Tokyo, Jepang.

 Wabah Covid-19 di Jepang 

Bila semata-mata merujuk pada data akumulasi, kasus positif Covid-19 di Jepang relatif rendah.

Dikutip dari BBC.com, hingga 21 Juli 2021, total kasus Covid-19 di Jepang mencapai 848.222 kasus dengan angka kematian akibat Covid-19 mencapai 15.062.

*Data ini tidak dapat mencerminkan kondisi wabah yang sebenarnya. Sebab, hanya merujuk pada data akumulasi saja, bukan termasuk data tes spesimen, perbandingan tes dengan jumlah populasi, data kesembuhan dan data teknis lainnya.

Akumulasi kasus Covid-19 itu sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan Inggris, negara yang baru-baru ini menjadi salah satu tuan rumah Piala Eropa 2020.

Baca juga: Kisah Rakyat yang Bergerak Menolong Sesama di Tengah Krisis

Per tanggal 26 Juli 2021, kasus konfirmasi positif Covid-19 di Inggris mencapai 5,7 juta dengan jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai 129.303 jiwa.

Namun berbeda dengan Jepang, proses vaksinasi warga di daratan Inggris Raya berjalan lebih cepat dan efektif.

Pemerintah Inggris mengklaim, hingga 15 Juni 2021, jumlah warga Inggris yang telah disuntik vaksin Covid-19 mencapai 30 juta jiwa atau setara 57,4 persen dari total populasi 67 juta jiwa.

Pada waktu yang sama, jumlah warga Inggris yang sudah divaksin dosis pertama mencapai 41,8 juta jiwa atau setara dengan 79,4 persen dari total populasi Inggris Raya.

Maka tidak heran dengan pondasi itu, pemerintah Inggris berani membuka pertandingan Piala Eropa untuk dihadiri 40.000 hingga 60.000 penonton.

Sementara di Jepang, hingga akhir Juni 2021, jumlah warga yang divaksin baru 18 persen dari total penduduk Jepang sebanyak 126 juta jiwa.

Baca Juga: Unjuk Rasa Memanas Warnai Upacara Pembukaan Olimpiade Tokyo

Terlebih, mendekati waktu pelaksanaan, kondisi pandemi Covid-19 di Jepang rupanya tidak kunjung membaik.

Pemandangan umum ini menunjukkan pintu masuk ke Village Plaza (kiri) dengan bangunan di Olympic Village (kanan) di seberangnya, selama tur media Village Plaza dan Olympic Village untuk Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo pada 20 Juni 2021 .
BEHROUZ MEHRI
Pemandangan umum ini menunjukkan pintu masuk ke Village Plaza (kiri) dengan bangunan di Olympic Village (kanan) di seberangnya, selama tur media Village Plaza dan Olympic Village untuk Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo pada 20 Juni 2021 .

 Lonjakan kasus 

Sejak 12 Juli, Tokyo ditetapkan dalam status darurat Covid-19. Status ini berlaku hingga 22 Agustus mendatang.

"Penetapan ini merupakan upaya mencegah meluasnya pandemi Covid-19," kata Perdana Menteri (PM) Jepang, Yoshihide Suga.

Tanggal 21 Juni atau tiga hari sebelum Olimpiade Tokyo 2020 dibuka, Japan Times mencatat, adanya penambahan 1.832 kasus baru Covid-19 di Tokyo. Penambahan ini disebut menjadi yang tertinggi sejak 16 Januari 2021.

Selain di Tokyo, lonjakan kasus Covid-19 juga terjadi di beberapa prefektur lokasi venue pertandingan.

Saitama contohnya. Melaporkan penambahan 381 kasus baru. Padahal, Saitama tak pernah lagi mengalami lonjakan kasus harian melebihi angka 350 sejak 22 Januari.

Kondisi serupa juga terjadi di Chiba yang melaporkan 302 kasus baru, jumlah tertinggi sejak akhir Januari.

Berbalik arah, pada titik ini warga Jepang mulai menggelorakan gelombang protes. Khawatir ajang Olimpiade justru semakin memperparah kondisi wabah di negaranya, sejumlah orang menggelar unjuk rasa mendorong Olimpiade dibatalkan.

