JEO - Tokoh




Wawancara Khusus
Menlu Retno Marsudi

Jumat, 15 Januari 2021 | 16:52 WIB

DIPLOMASI VAKSIN:
 MEMBUKA AKSES,  MERATAKAN JALAN

Tugas diplomat adalah membuka akses, meratakan jalan, untuk akses vaksin bagi pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Ini kisah diplomasi vaksin, langsung dari penuturan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.

VAKSIN. Barang ini bisa jadi adalah penanda untuk penanggalan 2021. Semua negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, berjibaku mendapatkan vaksin.

Covid-19 datang tiba-tiba. Tanpa undangan, tentu saja. Kecepatan penyebaran jadi persoalan utama dari penyakit ini.

Tidak hanya membuat lebih dari 90 juta orang di dunia terinfeksi, Covid-19 hingga 14 Januari 2021 telah menyebabkan 1,95 juta orang meninggal. 

Di Indonesia, angka kasus aktif juga masih terus melonjak, apalagi banyak pelanggaran protokol kesehatan terjadi. 

Hingga 14 Januari 2021, tercatat masih ada 158.395 kasus aktif Covid-19 di Indonesia, dari total 869.600 yang pernah dan masih terinfeksi virus ini. Yang meninggal, tercatat 25.246.

Protokol kesehatan tampak tak punya gigi di bangsa ini. Berkali-kali pembatasan aktivitas sosial dilakukan, angka kasus tak kunjung surut. Yang sudah tertib menjalankan protokol kesehatan pun jadi tetap dibayangi risiko terpapar.

Baca juga: RS Penuh, Jokowi Batasi Jawa Bali

Ekonomi kerap jadi kambing hitam, alasan, dalih, dan kilah untuk melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Pembatasan total tak jadi piilhan langkah sejak awal juga karena pertimbangan ini.

Meskipun, tak tertib menggunakan masker tentu tak nyambung dengan dalih urusan perut dan dapur tetap ngebul itu. Berdesakan-desakan di kafe dan atau tempat wisata, lebih-lebih.

Masalahnya, ekonomi pun tak punya banyak ruang peluang untuk membaik selama masalah kesehatan ini tak kunjung memperlihatkan harapan perbaikan apalagi solusi.

Karenanya, vaksin kini bisa dibilang jadi tumpuan optimisme. Itu juga dengan banyak catatan.

Catatan paling mendasar adalah jumlah minimal populasi tervaksinasi harus tercapai agar vaksin optimal berperan memagari masyarakat dari wabah.

Pertanyaan awal, "Bagaimana cara mendapat vaksin yang mencukupi untuk seluruh anak bangsa?"

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Dimulai!

Diplomasi vaksin

Bicara vaksin, pengadaan adalah tantangan pertama, distribusi jadi yang berikutnya. Ini di luar pro-kontra vaksin dan efektifitasnya membangun antibodi untuk menangkal Covid-19.

Karena Indonesia belum punya kemampuan di dalam negeri untuk memproduksi vaksin Covid-19 yang mencukupi kebutuhan seluruh anak bangsa, pengadaan dari luar negeri jadi pilihan paling masuk akal saat ini. Bukan berarti itu mudah pula. 

Semua negara di dunia pada saat ini sama-sama memburu vaksin.

Semua negara di dunia pada saat ini sama-sama memburu vaksin untuk mengatasi pandemi yang melanda negaranya juga. Produksi vaksin yang sudah dalam kategori menggunakan banyak kelonggaran pun tak serta-merta bisa langsung berlimpah.

Belum lagi, sesuai hukum dasar ekonomi tentang pasokan dan permintaan, vaksin bisa dibilang sebagai "komoditas seksi" sekaligus dicari di hari-hari ini. Uang akan menentukan akses siapa yang paling lebar atas vaksin.

Pertanyaan yang seketika menggelayut di udara adalah, "Apakah setiap negara dan setiap manusia di bumi akan punya akses yang sama atas vaksin Covid-19 apalagi mendapatkannya?"

