JEO - Insight

Sabtu, 10 Oktober 2020 | 14:22 WIB

 SERI UU CIPTA KERJA 

UU CIPTA KERJA
TAK MEMIHAK PEKERJA

MOSI tidak percaya kepada pemerintah dan DPR bergaung melalui media sosial begitu omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, Senin (5/10/2020).

Hashtag alias tanda pagar atau tagar mosi tidak percaya (#MosiTidakPercaya) langsung jadi trending topic media sosial begitu DPR ketok palu di rapat paripurna itu.

Ancaman mogok kerja buruh hingga kritik bertubi-tubi dari akademisi tidak menghalangi pengesahan UU Cipta Kerja. Demonstrasi pun berlangsung di banyak kota, tak hanya di Ibu Kota, begitu pemerintah dan DPR setuju untuk mengesahkan UU Cipta Kerja.

Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Pemerintah menyebut pembahasan UU Cipta Kerja bertolak dari kepentingan nasional dan demi peningkatan investasi tanpa melupakan hak para pekerja dan kesejahteraan rakyat.

Namun, kelompok serikat pekerja berpandangan sebaliknya. Sejumlah ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan dianggap mengebiri jaminan hak buruh. Penolakan juga datang dari akademisi, praktisi, dan pemerhati.

Pertanyaannya, ketika pemerintah menjamin kemudahan investasi melalui UU Cipta Kerja, lantas apakah pada saat yang sama kita juga tetap bisa berharap soal pemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, serta kehidupan yang layak dan bermartabat?

Untuk saat ini, sepertinya para pekerja dan publik hanya mampu bersandar pada pesan tentang hidup yang menolak padam. Laiknya kutipan lirik lagu Fateh yang ditulis Morgue Vanguard, musisi sekaligus aktivis asal Bandung ini:

Kami takkan berhenti meski lapar mengetam.

Hingga udara yang kau hidup mengantar pesan sederhana tentang potret generasi akhir zaman yang kusam. Dan doa-doa tak terkabul di ujung malam.

Tentang hasrat yang siap menua bersama angkara. Tentang geram yang kami pelihara.

Hingga udara yang kau hidup mengantar pesan sederhana tentang hidup yang menolak padam…

 

  M E N U  A R T I K E L : 

KILAS BALIK
PROSES DI DPR

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) bersama Menkumham Yasonna Laoly (kelima kanan), Menteri Keuangan Sri Mulyani (keempat kiri), Mendagri Tito Karnavian (keempat kanan), Menaker Ida Fauziyah (ketiga kiri), Menteri ESDM Arifin Tasrif (ketiga kanan), Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil (kedua kiri) dan Menteri LHK Siti Nurbaya (kedua kanan) berfoto bersama dengan pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut, pemerintah dan DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kelima kiri) bersama Menkumham Yasonna Laoly (kelima kanan), Menteri Keuangan Sri Mulyani (keempat kiri), Mendagri Tito Karnavian (keempat kanan), Menaker Ida Fauziyah (ketiga kiri), Menteri ESDM Arifin Tasrif (ketiga kanan), Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil (kedua kiri) dan Menteri LHK Siti Nurbaya (kedua kanan) berfoto bersama dengan pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut, pemerintah dan DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

KEINGINAN Presiden Joko Widodo untuk memiliki undang-undang berukuran besar yang menyederhanakan regulasi terkait investasi akhirnya terwujud. Keinginan ini muncul dalam pidato perdana periode kedua jabatannya.

Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo dalam Pelantikan Periode 2019-2024

Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan omnibus law Rancangan undang-Undang RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Namun, langkah pemerintah dan DPR ini menuai kecaman dari beragam kelompok masyarakat sipil. Dari serikat pekerja, buruh, hingga akademisi. 

Pasalnya, klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja dinilai telah mengebiri hak pekerja dan cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha.

 

Bahkan, tidak semua fraksi di DPR satu suara mendukung pengesahan UU Cipta Kerja. Dari sembilan fraksi di DPR, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolak UU Cipta Kerja. 

Adapun tujuh fraksi lain menyetujui UU Cipta Kerja, yaitu Fraksi PDI-P, Golkar, PKB, Gerindra, PPP, Nasdem menyetujui pengesahan UU Cipta Kerja, dan Fraksi PAN. Dalam pandangan akhir, Fraksi PAN menyatakan setuju dengan catatan. 

Penolakan fraksi

Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak pengesahan RUU Cipta Kerja sejak dalam rapat pembahasan tingkat I, Sabtu (3/10/2020).

Anggota Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menyampaikan lima catatan fraksi terhadap RUU Cipta Kerja.

Di antaranya, RUU Cipta Kerja dianggap tidak memiliki nilai kegentingan di tengah dampak pandemi Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia.

"RUU Cipta Kerja ini tidak memiliki nilai urgensi di tengah krisis pandemi," kata Hinca, Sabtu.

Selain itu, dia berpendapat RUU Cipta Kerja berpotensi memberangus hak-hak pekerja dan pembahasannya sejak awal cacat prosedur.

Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Hal senada diungkap anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa.