Baca Juga: Banyak Perusahaan Jepang Ingin Olimpiade Tokyo Dibatalkan atau Ditunda

Bahkan, aksi unjuk rasa masih digelar beberapa jam sebelum pembukaan Olimpiade Tokyo 2020.

Terekam dalam sebuah jajak pendapat yang digelar Ipsos Global Advisor dan dipublikasikan 14 Juli 2021, sebanyak 78 persen responden yang merupakan warga Jepang mendorong pembatalan Olimpiade Tokyo 2020.

Dorongan serupa juga datang dari mancanegara. Jajak pendapat yang sama menunjukkan, 57 persen responden yang dihimpun dari 28 negara setuju agar Olimpiade Tokyo tidak dilangsungkan tahun ini.

 

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by TRT World (@trtworld)

 Keputusan berat 

Gelombang penolakan tersebut disikapi serius IOC dan pemerintah Jepang. Namun, membatalkan acara besar yang sudah berada di depan mata tentu tidak bisa dilakukan semudah membalikan telapak tangan.

Terdapat dua syarat kondisi tuan rumah boleh membatalkan Olimpiade. Pertama, perang dan kekacauan sipil. Kedua, adanya ancaman keamanan dan keselamatan atlet berdasarkan penilaian IOC.

Presiden IOC Thomas Bach mengatakan, Olimpiade Tokyo 2020 harus tetap berjalan untuk memberikan pesan ‘harapan’ bagi masa depan dunia.

Ungkapan itu didukung Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Tedros berdalih, penyelenggaraan Olimpiade dapat menjadi contoh tentang kegiatan yang tetap digelar selama menjalankan protokol kesehatan yang baik.

Baca Juga: Catatan WHO untuk Olimpiade Tokyo

Oleh sebab itu, Olimpiade Tokyo 2020 mengambil tema ‘United by Emotion’. Melalui tema itu, perhelatan Olimpiade diharapkan dapat membawa pesan persatuan warga dunia untuk bangkit dan merasakan kegembiraan di tengah situasi sulit akibat pandemi Covid-19.

 

 Tanpa penonton 

Sebagai jalan tengah, IOC dan pemerintah Jepang mengungkapkan rencana bahwa laga pada Olimpiade tetap bisa dihadiri penonton, meski dalam jumlah kecil.

Awalnya, jumlah penonton di tiap venue direncanakan 10.000 orang. Rencana itu direvisi menjadi hanya 5.000 orang.

Tanggal 8 Juli 2021, IOC dan pemerintah Jepang memutuskan, sebagian besar laga Olimpiade akan dilangsungkan tertutup, tanpa penonton.

Rinciannya sebagai berikut: Jumlah venue yang disiapkan ada 41. Dari jumlah itu, sebanyak 26 venue terletak di Tokyo. Sisanya tersebar di beberapa prefektur, mulai dari Chiba, Saitama, Kanagawa, Shizuoka, Ibaraki, Miyagi, Fukushima, dan Hokkaido.

Persebaran Venue pada Olimpiade Tokyo 2020

 

 

Dari sembilan prefektur, hanya otoritas di Shizuoka, Ibaraki, dan Miyagi yang mengizinkan kehadiran penonton di arena pertandingan, tetapi dalam jumlah terbatas.

Adapun, tiket menonton pertandingan di prefektur yang tertutup bagi penonton akan dikembalikan.

Baca Juga: Olimpiade Tokyo Tanpa Teriakan dan Sorak-Sorai, Apa Jadinya?

Direktur Senior Bagian Tiket Hidenori Suzuki menangis, saat keputusan laga tanpa penonton diambil.

"Bagi mereka yang sudah menunggu untuk menonton laga favorit bersama teman dan keluarga, saya menyesal tak bisa memenuhi harapan mereka."

-Hidenori Suzuki-

"Bagi masyarakat yang sudah menantikan Olimpiade Tokyo 2020, saya meminta maaf tak bisa memenuhi ekspektasi mereka," kata Suzuki.

"Bagi mereka yang sudah menunggu untuk menonton laga favorit bersama teman dan keluarga, saya menyesal tak bisa memenuhi harapan mereka," ucapnya sambil terisak.