Di sini, para diplomat Indonesia diuji. Bicara negosiasi lintas negara, merekalah ujung tombaknya. Merekalah para pembuka akses, perata jalan, bagi hadirnya vaksin ke Tanah Air.

Kabar terkini, Retno sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia, terpilih menjadi satu dari tiga co-chair Covax AMC 92, pada Selasa (12/1/2021) waktu Jenewa atau Rabu (13/1/2021) dini hari WIB.

Baca juga: Cerita Menlu Retno Jadi Co-Chairs Covax AMC 92, Dikabari Pukul 02.00 dan Langsung Bekerja

Ini adalah kelompok negara berkembang yang menyatukan langkah memperjuangkan akses kesetaraan vaksin. Dari inisiatif ini, akses vaksin untuk 3-20 persen populasi penduduk negara akan didapat gratis.

Baca juga: Menlu RI Retno Marsudi Jadi Ketua Bersama Covax AMC, Apa Itu?

Upaya lewat Covax AMC adalah jalur multilateral yang menggenapi sejumlah upaya bilateral sejauh ini.

Adapun hasil dari upaya bilateral pun sudah terlihat, mulai dari kehadiran vaksin Sinovac, komitmen dari Novavax dan Astrazeneca, serta yang terbaru adalah komunikasi intensif dengan Pfizer.

Tim JEO Kompas.com dan kanal Global Kompas.com mendapat kesempatan berbincang dan mendengar langsung kisah di balik layar diplomasi vaksin ini dari Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Kamis (14/1/2021) siang.

BUKAN LANGKAH SESAAT...

JANJIAN kilat, eksekusi kilat, pemaparan pun kilat. Itu cerita di balik produksi wawancara khusus dan pembuatan video ini. 

Berbincang lewat dunia maya, Kamis (14/1/2021) siang, Retno muncul di layar lebih awal dari jadwal. Kata-kata pembukanya setelah mengucap salam, "Silakan dimulai, saya sudah siap."

Pembicaraan pun lalu berlangsung dengan tempo berderap. Padat dan cepat. 

Di akhir wawancara, Retno yang kemudian berujar sendiri bahwa diskusi kami teramat dalam bahasannya. Untunglah, sembari tertawa dia mengatakan itu.

Ada bagian lain wawancara dengan Retno yang akan kami sajikan sesegera mungkin pula, dalam artikel terpisah. Masih rahasia, isinya.

Artikel ini sepenuhnya membahas tentang diplomasi vaksin, upaya-upaya yang dilakukan para diplomat untuk berkontribusi membantu Indonesia mendapatkan vaksin Covid-19.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Retno Marsudi (@retno_marsudi)

 

 

Berikut ini adalah petikan lengkap wawancara khusus dengan Retno tentang diplomasi vaksin, dalam format sajian tanya jawab:

Di awal, kita sempat ragu bisa mendapatkan pasokan vaksin, karena politik vaksin cukup kompleks dan complicated. Boleh bercerita proses di belakang layar sehingga kita pada hari ini mendapatkan sejumlah komitmen untuk pengadaan vaksin ini, Bu?

Masuk 2021, saya bicara dengan tim saya. Kita rasanya seperti awal 2020. Hanya tantangannya agak berbeda.

Baru sekali ini kami mengevakuasi warga negara kita dari sebuah wilayah yang lockdown karena virus.

In term sense of emergency-nya kami sudah rasakan (di awal 2020). Bahkan, di Kementerian Luar Negeri itu (sudah terasa) di Januari-Februari (2020), karena kami sudah mulai evakuasi para mahasiswa kita terutama dari Wuhan.

(Evakuasi) itu merupakan sebuah exercise yang cukup rumit. Baru sekali ini kami mengevakuasi warga negara kita dari sebuah wilayah yang lockdown karena virus.