Meski mengapresiasi ketentuan soal kemudahan berusaha, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja karena pembahasannya dinilai tidak sensitif dengan situasi yang terjadi saat ini.

Ia juga menyoroti minimnya pelibatan publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.

"RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi," kata Ledia yang juga adalah Sekretaris Fraksi PKS di DPR, Sabtu.

Terpisah, Ketua Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Partai Demokrat Ossy Dermawan mengatakan, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat mendorong investasi masuk ke dalam negeri kian besar. Tujuannya, menggerakkan roda perekonomian nasional.

Substansi RUU Cipta Kerja telah bergeser dari semangat nilai-nilai Pancasila terutama dari sila Keadilan Sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan neo-liberalistik.

Namun, ia mengingatkan, hak dan kepentingan kelompok pekerja juga tidak boleh diabaikan. Ada beberapa regulasi yang diatur di dalam RUU ini, ujar dia, berpotensi memangkas hak dan kepentingan kaum pekerja di Tanah Air.

"Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk reformasi birokrasi dan peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan (growth with equity)," kata Ossy, lewat siaran pers, Minggu (4/10/2020).

Substansi RUU Cipta Kerja, lanjut Ossy, juga telah bergeser dari semangat nilai-nilai Pancasila terutama dari sila Keadilan Sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan neo-liberalistik.

"Kita perlu bertanya, apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers kita," tegas Ossy.

Sikap yang sama juga ditunjukkan kedua fraksi tersebut dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10/2020).

Setelah melalui interupsi berkali-kali oleh Benny K Harman, anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR, setiap fraksi mendapat kesempatan membacakan pandangan akhir atas RUU Cipta Kerja.

Dalam pandangan yang dibacakan anggota Marwan Cik Hasan, Fraksi Partai Demokrat menyatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja terlalu tergesa-gesa. Padahal, pasal-pasal yang ada dalam RUU Cipta Kerja berdampak luas pada banyak aspek kehidupan masyarakat.

RUU Cipta Kerja, ujar Marwan, semestinya menjadi peta jalan (roadmap) dalam pembangunan bangsa. 

Baca juga: Polemik RUU Cipta Kerja, Nasib Pekerja di Tangan Penguasa dan Pengusaha

DPR dan pemerintah, lanjut dia, harusnya memikirkan dampak jangka panjang sebuah RUU untuk kesejahteraan masyarakat.

"Tak perlu buru-buru, harus lebih utuh. Libatkan stakeholder, biar tidak berat sebelah, berkeadilan sosial, dan menggerakkan ekonomi," imbuh Marwan.

Rapat Paripurna juga  diwarnai aksi walk out Fraksi Partai Demokrat. Interupsi yang terus diusahakan Benny ditolak oleh pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Sidang berlanjut tanpa kehadiran Fraksi Partai Demokrat. Sesaat setelah pandangan akhir pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Azis mengetuk palu pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

 

  M E N U  A R T I K E L : 

PENOLAKAN
PUBLIK

PERSETUJUAN DPR dan pemerintah untuk mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang menuai kekecewaan dari serikat buruh, akademisi, dan masyarakat.

"Kami sangat kecewa, marah, ingin menangis, ingin menunjukkan ekspresi kita kepada DPR dan pemerintah. Di tengah situasi seperti sekarang kok bisa melakukan upaya yang sangat jahat seperti ini," ujar Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih, saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/10/2020).

Menurut Jumisih, pengesahan RUU Cipta Kerja ini semakin meneguhkan keyakinan buruh dan masyarakat bahwa DPR dan pemerintah berpihak kepada pemilk modal, bukan rakyat.

Cita-cita bangsa Indonesia untuk sejahtera, kata dia, kian menjauh dari masyarakat.

Kericuhan terjadi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/10/2020).
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Kericuhan terjadi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/10/2020).

"Pemerintah sedang mewariskan kehancuran untuk generasi kita dan generasi akan datang. Pemerintah mewariskan bukan kebaikan, tapi kehancuran untuk rakyatnya sendiri, per hari ini," ucap Jumisih.

Aksi demonstrasi dan mogok kerja pun meluas di berbagai kota di Indonesia sejak rapat paripurna berlangsung hingga Kamis (8/10/2020).

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesian (KSPI) Said Iqbal menegaskan, serikat buruh tetap menggelar aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 untuk menolak UU Cipta Kerja. 

Mogok nasional, kata Iqbal, dilakukan oleh kurang lebih dua juta buruh dari 32 federasi, konfederasi serikat buruh, dan sejumlah federasi serikat buruh lain.

Iqbal mengatakan, aksi mogok kerja ini sesuai dengan aturan perundangan-undangan yakni UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

"Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik," kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).

Dalam aksinya, buruh mengungkap atas sejumlah substansi UU Cipta Kerja. Buruh, ujar Iqbal, menuntut upah minimum kota (UMK) tanpa syarat dan upah minimum sektoral kota (UMSK) tidak dihilangkan.

Kemudian, buruh meminta nilai pesangon tidak berkurang. Buruh menolak klausul Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup.