Akhirnya, Olimpiade Tokyo 2020 tetap dibuka secara resmi pada 23 Juli malam di Olympic Stadium.

Upacara pembukaan yang megah itu turut dihadiri Kaisar Naruhito dan sejumlah tamu undangan, antara lain para diplomat dan anggota IOC. Sementara, kursi penonton kosong melompong.

Baca juga: Olimpiade Tokyo 2020 Resmi Dibuka, Nyala Obor Hiasi Perayaan Sederhana

Semarak nyala kembang api di atap stadion jadi tanda dimulainya pembukaan Olimpiade. Dilanjutkan dengan suguhan tari-tarian, tata lampu, dan aksi teatrikal yang sangat atratktif.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyalaan obor Olimpiade dan parade defile dari 205 kontingen negara ditambah satu kontingen pengungsi (Refuge Olympic Team) yang menjadi peserta Olimpiade.

Sayangnya, penyelenggara tak memperkenankan seluruh atlet terlibat dalam parade. Demi meminimalisasi kontak fisik, hanya sebagian kecil atlet kontingen saja yang diperbolehkan berjalan di tengah stadion sembari membawa bendera negara masing-masing.

arrow-left
arrow-right
Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Parade kembang api memeriahkan pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Nasional Jepang, Tokyo, Jepang, Jumat (23/7/2021). Pesta olahraga yang berlangsung hingga Minggu (8/8/2021) ini akan digelar tanpa penonton mengingat pandemi Covid-19 yang masih melanda Jepang.

1/5
Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 Dok. Twitter.com/Tokyo2020

2/5
Kontingan Indonesia

Kontingan Indonesia

Kontingan Indonesia saat berjalan pada Upacara Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Olympic Stadium, Jepang, Jumat (23/7/2021) malam WIB.

3/5
Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Pembukaan Olimpiade Tokyo 2020

Penari membawakan tarian dalam pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Nasional Jepang, Tokyo, Jepang, Jumat (23/7/2021). Pesta olahraga yang berlangsung hingga Minggu (8/8/2021) ini akan digelar tanpa penonton mengingat pandemi Covid-19 yang masih melanda Jepang.

4/5
Ketatnya Protokol Kesehatan bagi Peliput Olimpiade Tokyo 2020

Ketatnya Protokol Kesehatan bagi Peliput Olimpiade Tokyo 2020

Petugas mengoperasikan komputer di Main Press Center Olimpiade Tokyo 2020 di Tokyo Big Sight, Tokyo, Jepang, Rabu (21/7/2021). Main Press Center di Tokyo Big Sight mulai ramai dengan para jurnalis dari berbagai negara jelang pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 pada 23 Juli 2021.

5/5

Meski menyajikan atraksi dan tata cahaya spektakuler, namun pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 seolah tak bernyawa. 

Sorak sorai dan tepuk tangan penonton yang juga menjadi unsur penting dalam sebuah pesta olahraga lenyap 

Jangan dibandingkan dengan kemeriahan pembukaan Olimpiade London 2012 sembilan tahun lalu.

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Terjun Payung Bareng James Bond

Ketika itu, sekitar 80.000 penonton dari penjuru dunia memadati Stadion Olimpiade London.

Mereka disuguhi beragam atraksi. Mulai dari aksi teatrikal peristiwa Revolusi Industri, musik orkestra yang dipadukan dengan aksi komedian serba bisa Rowan 'Mr Bean' Atkinson hingga penampilan musisi papan atas, antara lain Queen, Oasis dan Spice Girls. 

Salah satu momen yang tak kalah ikonik ikonik adalah ketika sosok Ratu Elizabeth II seolah-olah melakukan aksi terjun payung bersama tokoh fiksi agen rahasia kebanggaan Inggris, James Bond. 

Empat tahun berselang, pembukaan Olimpiade Rio 2016 juga berlangsung semarak.

Sekitar 78.000 penonton yang memadati Stadion Maracana disuguhi aksi teatrikal sejarah Brazil yang diawali dengan kedatangan orang-orang Portugal. 