Kalau mengevakuasi warga negara dari wilayah konflik, itu sudah beberapa kali kami lakukan. 

Dan, virus ini—katakanlah sekarang sudah masuk satu tahun—kan tetap merupakan barang yang baru. Pemahaman kita, pemahaman dunia, terhadap virus itu—sebetulnya apa, mutasinya seperti apa, cara pengendaliannya seperti apa—tidak bisa atau belum bisa dikatakan sudah sempurna. Dari waktu ke waktu selalu berubah.

Karena itu, kecepatan meng-adjust perubahan itu tentunya merupakan syarat utama agar kita betul-betul atau berupaya seoptimal mungkin dapat merespons dinamika yang ada.

Nah, karena sifat emergency itulah maka sejak pertama Indonesia diketahui (ada kasus positif Covid-19), kami sudah mulai bergerak.

Karena kami tahu ini akan jadi masalah besar—tidak hanya bagi Indonesia tetapi (juga) bagi dunia—, kami bergerak cepat.

Bergerak cepatnya pada saat itu kami sudah sadar bahwa kita perlu alat-alat diagnostic, yang pada saat itu hampir semua negara kekurangan.

Dan saya masih ingat, tiap hari kami saling telepon (dengan) para menteri luar negeri (negara lain) hanya untuk mengecek, "Kamu punya kelebihan?", "Kamu punya (atau) enggak?", "Kamu bisa share atau enggak?", dan sebagainya.

(Yang seperti) itu berlaku tidak hanya untuk diagnostic tetapi untuk therapeutic-nya.

Karena ini adalah virus baru, penyakit baru, theurapatic-nya, obatnya kan belum ada yang betul-betul obat untuk Covid.

Teamwork menjadi jawaban dari upaya kita ini.

Oleh karena itu para ahli berusaha untuk mencoba kira-kira obat yang sejenis yang dapat diberikan untuk penderita Covid itu apa. Nah itulah yang kemudian kami kejar.

Terus, mengenai masalah vaksin, kami bergerak juga cepat. Di awal kami berusaha untuk menjalin komunikasi dengan banyak pihak.

Dari banyak pihak, itu ada yang merespons cepat, ada yang belum merespons saat itu. (Dari) yang merespons cepat, kami kemudian komunikasi lebih intensif.

Tentunya, sekali lagi, pada saat bicara mengenai substansi keilmuannya, diplomat pasti tidak paham, karena kami memang bukan ahli dari vaksin itu. Oleh karena itu teamwork menjadi jawaban dari upaya kita ini.

Kami tanya apakah (vaksin) dengan platform begini-begini akan bisa (digunakan di Indonesia) dan sebagainya dan sebagainya.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Sekretariat Kabinet (@sekretariat.kabinet)

Tugas para diplomat adalah membuka akses, meratakan jalan, agar kita dapat akses pembicaraan, akses komitmen terhadap vaksin-vaksin, pengembang vaksin, yang kita hubungi.

Tugas para diplomat adalah membuka akses, meratakan jalan, agar kita dapat akses pembicaraan, akses komitmen terhadap vaksin-vaksin, pengembang vaksin, yang kita hubungi.

Nah, alhamdulillah, dari sejak awal sebenarnya,—saya ingat, waktu saya berkunjung ke Hainan, kemudian ke Abu Dhabi, tidak lama kemudian saya ke London, (berlanjut) saya ke Jenewa—, itu adalah dalam rangka untuk men-seal komitmen-komitmen yang selama ini kita sudah bahas secara intensif.

Kemudian dinamika terjadi terus. Akhirnya, kalau per titik ini yang dapat saya sampaikan adalah, selain Sinovac kita sudah dapat mengamankan komitmen dari Astrazeneca, kita juga dapat mengamankan komitmen dari Novavax, plus kita sedang menjalin komunikasi dengan Pfizer.