Ratusan mahasiswa Universitas Pattimura Ambon memblokade Jembatan Merah Putih saat berunjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja di Ambon, Kamis (8/10/2020). Aksi unjuk rasa tersebut berakhir bentrok dengan aparat kepolisian
KOMPAS.com/RAHMAT RAHMAN PATTY
Ratusan mahasiswa Universitas Pattimura Ambon memblokade Jembatan Merah Putih saat berunjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja di Ambon, Kamis (8/10/2020). Aksi unjuk rasa tersebut berakhir bentrok dengan aparat kepolisian

Selain itu, buruh juga menolak outsourcing seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, serta hilangnya cuti dan hak upah atas cuti.

Buruh menuntut pula karyawan kontrak dan outsourcing mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.

"Terkait dengan PHK, sanksi pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU Nomor 13 Tahun 2003 (tentang Ketenagakerjaan)," tegas Iqbal.

Baca juga: Aksi Demo Penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja di 9 Daerah Berlangsung Ricuh, di Mana Saja?

Dalam Rapat Paripurna, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, UU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.

Airlangga menyebut, UU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.

"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi," kata Airlangga.

Karena itulah, lanjut dia, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja.

UU Cipta Kerja, ungkap Airlangga, sekaligus menjadi instrumen, penyederhanaan, serta peningkatan efektivitas birokrasi. 

Mengkhianati rakyat

Sebelum Rapat Paripurna DPR, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menuntut DPR dan pemerintah menghentikan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja.

Aksi penolakan pun masih terus berlanjut setelah DPR dan pemerintah menyatakan persetujuan bersama pada Senin (5/10/2020).

Ratusan personel polisi dan brimob berusaha menghalau massa mahasiswa saat aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja di Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Kamis (8/10/2020). Aksi berujung ricuh, dan menyebabkan sedikitnya empat polisi, dua mahasiswa dan satu petugas Satpol PP terluka.
KOMPAS.com/ORYZA PASARIBU
Ratusan personel polisi dan brimob berusaha menghalau massa mahasiswa saat aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja di Kota Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Kamis (8/10/2020). Aksi berujung ricuh, dan menyebabkan sedikitnya empat polisi, dua mahasiswa dan satu petugas Satpol PP terluka.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, DPR dan pemerintah telah mengkhianati rakyat. RUU Cipta Kerja, kata dia, hanya akan melahirkan kesusahan bagi masyarakat.

Ia menilai, RUU Cipta Kerja hanya mengakomodasi kepentingan para pengusaha dan investor. Isnur pun mengajak seluruh elemen masyarakat bergerak menolak RUU Cipta Kerja.

"Mosi tidak percaya kepada DPR dan Pemerintah. Rakyat menuntut hentikan pembahasan dan batalkan RUU Cipta Kerja. Pemerintah dan parlemen yang telah melakukan pengkhianatan kepada rakyat dan konstitusi," kata Isnur dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020) pagi.

Penolakan atas pengesahan UU Cipta Kerja juga dilontarkan oleh kalangan akademisi.

Penolakan atas pengesahan UU Cipta Kerja juga dilontarkan oleh kalangan akademisi. BIla pada Senin petang penolakan telah datang dari 67 akademisi, pada Kamis (8/10/2020) jumlah itu sudah melonjak hingga 400 akademisi dari 119 perguruan tinggi. 

Dalam pernyataan bersama secara tertulis kepada wartawan, Senin, para akademisi mengatakan, pengesahan UU tersebut terkesan memaksakan kehendak dan berada di luar batas kewajaran.

"Aturan itu tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," bunyi petikan pernyataan para akademisi.

Selain itu, aspirasi publik pun kian tak didengar, bahkan terus dilakukan pembatasan, seakan wakil rakyat dan pemerintah tidak lagi mau dan mampu mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar warga.

Ketika DPRD Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyatakan sikap menolak  Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru resmi disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna belum lama ini di hadapan pedemo Kantor Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis. (8/10/2020).
KOMPAS.com/AFDHALUL IKHSAN
Ketika DPRD Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyatakan sikap menolak  Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru resmi disahkan oleh DPR RI dalam Rapat Paripurna belum lama ini di hadapan pedemo Kantor Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis. (8/10/2020).

Menurut para akademisi, setidaknya ada lima masalah mendasar terkait substansi dalam UU Cipta Kerja, yatu:

Mempertimbangkan permasalahan mendasar tersebut, para akademisi dengan tegas menolak disahkannya UU Cipta Kerja. Hingga Senin, pukul 17.30 WIB, penolakan ini telah ditandatangani 67 akademisi.

Kertas kosong

Proses pembahasan di luar substansi dan prosedur hukum hingga pengambilan keputusan atas RUU Cipta Kerja di DPR pun menuai kritik.

UU Cipta Kerja disebut melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.

Ini merujuk pernyataan dari Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas dan anggota Tim Perumus (Timmus) UU Cipta Kerja di Baleg Ledia Hanifa Amaliah dalam salah satu tayangan dialog di televisi pada 7 Oktober 2020.