Ada pula tari khas Brazil, tari samba dan penampilan musisi kenamaan dari dalam negeri. 

Muncul perasaan bangga lantaran Brasil merupakan negara daratan Amerika Selatan pertama yang diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pesta olahraga olimpiade. 

 Sukarelawan menganggur 

Tetap dihelatnya Olimpiade Tokyo 2020 di tengah pandemi Covid-19 memantik cerita tersendiri dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sukarelawan salah satunya.

Meski hampir seluruh pertandingan digelar tanpa penonton, sukarelawan tetap hadir di sekitar venue.

Kerja mereka tidak banyak. Di Tokyo International Forum, tempat persaingan para lifter, contohnya.

Para sukarelawan yang mengenakan seragam kaus berkerah biru dengan logo Olimpiade dan tas pinggang abu-abu, lebih banyak duduk di berbagai tempat yang memiliki luas 5.000 meter persegi itu.

Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada telepon genggam masing-masing. Bahkan ketika para lifter unjuk kebolehan. Sesekali, mereka tampak mengalihkan pandangan ke para lifter untuk mengabadikan momen.

Pemandangan serupa terjadi di Yumenoshima Park Archery Field, Tokyo, tempat cabang panahan berlangsung.

Sejumlah relawan beristirahat sambil memberikan dukungan saat pertandingan panahan Olimpiade Tokyo 2020 di Yumenoshima Park Archery Field, Tokyo, Jepang, Senin (26/7/2021). Penyelenggaraan Olimpiade yang diselenggarakan tanpa penonton dari kalangan umum tersebut merupakan keputusan di tengah kondisi darurat Covid-19 yang sedang diberlakukan di Ibu Kota Jepang.
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Sejumlah relawan beristirahat sambil memberikan dukungan saat pertandingan panahan Olimpiade Tokyo 2020 di Yumenoshima Park Archery Field, Tokyo, Jepang, Senin (26/7/2021). Penyelenggaraan Olimpiade yang diselenggarakan tanpa penonton dari kalangan umum tersebut merupakan keputusan di tengah kondisi darurat Covid-19 yang sedang diberlakukan di Ibu Kota Jepang.

Baca Juga: Ada 3.500 Relawan Pemandu Kota Hengkang dari Olimpiade Tokyo

Mengutip Kompas, 27 Juli 2021, sukarelawan dari berbagai usia itu duduk di tribune saat lomba berlangsung.

“Tanpa kehadiran penonton, kami bisa menjadi penonton ’palsu’. Dalam hal ini, kami bisa melihat bagaimana perlombaan digelar dan kami bisa menikmati dengan gratis,” ujar salah seorang sukarelawan di arena angkat besi yang seharusnya bertugas sebagai penerjemah.

”Saya ingin menjadi sukarelawan karena lahir pada tahun ketika Tokyo menggelar Olimpiade untuk pertama kalinya. Namun, sejujurnya, tak banyak yang saya lakukan di sini,” lanjut perempuan yang lahir pada 1964, ketika Tokyo menggelar Olimpiade musim panas ke-18, itu.

"Saya gugup sekaligus antusias saat diterima jadi sukarelawan. Semoga saya bisa menjadi orang yang lebih baik setelah mendapat pengalaman di sini,"

-Sukarelawan asal Indonesia-

Perempuan yang tak mau disebutkan namanya itu mengajukan diri untuk bergabung dengan barisan sukarelawan Olimpiade Tokyo 2020 sejak tiga tahun lalu.

Seorang pensiunan berusia 77 tahun juga mengambil kesempatan langka tersebut.

“Saya mengajukan diri menjadi sukarelawan karena ingin memiliki pengalaman dalam ajang sebesar ini,” kata dia.

Herath Pathirannahalage Pasindu, mahasiswa 21 tahun asal Sri Lanka, bercerita tentang alasannya menjadi sukarelawan.

”Pertama, karena saya menerima beasiswa dari Jepang dan saya ingin berterima kasih atas kesempatan ini. Saya juga ingin bertemu orang dari banyak negara, mengembangkan kemampuan dan berbagi kemampuan saya dengan yang lain,” kata dia.