Pfizer ini komunikasi kita sekarang intensif, Pak Menkes yang terus dari waktu ke waktu bicara, karena memang ada kekhususan infrastruktur yang diperlukan. Karena cold chain-nya (untuk vaksin dari Pfizer) itu minus 70 derajat celcius, dan sebagainya.

Jadi pada saat kami bicara dengan para pengembang itu kami juga langsung merefleksikan kesiapannya di dalam (negeri). "Ini kita siap enggak dengan kalau kita memilih platform yang seperti ini?" Tentunya kita hubungkan juga dengan elemen kemanfaatan dan macam-macam.

(Komitmen vaksin dari) Sinovac, Novavax, kemudian Astrazeneca, (kemudian kita) sekarang jalin (komunikasi) dengan Pfizer, ini yang dari bilateral. Sementara itu, ada yang kita bahas juga di multilateral. Jadi track-nya dua, (yaitu) track bilateral, track multilateral.

Di (pendekatan) multilateral itulah maka saya ke Jenewa. Saya ketemu dengan CEO Gavi, saya ketemu Dirjen WHO, dan sebagainya, adalah untuk memastikan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang dapat memperoleh akses vaksin dari track multilateral.

Covax AMC 92 adalah 92 negara berpenghasilan menengah dan bawah, negara berkambang, yang secara khusus ingin dijamin kesetaraan aksesnya terhadap vaksin.

Dari waktu ke waktu kami melakukan komunikasi yang intensif, yang akhirnya kita masuk dalam kelompok yang dinamamakan AMC Covax 92. (AMC 92 kependekan dari) Advance Market Commitment 92.

Intinya, ini adalah 92 negara berpenghasilan menengah dan bawah, negara berkambang, yang secara khusus ingin dijamin kesetaraan aksesnya terhadap vaksin. Indonesia masuk ke situ.

Jadi harapan kita adalah, dengan (Indonesia) masuk di Covax AMC 92, kita akan mendapatkan akses vaksin, range-nya adalah 3-20 persen dari populasi kita.

Tentunya, apakah kita akan mendapat (alokasi vaksin untuk) 3,5, sampai 20 (persen populasi), akan sangat tergantung dari kesediaan vaksin yang dikumpulkan melalui track multilateral ini.

Tetapi, di titik sekarang saya melihat tampaknya perkembagnannya cukup bagus. Yang dapat saya yakini, kita—semua negara AMC 92—tidak hanya akan dapat (alokasi vaksin untuk) 3 persen (populasi) tetapi sudah pasti lebih dari itu.

Cuma, di awal-awal pastinya ketersediaannya kan masih terbatas maka penerimaannya pun secara gradual.

Dari range alokasi vaksin untuk 3-20 persen populasi, sudah pasti dapat tiga persen untuk the worst scenario?

Inggih, insyaAllah. InsyaAllah, dapat.

Mekanisme pengadaan vaksin ini seperti apa? Bagaimana memastikan seal alokasi ini memastikan kita benar-benar mendapatkannya? 

Tugas kami itu kan membuka jalan, meratakan aksesnya. Setelah itu pasti akan ada pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya lebih teknis, termasuk masalah harga.

Nah, di situ kami enggak (terlibat langsung), karena kan kita bagi tugas. Namanya juga teamwork kan.

Karena kita masuk kelompok AMC 92, kita mendapatkan vaksin gratis dari track multilateral.

Kami juga tidak boleh pretend untuk tahu semuanya, terlibat semuanya juga tidak. (Namun), ada bagian yang kami bisa terlibat, berkontribusi banyak, (dan) di situlah yang kami tebalkan (peran).

Khusus untuk yang multilateral, karena kita masuk kelompok AMC 92, vaksin yang kita peroleh tidak berbea. Kita mendapatkan vaksin gratis dari track multilateral.

Kenapa gratis? Karena ini ada negara-negara donor, ada pembiayaan-pembiayaan yang dilakukan oleh pihak lain, agar—sekali lagi—semua negara dapat memperoleh kesetaraan akses terhadap vaksin.

