SERI CERITA DATA COVID-19
Laju penambahan kasus Covid-19 di Jawa Timur melampaui Jakarta. Bahkan, sejak 26 Juni 2020, total kasus positif Covid-19 di Jawa Timur sudah melampaui Ibu Kota.
Sudah begitu, proporsi pasien yang masih menjalani perawatan, sembuh, dan meninggal tampak berkebalikan dengan pola di DKI yang sejak awal telak terhantam pandemi ini.
Ini cerita data Covid-19 untuk Jawa Timur, dengan rujukan data hingga 2 Juli 2020....
MIMPI apa orang Jawa Timur, dalam hitungan hari provinsinya jadi sorotan nasional. Bukan karena torehan prestasi pula.
Tak kurang dari Presiden Joko Widodo pun menyebut provinsi ini sebagai salah satu yang butuh perhatian banget.
Dalam hitungan hari, kasus Covid-19 di Jawa Timur melonjak tajam. Seolah ada yang terlewat oleh provinsi ini ketika Ibu Kota, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berjibaku mencegat penyebaran dan menangani pandemi.
Pada bulan pertama—Maret 2020—kasus Covid-19 dinyatakan ada di Indonesia, Jawa Timur hanya mencatatkan 93 kasus positif Covid-19. Bandingkan dengan DKI yang pada akhir bulan yang sama sudah didera 747 kasus positif Covid-19.
Waktu itu, Jawa Tengah juga mencatatkan data yang persis dengan Jawa Timur, 93 kasus positif Covid-19. Namun, lihat kemudian perjalanan data dua provinsi berdempetan wilayah tersebut.
Bukan berarti Jawa Tengah tak ada catatan juga. Belakangan, angka kasus Jawa Tengah pun telah melampauai Jawa Barat. Namun, ini cerita di lain halaman. JEO ini akan bercerita dulu tentang data Covid-19 di Jawa Timur.
Akhir April 2020, total kasus positif Covid-19 di Jawa Timur sudah melampaui Jawa Tengah, meski masih lebih sedikit dibanding Jawa Barat apalagi DKI. Waktu itu, DKI sudah 4.175 dan Jawa Timur "masih" 958.
Lanjut, akhir Mei 2020, Jawa Timur tinggal "kalah" jumlah kasus positif Covid-19 dibanding DKI Jakarta. Pada 10 Mei 2020, angka kasus Jawa Timur melewati Jawa Barat. Sorotan sudah mulai menatap provinsi ini.
Sudah begitu, lonjakan berikutnya tak terbendung. Pada 10 Mei 2020, akumulasi kasus positif Jawa Timur adalah 1.502 sementara DKI 5.190. Lalu, pada 31 Mei 2020, ada 4.857 kasus saat di DKI ada 7.348 kasus.
Jarak akumulasi kasus positif di Jawa Timur dan DKI terus menipis. Bahkan, sejak 11 Juni 2020 pasien Covid-19 yang meninggal di Jawa Timur sudah melebihi DKI, saat jumlah kasus di dua provinsi ini masih berselisih lebih dari 1.500.
Ini adalah alasan cerita tentang Jawa Timur lebih dahulu muncul di serial ini dibanding DKI dan provinsi lain....
Sejumlah kawan mengingatkan, data hanya kumpulan mati sejumlah fakta dan angka. Data butuh pengolahan lanjut untuk bisa punya makna apalagi jika diharapkan berguna untuk perbaikan dan kebaikan esok hari.
Untuk itu pun, data yang hanya dibaca terputus-putus untuk informasi harian sejatinya juga bak suara kosong.
"Tren data, perubahan data dari hari ke hari dalam rentang tertentu, itu yang harus dibaca, diolah, dimaknai, dan disikapi," kata sang kawan yang kesehariannya berjibaku dengan analisis data.
Ini masih belum bicara tentang kualitas data dan kecukupan data. Yang ada dulu sajalah coba kita baca bersama.
Biar data bicara. Biar tak cuma kata wani alias berani yang kita miliki sebagai bekal menghadapi pandemi Covid-19 ini....
DATA yang kami sajikan ini menggunakan rentang waktu 10 April 2020 hingga 2 Juli 2020.
Sebenarnya pilihan rentang waktu ini lebih untuk konsistensi data. Karena, 10 April 2020 merupakan hari pertama pemerintah menyatakan semua provinsi di Indonesia telah mencatatkan kasus positif Covid-19.