Mereka mengakui bahwa draf RUU Cipta Kerja bahkan belum ada ketika dilakukan pengambilan keputusan tingkat pertama di Panitia Kerja di Baleg DPR. Sebab, kerja Timmus pun belum rampung, jangankan Tim Sinkronisasi (Timsin) RUU Cipta Kerja.

Padahal, merujuk Tatib DPR, salah satu acara dalam pengambilan keputusan tingkat pertama adalah pembacaan naskah hasil kerja Timsin RUU.

"Jadi, wajib hukumnya ada naskah RUU yang dibacakan dan itu adalah naskah hasil kerja timmus dan timsin," ujar Dradjad Hari Wibowo, ekonom yang pernah menjadi anggota DPR periode 2004-2009, Sabtu (10/10/2020).

Karenanya, Dradjad berpendapat bahwa pengambilan keputusan tingkat dua atau rapat paripurna DPR bak memproses kertas kosong sekalipun dalam rupa dokumen tebal. 

Baca juga: UU Cipta Kerja: Kertas Kosong yang Disahkan Rapat Paripurna DPR

 

  M E N U  A R T I K E L : 

 

UU CIPTA KERJA
VS
UU KETENAGAKERJAAN

Ilustrasi politik legislasi ketenagakerjaan.
KOMPAS/HERYUNANTO
Ilustrasi politik legislasi ketenagakerjaan.

KETENAGAKERJAAN menjadi judul Bab IV UU Cipta Kerja dan juga judul bagian kedua dari bab ini. Bab IV UU Cipta Kerja memuat lima bagian, dalam pasal 80-84 UU ini. 

Kelima bagian itu adalah:

  1. Bagian Kesatu: Ketentuan Umum - memuat cakupan bab ketenagakerjaan.
  2. Bagian Kedua: Ketenagakerjaan - memuat perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
  3. Bagian Ketiga: Jenis Program Jaminan Sosial - memuat perubahan atas UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial.
  4. Bagian Keempat: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - memuat perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
  5. Bagian Kelima: Perlindungan Pekerja Migran Indonesia - memuat perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Pasal 81 UU Cipta Kerja—yang adalah isi dari Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja—memuat 68 nomor atau angka.

Masing-masing nomor di pasal itu mengubah, menghapus, dan atau menambah ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Kompas.com mencatat dan menelusuri delapan persoalan terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja terutama yang menghapus, mengubah, atau menambah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

Sejumlah isu ini sebelumnya telah pula disoroti oleh serikat buruh, pekerja, akademisi, praktisi, dan pemerhati. Masing-masing persoalan dijabarkan dalam sub judul di bagian tulisan ini. 

℘

Untuk catatan, ada sejumlah persoalan lain terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang belum tercakup dalam tulisan ini—semisal tentang pekerja migran, tenaga kerja asing, dan pajak—, yang akan dikupas dalam tulisan terpisah.

Seluruh bunyi pasal UU Cipta Kerja yang dicuplik dalam artikel ini merujuk pada naskah yang Kompas.com dapatkan pada 5 Oktober 2020 seusai rapat paripurna DPR.

Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

℘

Soal upah

Perubahan tentang ketentuan pengupahan diatur dalam Pasal 81 Angka 24 UU Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.

Semula, Pasal 88 UU Ketenagakerjaan selengkapnya berbunyi: 

Pasal 88 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU Cipta Kerja memangkas isi Pasal 88 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dari semula 11 poin menjadi tujuh poin. Redaksional Pasal 88 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan pun berubah.

Ketentuan tentang penetapan upah minimum yang semula diatur dalam Pasal 8 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan dihapus.

Bunyi Pasal 81 Angka 24 UU Cipta Kerja berikut ini:

Perubahan Pasal 88 UU Ketenagakerjaan sebagaimana termuat dalam Pasal 81 Angka 24 UU Cipta Kerja

Selain merombak Pasal 88 UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja menghapus Pasal 89 dan Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur tentang upah minimum provinsi dan kabupten kota. Adapun Pasal 90 mengatur soal sanksi bagi pengusaha yang tak membayar pekerja di atas upah minimum.

Pasal 88B Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan upah pekerja diatur berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. 

Sebagai ganti, UU Cipta Kerja menyisipkan lima pasal baru ke dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 88A, Pasal 88 B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88 E. Penambahan pasal ini merupakan isi Pasal 81 Angka 25 UU Cipta Kerja. 

Dari penambahan pasal tersebut, poin krusial terdapat pada Pasal 88B Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan upah pekerja diatur berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil. 

Adapun Pasal 88C menggantikan klausul Pasal 89 UU Ketenagakerjaan yang dihapus, yaitu terkait upah minimum provinsi dan kabupaten kota.

Bedanya dengan pasal yang dihapus, klausul baru dalam Pasal 88C UU Ketenagakerjaan menyebut syarat penetapan upah minimum regional ini mencakup pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah.

Lalu, gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten kota. Dalam klausul yang dihapus, redaksional yang digunakan adalah "Upah minimum... ditetapkan oleh gubernur...."

Perubahan redaksional lain dalam klausul baru, baik upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten kota ini ditetapkan dengan mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. 

Klausul baru dalam Pasal 88D UU Ketenagakerjaan pun mengubah formula dan mekanisme perhitungan upah minimum.