Dengan pemahaman, kita semua paham dari sejak awal, kalau kita tidak bekerja sama, kita tidak menunjukkan solidaritas terhadap semuanya, maka pandemi ini akan panjang selesainya.

Oleh karena itu kalau kita mau selesai cepat, masing-masing negara harus dapat mengatasi pandeminya, sehingga kalau dikumpulkan kita more or less akan sama selesainya.

Oleh karena itulah maka AMC 92 ingin dipastikan mendapatkan kesetaraan akses terhadap vaksin melalui Covax facility.

Soal meratakan jalan, adakah peluang selain mengandalkan pemerintah untuk pengadaan vaksin Covid-19? Ada atau enggak kemungkinan bagi pihak lain untuk melakukan pengadaan mandiri tetapi menggunakan jalan yang sudah diratakan Kemenlu?

Itu otoritasnya di Pak Menkes, nggih. Karena otoritasnya di pak Menkes, aku tak berani jawab.

Tapi kemungkinan itu saya kira terbuka. Cuma how dan when-nya saya tidak bisa menjawab karena itu otoritasnya ada di Pak Menteri Kesehatan.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Retno Marsudi (@retno_marsudi)

Ada atau tidak pembahasan tentang kemungkinan jalur mandiri pengadaan vaksin melalui perantaraaan Kemenlu?

Dibahas. Tapi sekali lagi saya tidak memiliki otoritas untuk menyampaikannya, karena ada menteri yang memiliki full otoritas (untuk itu).

Aku sangat disiplin dalam hal ini. Dalam artian kalau itu bukan bidangku, lebih baik yang memiliki otoritas yang menjawab. Tapi kalau bidangku, aku akan jawab sebanyak yang aku dapat jawab.

Nyuwun sewu, nyuwun sewu…

Baca juga: Menkes Buka Opsi Vaksin Covid-19 Mandiri, Diberikan bagi Perusahaan untuk Karyawan

Adakah cerita seru atau menantang dari diplomasi vaksin ini? Ini kan tetap sesuatu yang extra ordinary sekalipun bagi Kemenlu, karena diplomasi sampai menjangkau hal teknis dan sangat intens begini?

Iya, kalau dilihat nggih di awal-awal.

Kalau kita bicara core business Kementerian Luar Negeri, core business para diplomat (adalah) politik luar negeri. (Itu) kan lebih banyak terkait masalah perdamaian.

Tentunya, dengan bergeraknya waktu maka elemen diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan WNI, diplomasi perbatasan, off course, jadi prioritas-prioritas utama politik luar negeri Indonesia.

Itu kami sudah set pada saat pemerintahan yang  pertama, kami set untuk lima tahun. Kemudian yang kedua juga kami set lima tahun.

Nah, Oktober 2019 mulai pemerintahan baru. Kami sudah ngeset, OK lima tahun ke depan kita akan seperti apa.

Tiba-tiba di Januari 2020 mulailah terjadi virus Covid-19 (di China). Di titik itulah kemudian saya dan tim duduk.

Saya sampaikan bahwa mau tidak mau kita harus refocusing prioritas. Karena kalau kita tidak refocusing maka—satu—kita pasti tidak bisa berkontribusi.

Kan diplomasi harus berkontribusi kepada apa yang sedang diupayakan oleh pemerintah, kepentingan dalam negeri kita, which is kepentingan semua negara sekarang adalah menangani pandemi ini baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi dampak sosial ekonominya.

Oleh karena itu, salah satu refocusing prioritas (Kementerian Luar Negeri) adalah membantu pemerintah dalam penanganan pandemi. Pilarnya dua, (yaitu) kesehatan dan dampak sosial ekonominya.

Dan, semua diplomat kita—aku punya satu tim khusus—, dari waktu ke waktu belajar banyak mengenai urusan vaksin, mengenai urusan virus itu sendiri, dan sebagainya.