Namun, cerita perjalanan kasus Covid-19 di Indonesia sejak pertama kali dinyatakan ada oleh pemerintah hingga meluas ke 34 provinsi ini pernah pula muncul di JEO. Klik di sini untuk menuju artikel dimaksud.
Di artikel tersebut tersedia pula kronologi pengungkapan data oleh pemerintah. Seperti, kali pertama pemerintah menyebutkan kasus positif Covid-19, penyebutan lokasi kasus secara rinci per provinsi dimulai, dan pengungkapan terbuka tabulasi data per provinsi.
Contoh-contoh kerancuan data muncul pula di dalamnya.
Oh, iya, bicara soal kerancuan data, JEO ini dan seluruh tulisan dalam Seri Cerita Data Covid-19 menggunakan data harian sesuai hari pembacaan. Ada apa?
Tabulasi pemerintah per hari menyajikan dua seri data di dalamnya, yaitu data untuk hari pembacaan dan sehari sebelumnya. Nah, di situ sering terjadi perbedaan data, untuk data sehari sebelumnya.
Misal, sekarang adalah 3 Juli 2020. Di tabel akan muncul data untuk 2 Juli 2020 dan 3 Juli 2020. Ada banyak kali, data 2 Juli 2020 yang tercantum di tabel lansiran 3 Juli 2020 akan berbeda dengan yang ada di tabel dan dibacakan pada 2 Juli 2020.
Ini contohnya dalam visualisasi. Geser-geser saja garis melintang di tengah untuk bergantian melihat gambar pertama dan kedua.
Lalu, cek data akumulasi kasus positif Covid-19 di DKI untuk 2 Juli 2020 pada masing-masing laporan:
Pada laporan tertanggal 2 Juli 2020, angka kumulatif kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta tertulis 11.823. Lalu, pada laporan tertanggal 3 Juli 2020, tertera 11.821 untuk kumulatif kasus positif sampai dengan 2 Juli 2020.
Perbedaan seperti ini tidak hanya pernah terjadi untuk kasus DKI Jakarta. Karena itu, sekali lagi, dalam penyusunan aneka visualisasi data di JEO, yang kami pakai adalah angka pada hari laporan dan atau pengumuman disampaikan.
Nah, sebenarnya bagaimana perjalanan dan kondisi terkini kasus Covid-19 di Jawa Timur? Sekali lagi, ini dalam konteks tren data.
Jangan ruwet dulu melihatnya. Karena ini interaktif, klik sesuai navigasi yang tersedia, untuk menghilangkan sementara data yang tak ingin dilihat atau sebaliknya memunculkan data sesuai yang dikehendaki, baik satuan maupun kelompok data.
Sebagai pembanding, berturut-turut adalah visualisasi data untuk kasus di seluruh Indonesia dan DKI Jakarta:
Biar sama-sama enak, visualisasi yang berikut ini akan memperlihatkan pergerakan data untuk akumulasi kasus positif dari hari ke hari di semua provinsi di Indonesia. Karena, lonjakan data juga terjadi di banyak provinsi meski skala angka berbeda.
Ikuti petunjuk navigasi di dalam visualisasi data ya....
Cek juga posisi akumulasi kasus dan proporsi kasus per provinsi di sini:
SEBAGIAN besar kasus Covid-19 di Jawa Timur berada di Kota Surabaya. Setidaknya, ini data yang bicara hingga 2 Juli 2020 seperti dalam visualisasi berikut:
Pertanyaannya, ada apa dengan Jawa Timur? Mengapa lonjakan datanya bahkan melebihi kecepatan laju pertambahan kasus di DKI Jakarta?
Dikutip dari Surya, anggota Tim Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur, Makhyan Jibril Al Farabi mengungkapkan sejumlah penyebab lonjakan data kasus ini.
Alasan pertama, sebut dia, tes yang digelar masif oleh pemerintah kabupaten kota di Jawa Timur. Kedua, kecepatan penyebaran infeksi virus (transmission rate) yang tinggi. Ketiga, angka kasus baru dalam sehari yang juga tinggi.
Khusus penyebab kedua, angkanya njomplang antara Surabaya dan kabupaten kota lain di Jawa Timur. Saat artikel itu tayang pada 23 Juni 2020, laju infeksi di Surabaya tercatat 1,4 sementara keseluruhan Jawa Timur adalah 1,.
Artinya, dalam kurun 5-10 hari, 10 orang positif Covid-19 di Surabaya telah menulari 14 orang, dan 10 orang positif Covid-19 di Jawa Timur telah menulari 10 orang lain.
Wajar juga kalau kemudian dibilang ada attack rate di sini masih tinggi hingga bulan berganti. Ini adalah istilah yang mereka pakai untuk menyebut tambahan kasus baru positif Covid-19 dalam sehari.
Meski begitu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendaku tingkat pemulihan pasien Covid-19 di provinsinya tertinggi di Indonesia.
Setidaknya ini dia bilang pada 26 Juni 2020, tepat pada hari ketika akumulasi kasus positif Covid-19 di provinsi ini melampaui DKI.
Sebelumnya, Khofifah juga mengaku kepada Presiden Joko Widodo bahwa dia dan jajarannya sempat lega bahkan bahagia dengan data kasus Covid-19 di provinsinya. Angka penularan disebut bertahan di bawah 1,00 selama beberapa hari.
Dengan dasar itu, Jawa Timur berkeyakinan tidak melanjutkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terutama untuk wilayah Surabaya Raya yang berakhir pada 8 Juni 2020.
Yang terjadi, lonjakan kasus Covid-19 di Jawa Timur seolah tak terbendung, bahkan sebelum PSBB di Surabaya Raya itu dicabut sebagaimana sejumlah gambaran data yang sudah lebih dulu ada di artikel ini.
Khofifah pun sempat menyitir hasil survei Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga. Waktu itu, hasil survei mendapati masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan.
Namun, survei terbaru dari Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) bersama Ikatan Alumni FKM Universitas Airlangga menyebut sudah ada sejumlah perbaikan perilaku masyarakat.
Penggunaan masker, misalnya, disebut sudah membaik. Meskipun, ketidakpatuhan memakai masker di pasar tradisional ternyata juga masih di atas 50 persen.
Pengecekan suhu disebut juga sudah jamak dilakukan di jenis-jenis kegiatan yang diizinkan untuk beroperasi. Namun, lagi-lagi, di area yang terkait aktivitas massal, angka ketidakpatuhan masih di atas 50 persen.
Pola serupa—perbaikan tetapi untuk yang ini dan itu masih di atas 50 persen—didapati pula untuk tingkat kepatuhan atas larangan berkerumun. Berikut ini tautan hasil survei dimaksud:
Rilis : Survei Evaluasi Penerapan Tatanan Normal Baru Kota Surabaya (@persakmi_id & @ikafkmunair )
— PERSAKMI (@persakmi_id) July 3, 2020
Periode : 24-27 Juni 2020@KompasTV @kompascom @e100ss @TVRINasional @RadioElshinta @CNNIndonesia @detikcom @SINDOnews @jawapos @jokowi @KemenkesRI @kemenkopmk @Unair_Official pic.twitter.com/1O8Gz0ySJg
Merujuk data tersebut, terasa kosong gema kata wani untuk menghadapi Covid-19 yang bahkan jadi nama gerakan untuk menjaga lingkungan berbasis RW di Kota Surabaya, bukan?
Karena berani—arti kata wani dalam bahasa Indonesia—jelas jauh berbeda dengan nekat, tidak peduli, tidak mau mempelajari pengetahuan sesuai situasi terkini, apalagi tidak memikirkan keselamatan sanak keluarga, tetangga, dan setiap manusia, bukan?
Tantangan dari Presiden Joko Widodo bagi Jawa Timur untuk menurunkan angka kasus Covid-19 di wilayah ini dalam waktu dua pekan pun pada akhirnya bukan untuk Khofifah dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Seperti dalam wawancara khusus Kompas TV di atas, Risma berkeyakinan bukan warga kotanya yang tidak patuh menjalankan protokol Covid-19.
Nah, kalau sudah ada pernyataan yang serba beda juga—tak hanya data di atas kertas—maka yang bisa diukur kemudian adalah hasil dan perkembangan fakta di lapangan.
Bisakah laju pertambahan kasus baru Covid-19 di Kota Surabaya yang mewakili separuh data kasus Covid-19 di Jawa Timur segera melambat bahkan berhenti? Bisakah data Covid-19 di Jawa Timur segera mengabarkan kabar baik yang itu juga bukan semata laporan?
Beneran wani?