Dalam semua perubahan, penghapusan, dan penambahan pasal, UU Cipta Kerja mencantumkan klausul aturan lebih lanjut akan diatur dengan PP.

Bila Pasal 89 UU Ketenagakerjaan yang dihapus menyatakan upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak, Pasal 88D UU Ketenagakerjaan menjadikan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi sebagai bagian dari formulasi upah minimum. 

Soal mekanisme, gubernur tidak lagi perlu memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan, yang semula diatur dalam Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang dihapus oleh UU Cipta Kerja. 

Dalam semua perubahan, penghapusan, dan penambahan pasal di atas, UU Cipta Kerja mencantumkan klausul aturan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Ini termasuk syarat dan tata cara penetapan pengupahan dan upah minimum. 

Pasal 88E menyatakan pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah daripada upah minimum. Namun, tidak ada klausul apa pun yang mengatur atau menyediakan pilihan cara bagi pengusaha yang membayar pekerjanya kurang dari upah minimum. 

Penghapusan opsi dan sanksi

Ada tiga pasal krusial dalam UU Ketenagakerjaan dihapus atau diubah oleh UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya ketentuan soal upah oleh pengusaha. Ketiga pasal itu adalah Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 95 UU Ketenagakerjaan. 

Oleh UU Cipta Kerja, Pasal 90 dan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan dihapus.

Pasal 90 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan tegas melarang pengusaha membayar pekerjanya kurang dari upah minimum.

Namun, bila kondisi tidak memungkinkan, ayat (2) pasal ini memberi opsi penangguhan bayar, dengan tata cara sesuai keputusan menteri seperti bunyi ayat (3) pasal itu.

Penjelasan UU Ketenagakerjaan atas opsi penangguhan ini menyatakan, penangguhan berarti pembebasan pembayaran upah minimum dalam waktu tertentu.

Bila masa penangguhan berakhir, perusahaan harus membayar pekerja sesuai upah minimum tetapi tidak wajib membayar upah minimum selama penangguhan.  

Adapun Pasal 91 UU Ketenagakerjaan menegaskan upah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerjanya tidak boleh lebih rendah dari upah minimum.

Bila kesepakatan lebih rendah dibanding upah minimum, kesepakatan itu batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar pekerja sesuai ketentuan upah minimum.

Lalu, Pasal 95 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan dengan tegas bahwa pengusaha yang kedapatan sengaja atau lalai sehingga telat membayar upah pekerja, dikenakan denda dengan persentase tertentu dari upah.

Pemerintah pun diatur oleh pasal ini untuk mengatur soal denda kepada pengusaha yang telat membayar upah.

UU Cipta Kerja menghapus denda bagi pengusaha yang sengaja atau lalai sehingga telat bayar upah.

Dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi, Pasal 95 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengharuskan upah pekerja sebagai utang yang harus didahulukan pembayarannya.

Oleh UU Cipta Kerja, Pasal 90 dan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan dihapus. Adapun redaksional Pasal 95 UU Ketenagakerjaan diubah. 

Dua ayat dalam Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang dihapus, dalam UU Cipta Kerja muncul sebagai ayat (4) dan ayat (5) di Pasal 88A UU Ketenagakerjaan. Ini merupakan perubahan UU Ketenagakerjaan yang dilakukan UU Cipta Kerja di Pasal 81 huruf 25. 

Selain itu, UU Cipta Kerja menyisipkan dua pasal baru, yaitu Pasal 90A dan Pasal 90 B, ke dalam UU Ketenagakerjaan.

Pasal 90A membahas tentang gaji di atas upah minimum, sementara Pasal 90B memberikan pengecualian pembayaran upah minimum untuk usaha mikro dan kecil.

Untuk usaha mikro dan kecil, upah dibolehkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Namun, sekurang-kurangnya upah itu tetap harus memenuhi persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat menurut instansi statistik.

Tidak ada opsi apa pun bagi pengusaha di luar pengecualian yang tidak membayar upah pekerja sesuai upah minimum. Opsi penangguhan seperti pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan yang dihapus juga tidak muncul kembali.

Misal, pengusaha tidak dapat membayar upah minimum karena kondisi perekonomian saat ini, apa yang harus dilakukan pengusaha dan bagaimana nasib pekerja, tak tersedia alternatif mekanisme bagi kedua pihak jika merujuk UU Cipta Kerja.

Penambahan baru Pasal 90A ke UU Ketenagakerjaan mengatur upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. 

Terkait sanksi bagi pengusaha, UU Cipta Kerja menghapus pula Pasal 170 UU Ketenagakerjaan.

Pasal ini mengatur bahwa PHK batal demi hukum bila tidak memenuhi sejumlah ketentuan. Dalam hal demikian, pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja dengan membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. 

Hak libur dan cuti

UU Cipta Kerja memangkas sejumlah hak pekerja yang semula ada dalam UU Ketenagakerjaan. Salah satunya adalah hak libur dan cuti.