Bukan berarti kami mau menjadi ahlinya, tetapi ini sudah menjadi—paling tidak satu tahun ini—bagian tugas kami. Jadi, pemahaman itu akan mempermudah kami untuk bicara dengan pihak lain.

Karena, sekarang kalau bicara dengan siapa pun di dunia ini pasti mereka bicara tentang Covid-19.

Maka, dari sejak awal kitakami berkontribusi—tidak hanya (dalam pengadaan) vaksin tetapi (juga) pada saat kita perlu perlatan diagonistic—di situ rekam jejak diplomasi Indonesia kelihatan sekali. Bold, tebal sekali. Begitu juga dengan pada saat kita memerlukan obat-obatan. Plus sekarang adalah vaksin.

Terkait amanat baru sebagai Co-chair AMC 92, apa langkah strategis dan tantangannya? Apa pula kepentingan Indonesia dengan itu?

Alhamdulillah, dalam pemilihan kemarin, cochair untuk Covac AMG Engagement Grorup, Menlu Indonesia memperoleh suara paling banyak. (Sebanyak) 41 persen suara yang masuk itu diperoleh oleh Indonesia.

 
 
 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Retno Marsudi (@retno_marsudi)

Buat kita, ini sebuah kepercayaan dunia, terutama kepercayaan dari negara-negara berkembang, negara anggota AMC 92, kepada Indonesia.

Pada saat kita—untuk tataran dunia—bicara mengenai kepercayaan maka nilainya tidak bisa dihitung dengan uang. (Itu) satu, kepercayaan.

Yang kedua, setelah kepercayaan, then what? Pastinya adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan.

Kita berjuang untuk kita, sekaligus kita berjuang untuk negara-negara berkembang.

Oleh karena itu,  tanggung jawab yang harus ditunaikan Indonesia—memegang co-chairing untuk Covax AMC Engagement Group ini—adalah memastikan negara-negara berkembang mendapatkan kesetaraan akses terhadap vaksin. Itu prinsip.

Jadi, kita berjuang untuk kita, sekaligus kita berjuang untuk negara-negara berkembang. Di situlah yang saya sebutkan bahwa kepemimpinan Indonesia di dunia akan dilihat. Apakah kita akan mampu, selain memperjuangkan diri sendiri, memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang?

Karena, sekali lagi tadi saya sampaikan, pandemi ini hanya dapat diatasi dengan kerja sama dan solidaritas. Dan, Indonesia akan menunjukkan kerja sama dan solidaritasnya terhadap negara berkembang melalui posisi Indonesia sebagai Co-chair (Covax AMC 92).

Pada saat kesetaraan vaksin sudah, pertanyaan berikutnya adalah, "Dapat (alokasi) berapa persen sih dari penduduk? Kapan sih? Jenisnya apa sih? Apakah negara-negara berkembang itu sudah siap infrastrukturnya?"

(Pertanyaan-pertanyaan) itu termasuk tanggung jawab yang akan dibahas di dalam pertemuan-pertemuan yang saya akan menjadi salah satu co-chair nya.

Co-chair (Covax AMC 92) itu ada tiga. Satu, co-chair dari Kanada, itu dia mewakili negara maju. Yang dua, Indonesia dan Ethiopia, mewakili negara berkembang. Kemudian, kita tergabung dalam Covax AMC Engagement Group.

Jadi selain memperjuangkan kepentingan negara berkembang, tentunya kita perlu menjalin komunikasi dengan negara2 maju.

Tantangannya terbesarnya apa? Negara maju itu kan punya uang dan produsen vaksin? Apa yang diantisipasi dari situasi ini?

Satu, tantangannya adalah pada saat kita bicara mengenai kesetaraan akses. Berarti kan jumlah vaksin dulu. Jumlahnya apakah mencukupi untuk dunia.