Baca juga: Kisah WNI yang Menjadi Tenaga Relawan di Olimpiade Tokyo 2020

Novicia Ghina Ranalia (20), sukarelawan dari Indonesia, dikutip dari laman resmi Olimpiade, juga ingin bertemu banyak orang dan mendapat pengalaman baru.

“Ini bisa jadi akan menjadi satu-satunya pengalaman seumur hidup. Saya gugup sekaligus antusias saat diterima jadi sukarelawan. Semoga saya bisa menjadi orang yang lebih baik setelah mendapat pengalaman di sini,” kata dia.

 

 Laga seru tanpa gemuruh 

Tak diperkenankannya penonton hadir langsung di venue sangat berpengaruh pada atmosfer pertandingan.

Banyak laga seru dan bergengsi berlangsung tanpa gemuruh dan tepuk tangan penonton.

Cabang olahraga tenis misalnya. Pada Kamis 29 Juli 2021, Ariake Tennis Park kedatangan dua petenis kelas dunia.

Jagoan tuan rumah Kei Nishikori dengan pemain nomor satu dunia, Novak Djokovic. 

Sayang, pertandingan seru yang pada akhirnya dimenangkan Djokovic itu hanya disaksikan oleh ribuan bangku kosong. Hening. 

Di cabang sepak bola juga serupa. Tak ada sorak sorai suporter Jepang saat Takefusa Kubo dkk 'mencukur' Perancis empat gol tanpa balas dalam laga di Stadion Tokyo, Rabu 28 Juli 2021.

Pada hari yang sama, hasil mengejutkan juga didapatkan dari laga terakhir Grup D yang mempertemukan Pantai Gading melawan Jerman. 

Tim Panser ditahan imbang 1-1 oleh Pantai Gading. Hasil ini membuat Jerman mesti pulang kampung lebih awal. 

Kegirangan suporter Pantai Gading dan kesedihan suporter Jerman tak tersaji di bangku stadion. 

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Tokyo 2020 (@tokyo2020)

 Olimpiade termahal 

Sejak ditetapkan sebagai kota tuan rumah, Jepang mempersiapkan diri.

Membangun sistem, mempersiapkan teknologi dan infrastruktur, merekrut sumber daya manusia dan segala macamnya dilakukan demi menjadi tuan rumah yang baik.

Segala persiapan itu tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Mengutip Forbes, Olimpiade Tokyo 2020 merupakan perhelatan olimpiade termahal sepanjang sejarah dengan total anggaran mencapai 28 miliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 406 triliun.

Anggaran itu sudah termasuk penundaan penyelenggaraan selama satu tahun yang menelan anggaran mencapai 2,8 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 40,6 triliun.

Pembengkakan biaya dalam penyelenggaraan olimpiade memang kerap terjadi.

Olimpiade Brazil tahu 2016 misalnya. Terjadi pembengkakan sebesar 352 persen sehingga total biaya penyelenggaraan mencapai 14 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 203 triliun.

Meski tak separah Brazil, Olimpiade London tahun 2012 juga mengalami hal serupa. Pembengkakan biayanya mencapai 76 persen sehingga total biayanya mencapai 15 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 217,3 triliun.

Baca Juga: Belajar dari Rio 2016

Biaya Penyelenggaraan Olimpiade

Selain pembengkakan biaya, persoalan lain yang juga kerap terjadi di negara tuan rumah olimpiade adalah infrastruktur mangkrak. Persoalan itu tercatat sempat terjadi di Rio, Athena, dan Beijing.

Alih-alih berfungsi sebagai monumen kebanggaan, tempat-tempat tersebut pada akhirnya hanya menjadi simbol suram dari salah urus perencanaan dan tata kelola.

 

 Merugi 

Dalam kondisi seperti sekarang ini, Jepang pun dipastikan menelan kerugian yang tidak sedikit.

Baca Juga: Wisma Atlet Usai Asian Games untuk Apa?

Mengutip pemberitaan The Japan Times, seorang profesor kehormatan di Universitas Kansai memprediksi, penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo tanpa penonton akan mengakibatkan kerugian ekonomi hingga 2,4 triliun yen atau setara dengan 21,71 miliar dollar AS.

Keuntungan ekonomi dari acara olahraga dan budaya promosi yang biasanya diperoleh tuan rumah seusai pertandingan pun diperkirakan berkurang setengahnya menjadi 7,7 dollar AS.

Ketiadaan penonton juga akan menyebabkan permintaan pariwisata yang lebih lemah dan peluang bisnis yang lebih sedikit.

Sementara, mengutip dari CNN.com, ekonom dari Nomura Reseach Institute bernama Takahide Kiuchi memprediksi kerugian yang dialami negaranya mencapai 1,3 miliar dollar AS atau setara dengan sekitar Rp 18,8 triliun.

Lantas, yang bisa Jepang usung dalam Olimpiade Tokyo 2020 ini?

 Kebangkitan Jepang 

Merujuk publikasi Britannica, setidaknya ada tiga alasan sejumlah negara ingin menjadi tuan rumah Olimpiade.

Pertama, Olimpiade disebut-sebut mampu mendorong kegiatan pariwisata yang dapat meningkatkan ekonomi lokal.

Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil contohnya. Mampu mendorong kehadiran 6,6 juta turis asing ke negara itu. Lebih dari separuhnya merupakan pengunjung baru.

Inggris juga menyambut lebih dari satu pengunjung setiap detik pada Juni 2013 setelah Olimpiade London 2012. Jumlah ini meningkat 12 persen.

Faktor kedua, Olimpiade juga dinilai mampu meningkatkan perdagangan global dan status negara tuan rumah. Dengan dipilihnya suatu negara menjadi tuan rumah Olimpiade, negara tersebut akan cenderung lebih sering diundang dalam perkumpulan atau organisasi ekonomi global.

Hal tersebut menjadi momentum untuk mempromosikan suatu negara di kancah internasional.

Baca Juga: Mulai Berkurangnya Minat Kota-kota Dunia Jadi Tuan Rumah Olimpiade

Setelah sukses menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1960 di Roma, Italia bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan memulai negosiasi Messina yang mengarah pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa.

Faktor terakhir ialah terciptanya rasa kebanggaan nasional atau nasionalisme saat suatu negara menjadi tuan rumah Olimpiade.

Bendahara Divisi Perbankan Korporat Royal Bank of Scotland, Moorad Choudhry mengatakan, faktor perasaan senang yang sejati saat menjadi tuan rumah Olimpiade bisa sangat berdampak positif bagi perekonomian.

Tidak hanya dalam hal pengeluaran yang lebih tinggi, tetapi juga dalam produktivitas di tempat kerja, yang pada gilirannya meningkatkan output.

Merujuk pada pendapat di atas, tentu alasan pertama tidak relevan lagi bagi Jepang. Ketiadaan penonton tentu membuat Jepang tak bisa mendongkrak ekonomi melalui pariwisata lokalnya. 

Alasan ingin memberikan contoh kepada dunia bahwa ada perhelatan olahraga internasional yang dapat berjalan di tengah wabah juga tampaknya terlalu berisiko dan justru berpotensi menjadi bumerang.

Naomi Osaka menyalakan api Olimpiade saat upacara pembukaan di Stadion Olimpiade pada Olimpiade Musim Panas 2020, Jumat, 23 Juli 2021, di Tokyo, Jepang.
AP PHOTO/DAVID J PHILIP
Naomi Osaka menyalakan api Olimpiade saat upacara pembukaan di Stadion Olimpiade pada Olimpiade Musim Panas 2020, Jumat, 23 Juli 2021, di Tokyo, Jepang.

Pada titik ini, mari kita telusuri hal yang melatari keyakinan Jepang menjadi tuan rumah Olimpiade 2020.

Jauh sebelum pembukaan, Perdana Menteri Jepang kala itu Shinzo Abe mengatakan, ”Olimpiade 2020 menjadi kesempatan emas bagi Jepang untuk memperlihatkan kepada dunia, bagaimana kami mampu bangkit kembali setelah tragedi gempa bumi dahsyat menimpa wilayah timur negeri ini.”

Dikutip dari Kompas, 26 Juli 2021, Memasuki tahun 1990-an, Jepang diketahui mulai mengalami kemunduran ekonomi sebagai akibat berantai dari penguatan nilai tukar Yen yang cukup tajam.

”Olimpiade 2020 menjadi kesempatan emas bagi Jepang untuk memperlihatkan kepada dunia, bagaimana kami mampu bangkit kembali setelah tragedi gempa bumi dahsyat menimpa wilayah timur negeri ini.”

-Shinzo Abe-

Penurunan investasi dan daya saing ekspor turut melemahkan kinerja perekonomian Jepang.

Merespons situasi tersebut, pemerintah Jepang kemudian menggelontorkan stimulus dengan menggunakan instrumen fiskal. Namun nyatanya defisit anggaran mengancam. Tepatnya mencapai 2,5 persen pada tahun 1993.

Gejolak ekonomi global turut memperparah kondisi ekonomi Jepang kala itu. Krisis keuangan Asia tahun 1998 berdampak pada kontraksi ekonomi Jepang menjadi minus 2,1 persen.

Persoalan menjadi semakin kompleks saat krisis yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2001 sedikit banyak berdampak ke Jepang. Dilanjutkan dengan naiknya defisit hingga 11,2 persen dari PDB pada 2008.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, saat ekonomi belum stabil, Jepang dilanda gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1 skala Richter tahun 2011.

Baca Juga: Upaya Jepang di Tengah Tantangan Pandemi saat Olimpiade Tokyo 2020

Gempa yang terjadi di kedalaman 29 kilometer di bawah laut itu mengakibatkan tsunami setinggi sekitar 10 meter dan menelan puluhan ribu korban jiwa.

 

 Aspek geopolitik 

Setelah serangkaian peristiwa itu, maka wajar bila Olimpiade dijadikan simbol kebangkitan bangsa Jepang, meskipun di  tengah segala keterbatasan. Semangat ‘banzai’ rupanya tetap berkumandang.

Meneguhkan pernyataan itu, Kepala Hukum Olahraga Melbourne Law School University Jack Anderson mengatakan, momen Olimpiade Tokyo 2020 ini seolah menggaungkan kembali semangat kebangkitan 56 tahun lalu dalam Olimpiade Tokyo 1964.

Saat itu, Olimpiade menjadi momen Jepang untuk menunjukkan kebangkitannya setelah kalah dalam Perang Dunia II. Pesta olahraga ini menandai transformasi 20 tahun Tokyo dari reruntuhan bom menjadi kota modern.

Tokyo kala itu melakukan pembenahan dan pembangunan kota besar-besaran, yang kemudian menjadi warisan kota itu hingga saat ini.

Desain bangunan dan teknologi modern hingga desain poster Olimpiade karya Yusaku Kamekura menjadi simbol bahwa Jepang telah muncul kembali sebagai negara yang kuat dan setara dengan negara barat.

Sepatu Onitsuka Tiger Delegation yang dipakai delegasi Jepang pada Olimpiade Tokyo 1964, disimpan di ASICS Museum, Kobe, Jepang
KOMPAS.com/Wisnubrata
Sepatu Onitsuka Tiger Delegation yang dipakai delegasi Jepang pada Olimpiade Tokyo 1964, disimpan di ASICS Museum, Kobe, Jepang

Serupa dengan itu, pada Olimpiade Tokyo 2020, Jepang menyuguhkan kecanggihan teknologinya dalam publikasi dan penyelenggaraannnya. Ini pun untuk meyakinkan dunia bahwa Jepang patut diperhitungkan sebagai negara pengekspor teknologi terbaik di dunia.

Tak cukup dengan itu, ada aspek geopolitik yang sarat dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020.

Ajang perlombaan olahraga terbesar ini menjadi citra Jepang untuk berhadapan dengan saingan regionalnya, yaitu China, yang akan menyelenggarakan Olimpiade musim dingin tahun depan.

Jika Jepang batal dan gagal dalam penyelenggaraan Olimpiade tahun ini, kesempatan China untuk menunjukkan keunggulannya semakin besar.

"Jadi, olimpiade menjadi simbol kebangkitan bagi Jepang," ucap Anderson.