Berdasarkan naskah final UU Cipta Kerja yang diterima Kompas.com dari Badan Legislasi DPR, Senin (5/10/2020), ketentuan Pasal 79 UU Ketenagakerjaan yang mengatur waktu istirahat dan cuti pekerja diubah.

UU Cipta Kerja atur libur hanya sehari untuk enam hari kerja dalam sepekan.

Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Semula, pasal ini mencantumkan pilihan satu hari libur untuk enam hari kerja atau dua hari libur untuk lima hari kerja di ayat (2) huruf b.

Dalam perubahan Pasal 79 UU Ketenagakerjaan lewat UU Cipta Kerja, waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja. Ini diatur dalam Pasal 81 Angka 23 UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja menghapus pula klausul "cuti besar" yang semula ada di Pasal 79 Ayat (2) Huruf d UU Ketenagakerjaan. Semula, pekerja dengan masa kerja sekurangnya enam tahun punya hak mendapat istirahat panjang sekurangnya dua bulan.

Dalam aturan yang dihapus itu, cuti panjang bisa diambil pada bulan ketujuh dan kedelapan, masing-masing satu bulan. Saat cuti panjang, pekerja kehilangan hak atas cuti tahunan untuk dua tahun berjalan. Ketentuan tersebut berlaku untuk kelipatan enam tahun. 

UU Cipta Kerja hapus hak cuti besar.

Bila UU Ketenagakerjaan semula menyatakan "cuti besar" hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja di perusahaan tertentu, perubahan lewat UU Cipta Kerja merumuskan perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang.

Dalam Pasal 81 Angka 23 UU Cipta Kerja, ketentuan baru tentang istirahat panjang itu termaktub di Pasal 79 Ayat (5) UU Ketenagakerjaan. 

Substansi aturan cuti yang tidak diubah adalah cuti tahunan paling sedikit 12 hari dalam setahun setelah masa kerja minimal 12 bulan.

Klausul tentang cuti haid dan melahirkan tidak berubah, demikian pula aturan soal kesempatan bagi pekerja perempuan menyusui anak selama jam kerja.

Tidak ada perubahan pula tentang kewajiban perusahaan tetap membayar penuh upah pekerja yang menggunakan hak istirahat dan cuti, yang diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan.

Aturan bahwa perusahaan wajib membayar upah lembur bagi pekerja yang harus tetap bekerja pada hari libur nasional, sebagaimana diatur Pasal 85 UU Ketenagakerjaan, juga tidak berubah, dengan landasan keputusan menteri. 

PHK

Sejumlah ketentuan terkait PHK dalam UU Ketenagakerjaan dihapus, diubah, dan ditambah oleh UU Cipta Kerja.

Baca juga: Menaker: Sangat Prematur Menyimpulkan UU Cipta Kerja Buat Pekerja Rentan PHK

UU Cipta Kerja menghapus Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Penghapusan ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 50 UU Cipta Kerja.

Semula, Pasal 161 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan memberi tiga kali peringatan untuk bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada pekerja yang melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pada Ayat (3), Pasal 161 UU Ketenagakerjaan mengatur setiap surat peringatan berlaku paling lama enam bulan, kecuali ada ketentuan lain dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Adapun Pasal 161 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur besaran pesangon yang dapat diterima pekerja yang di-PHK karena dinyatakan melanggar perjanjian kerja. 

Seluruh ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan dihapus oleh UU Cipta Kerja. Sebagai ganti, perusahaan hanya wajib melakukan pemberitahuan tentang PHK, kecuali untuk PHK karena pekerja mengajukan pengunduran diri atas kemauan sendiri.

Satu pasal baru ditambahkan dalam UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja berisi rincian alasan perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerjanya.

Diatur dalam Pasal 81 Angka 42, UU Cipta Kerja memasukkan Pasal 154A ke dalam UU Ketenagakerjaan. Isinya semacam ringkasan alasan PHK dapat dilakukan, ada 14 poin, yaitu: 

  1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
  2. Perusahaan melakukan efisiensi
  3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
  4. Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).
  5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  6. Perusahaan pailit
  7. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
  8. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
  9. Pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis;
  10. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  11. Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
  12. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
  13. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
  14. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Selain 14 hal tersebut, UU Cipta Kerja menyatakan bahwa alasan lain PHK dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya rincian semacam itu juga ada di UU Ketenagakerjaan, yaitu pada Pasal 158, yang kemudian dihapus oleh UU Cipta Kerja lewat Pasal 81 Angka 47 UU Cipta Kerja. 

Hak pengajuan PHK 

UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 169 UU Ketenagakerjaan. Penghapusan ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja.

Pekerja yang mengalami perlakuan buruk perusahaan kehilangan hak ajukan PHK dengan aturan khusus pesangon.

Semula, Pasal 169 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan menganiayaan, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ketentuan pada Pasal 169 Ayat (2) yang menyatakan pekerja yang mengajukan PHK tersebab klausul pada ayat (1) akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.

Seluruh isi Pasal 169 UU Ketenagakerjaan dihapus oleh UU Cipta Kerja. 

Pesangon PHK

Pada Sabtu (3/10/2020), pemerintah dan DPR sepakat untuk memangkas jumlah pesangon yang dapat diterima pekerja terkena PHK.

Angka pengali di UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan tidak berubah, tetap menggunakan rentang masa kerja. Yang berubah dari UU Cipta Kerja adalah penerapan dari angka-angka pengali ini.

Untuk informasi, komponen pesangon adalah uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak. Masing-masing memiliki angka pengali sesuai masa kerja, yang kemudian juga punya formulasi berbeda lagi untuk masing-masing kasus PHK. 

Formulasi inilah yang banyak berubah di UU Cipta Kerja.

Pekerja terkena PHK yang memenuhi ketentuan maksimal pesangon akan mendapatkan hasil yang lebih sedikit bila merujuk UU Cipta Kerja dibandingkan jika memakai ketentuan semula di UU Ketenagakerjaan. 

Dalam UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pesangon bagi pekerja yang terkena PHK adalah sekurang-kurangnya maksimal 32 angka pengali upah—sesuai masa kerja dan penyebab terjadinya PHK. 

Adapun oleh UU Cipta Kerja, angka pengali ini susut menjadi maksimal 25 kali. 

Baca juga: Pesangon PHK Jadi Hanya 25 Kali Upah di UU Cipta Kerja

Itu pun, UU Cipta Kerja sudah menambahkan satu komponen dalam uang pesangon yang dinamai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dalam perhitungan pesangon, JKP menambahkan enam kali upah.

Sebelumnya, aturan dasar perhitungan besaran dan pengali pesangon diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 157 UU Ketenagakerjaan. Rincian lebih lanjut mengenai pesangon berdasarkan kasus PHK, diurai pada Pasal 160-167 UU Ketenagakerjaan.

Dalam kasus terjadi perselisihan terkait PHK hingga diputus oleh pengadilan industrial, UU Ketenagakerjaan juga mengatur tentang pesangon di Pasal 169. 

Oleh UU Cipta Kerja, ketentuan pesangon pada Pasal 156 UU Ketenagakerjaan diubah.

Pasal 156 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan semula menggunakan redaksional "Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:" diikuti rincian pengali sesuai masa kerja.

Bunyi Pasal 156 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan diubah oleh UU Cipta Kerja menjadi "Uang pesangon dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan berikut:" diikuti rincian pengali sesuai masa kerja. 

Perubahan juga dilakukan UU Cipta Kerja terhadap klausul Pasal 157 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, pada komponen perhitungan tunjangan yang masuk dalam komponen pesangon. 

Pesangon untuk pekerja borongan yang terkena PHK tak lagi mengharuskan sesuai upah minimum.

Untuk pekerja yang dibayar berdasarkan satuan hasil, potongan, borongan, atau komisi, ketentuan dasar perhitungan pesangon juga diubah oleh UU Cipta Kerja. 

Semula Pasal 157 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur dasar perhitungan pesangon mereka adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.

Dalam UU Cipta Kerja, klausul Pasal 157 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut diubah dengan menghilangkan ketentuan tidak boleh kurang dari upah minimum atau provinsi kabupaten/kota.

Perbedaan pengali maksimal pesangon yang dapat diterima pekerja atau buruh yang terkena PHK didapat dari penghapusan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan oleh UU Cipta Kerja yang mengatur PHK karena pensiun.

Ketentuan soal uang pensiun ikut berubah dalam UU Cipta Kerja.

Ini terutama dari hilangnya Pasal 167 Ayat (2) dan Pasal 167 ayat (5) UU Ketenagakerjaan.

Pasal 167 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur tentang selisih uang pensiun yang harus dibayar perusahaan, ketika perhitungan manfaat dana pensiun kurang dari ketentuan dua kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan, dan uang penggantian hak seperti diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Adapun Pasal 167 Ayat (5) UU Ketenagakerjaan memberikan tambahan angka pengali dalam perhitungan pesangon ketika perusahaan tidak mengikutsertakan pekerja dalam program pensiun karena terbentur ketentuan batas usia pensiun. 

Semua ketentuan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan sebelum diubah memastikan pekerja tetap harus mendapatkan hak jaminan hari tua yang diwajibkan peraturan perundang-undangan. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 167 Ayat (6) UU Ketenagakerjaan yang dihapus UU Cipta Kerja. 

UU Cipta Kerja menghapus pula Pasal 161, Pasal 162, Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, dan Pasal 172 dari UU Ketenagakerjaan, yang masing-masing memuat aturan tentang pesangon berdasarkan alasan PHK. 

PHK karena efisiensi perusahaan tidak lagi memberikan dua kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan, dan uang penggantian hak.

Penghapusan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan menyebabkan pekerja yang terkena PHK karena perusahaan melakukan efisiensi tidak akan lagi mendapatkan pesangon dengan formulasi dua kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan , dan uang uang penggantian yang masing-masing sesuai masa kerja. 

Dengan perubahan-perubahan di atas, pekerja yang terkena PHK benar-benar hanya bisa mendapatkan maksimal 19 pengali upah sesuai masa kerja, dalam perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan sebagai komponen pesangon.

Sebagai penjelas, maksimal 19 kali upah adalah angka tertinggi pengali yang bisa didapatkan pekerja. Misal, pekerja dengan masa kerja tiga tahun akan mendapatkan satu kali upah sebagai uang pesangon dan satu kali upah sebagai uang penghargaan.

Berbeda kasus untuk pekerja yang sudah mengabdi 25 tahun. Pekerja ini akan mendapatkan sembilan kali upah sebagai uang pesangon dan 10 kali upah sebagai uang penghargaan.

Baik dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja, angka pengali maksimal untuk komponen uang pesangon dan uang penghargaan adalah sama, yaitu 19 kali.

Adapun klaim tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai tambahan komponen pesangon dalam aturan UU Cipta Kerja tidak lagi menggunakan perhitungan dan klausul dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca juga: Di UU Cipta Kerja, Pegawai yang Kena PHK Dapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Apa Itu?

Aturan tentang JKP muncul dalam perubahan atas UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pasal 82 UU Cipta Kerja merupakan perubahan atas UU SJSN, yaitu sebagai Bagian Ketiga dari Bab IV.

JKP menambah jenis program jaminan sosial yang diatur dalam Pasal 18 UU SJSN, dari semula empat menjadi lima jenis.

Lalu, klausul tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menambahkan pula satu bagian dalam nomenklatur UU SJSN, yaitu Bagian Ketujuh, yang berada di antara Pasal 46 dan Pasal 47 UU SJSN.

Ada lima pasal baru dalam bagian yang disisipkan UU Cipta Kerja ke UU SJSN, yaitu Pasal 46A, Pasal 46B, Pasal 46C, Pasal 46D, dan Pasal 46E. 

Pada Pasal 46D Ayat (1) UU SJSN hanya disebutkan manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.

Baca juga: Menaker: Di UU Cipta Kerja, Pekerja Kena PHK Dapat Uang Tunai dan Pelatihan

Enam kali upah yang disebut menambah komponen pesangon pekerja saat terkena PHK tidak muncul dalam kelima pasal baru ini. 

Tambahan pasal baru di UU SJSN dan UU BPJS tentang JKP tidak menyebut besaran komponen pesangon yang didapat dari nomenklatur ini.

JKP muncul lagi di UU Cipta Kerja pada Bagian Keempat Bab IV UU Cipta Kerja, yang mengubah sejumlah ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 

Bila sejak Sabtu (3/10/2020) muncul pernyataan bahwa JKP diberikan sebesar enam kali upah dan preminya ditanggung APBN, kemungkinan terbaik hal itu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja sesuai Pasal 46D Ayat (3) UU SJSN. 

Karena, sejauh naskah yang sampai di tangan Kompas.com, Pasal 46C UU SJSN yang merupakan tambahan dari UU Cipta Kerja untuk UU tersebut menyatakan bahwa peserta JKP adalah setiap orang yang telah membayar iuran

Masih soal sumber pendanaan JKP, Pasal 46E Ayat (1) UU SJSN merinci sumber pendanaan JKP berasal dari:

  1. modal awal pemerintah;
  2. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau
  3. dana operasional BPJS Kesehatan

Dalam Penjelasan UU Cipta Kerja juga tak ada penambahan keterangan mengenai JKP ini.

Hak gugat PHK

UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial apabila tak menerima pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pasal yang mengatur hak pekerja yang tak terima dengan PHK dihapus.

UU Cipta Kerja menghapus Pasal 159 UU Ketenagakerjaan yang tegas mengatur hak tersebut.

UU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 171 UU Ketenagakerjaan yang mengatur juga tentang batas waktu pekerja yang tidak menerima keputusan PHK untuk dapat mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan industrial.

Penghapusan kedua pasal di UU Ketenagakerjaan tentang hak gugat PHK itu diatur UU Cipta Kerja di Pasal 81 Angka 48 dan Angka 60.

Kerja kontrak

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu kerja untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 81 Angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang adalah payung hukum untuk PKWT.

Dari semula ada delapan ayat dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja memangkasnya menjadi empat ayat dengan sejumlah perubahan substansial di dalamnya.

Substansi yang hilang dari UU Cipta Kerja soal PKWT adalah batas waktu pekerja berstatus kontrak serta ketentuan tentang perpanjangan dan pembaruan kontrak. 

Isi Pasal 59 UU Ketenagakerjaan setelah diubah oleh UU Cipta Kerja adalah:  

Pasal 59

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 
    1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    2. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
    3. pekerjaan yang bersifat musiman;
    4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
    5. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Sebelum diubah, bunyi Pasal 59 UU Ketenagakerjaan adalah: 

Pasal 59

  1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 
    1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    2. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
    3. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
    4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 
  2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
  3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
  4. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua tahun) dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu tahun).
  5. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
  6. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
  7. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
  8. Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

 

Klausul yang kami beri warna latar kuning adalah tambahan dari UU Cipta Kerja untuk UU Ketenagakerjaan.

Adapun klausul dengan warna latar merah adalah yang hilang dari UU Ketenagakerjaan. Lalu, klausul berwarna latar biru adalah yang diubah UU Cipta Kerja.

 

  M E N U  A R T I K E L :