Nah, kita lihat memang tidak semua pengembang datang dari negara maju. Kalau kita bicara mengenai masalah Covax ACT Accelerator atau kita bicara mengenai masalah Covax lah, di situ kan merupakan gabungan tidak hanya dari negara tetapi juga ada manufacturer, kemudian periset, dan sebagainya, dan sebagainya.

Yang ingin kita pastikan (adalah) apakah jumlah vaksin cukup untuk semua negara dunia, dan (yang itu) sebagian pengembangnya datang dari negara maju. Itu satu.

Yang kedua, karena AMC 92 ini akan mendapatkan vaksin secara gratis berarti diperlukan sebuah mekanisme pendanaan yang dapat meng-cover. Di situlah kita bicara dengan negara maju dan institusi-institusi keuangan dunia.

Yang ketiga, kita juga bicara dengan mereka dalam konteks kesiapan negara berkembang ini dalam menerima vaksin. Sekali lagi, tadi saya bicara mengenai masalah infrastruktur.

Kemungkinan (tanggapan atau jawaban) di dalam pembicaraan itu saya belum tahu karena ini pekerjaannya belum mulai, tapi saya antisipasi. Isu mengenai masalah kesiapan infrastruktur dapat ktia sampaikan juga dalam pertemuan-pertemuan Covax AMC Engangement Group.

Saya tadi lupa menambahkan manfaatnya bagi Indonesia (dari posisi di Covax AMC 92).

Dengan kita di situ maka kita tahu persis dinamika tantangan kemungkinan solusi dunia akan seperti apa. Nah, dengan memperoleh perspektif itu maka (itu) akan sangat berguna untuk kita gunakan di dalam negeri kita.

Itu tambahan dari apa yang saya sampaikan. Dalam sekali ini diskusinya.

Wah, tidak banyak yang tahu sedalam dan intens ini kontribusi Kemenlu di pengadaan vaksin...

Tapi memang serius sih (kerja di Kemenlu)… 

Mengenai pemilihan saya (jadi) co-chair (Covax AMC 92), pengumuman itu kan masuk pukul 02.00 WIB dini hari, tanggal 13 (Januari 2021). Tik! Masuk pengumuman, dengan persentasenya, bahwa oh iya sudah kepilih dengan suara terbanyak.

Itu enggak (lalu) “OK" terus tidur atau "Waa, sudah kepilih" terus tidur. Tidak. Langsung (menindaklanjuti dengan) hubungi PTRI Jenewa. Karena mereka kan masih malam (tapi) belum terlalu malam. Jadi saya sudah komunikasi. OK. So, next, kita harus 1, 2, 3, da da da..

Terus, dari situ saya sudah mulai nge-forward semua kepada tim Jakarta. Dah, mulai.

Teman-teman sebagian jam 02.00 WIB tidur lah ya, wong jam 02.00 malam (dini hari). Tapi, jam 04.00 WIB, timku yang paling dekat, sudah mulai ngerespons. Wah, ini jam 04.00 WIB sudah mulai ngrespons, all the way seharian.

Jadi itu ya hidup kami ya begitu itu.

Padahal banyak yang hanya tahu diplomat itu serius-serius, tampilannya keren...

Pakai jas ya? Padahal di balik itu, woaaa… seru banget!

Rata-rata tidur berapa jam?

Penginnya paling sedikit enam jam. Tapi yang khusus tanggal 12 (Januari 2021) menuju ke 13 (Januari 2021) itu nyaris tidak tidur karena menunggu perhitungan (suara dukungan untuk posisi co-chair Covax AMC 92).

Tapi, selama ada krisis, (seperti) waktu (evakuasi WNI dari) Wuhan itu, juga itu betul-betul malam yang panjang sekali, karena kami pantau terus (proses evakuasinya).

Waktu kami evakuasi misalnya warga negara kita dari Yaman, itu juga (jadi malam panjang).

Banyak sekalilah malam-malam (kami) yang dilalui dengan seperti itu. Itu banyak sekali.

Tapi sekali lagi, it’s part of my job. So, (itu) harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya.