JEO - Cerita Data

Menilik Isu ‘Covid-19 Naik Menjelang Bulan Ramadhan…’

Kamis, 17 Februari 2022 | 08:32 WIB

MENJELANG bulan ramadhan, kasus Covid-19 melonjak. Begitu narasi yang beredar di media sosial pada awal gelombang ketiga Covid-19 di Indonesia, Januari 2022 lalu.

Narasi serupa masih sering kita jumpai di media sosial hingga hari ini.

Bentuk kalimatnya memang tidak sama persis. Ada yang membumbuinya dengan membandingkan kasus Covid-19 saat ini dengan momentum hari raya umat agama lain.

Tak sedikit pula yang yakin bahwa melonjaknya kasus Covid-19 ini bertujuan menghambat aktivitas mudik jelang Lebaran nanti.

Tetapi pada intinya sama. Mereka seperti-entah sedang mempropagandakan sesuatu, atau hanya sebatas mempercayai-bahwa melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal tahun, seolah-olah disengaja.

Oleh siapa? Tanya ke mereka yang menyebarkan narasi itu.

Tim JEO Kompas.com menangkap narasi yang bertebaran di media sosial ini dan turut merasakan kegelisahan yang sama.

Kami kemudian memeriksa data perkembangan kasus Covid-19 sejak awal pandemi hingga hari ini.

Sumber data berasal dari institusi yang terpercaya, yakni situs resmi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Kementerian Kesehatan.

Lantas, apakah benar kasus Covid-19 di Indonesia selalu naik menjelang bulan ramadhan?

Ternyata Hoaks!

Dari hasil penelusuran, narasi bahwa kasus Covid-19 melonjak setiap menjelang bulan ramadhan rupanya salah total.

 

Data menunjukkan, kasus Covid-19 justru selalu melonjak beberapa pekan setelah momentum hari libur nasional, bukan sebelum hari libur nasional di mana momentum hari raya keagamaan adalah salah satunya.

Adapun momentum hari libur nasional yang diikuti kenaikan kasus Covid-19 yakni:

Agar lebih jelas, mari kita simak data-datanya di bawah ini.

 

Bulan puasa dan Idul Fitri 2020

Di Jakarta, merujuk situs resmi corona.jakarta.go.id, penambahan kasus Covid-19 menjelang bulan puasa yang dimulai 23 April 2020 hingga Idul Fitri berada di kisaran 70 hingga 180 kasus per hari

Penambahan kasus Covid-19 baru merangkak naik beberapa hari setelah perayaan Idul Fitri. Puncak kasus terjadi 9 Juni 2020 atau sekitar dua pekan setelah Lebaran, yakni 239 kasus

Setelah tanggal tersebut, angka kasus Covid-19 di Ibu Kota kembali melandai dan fluktuatif.

Baca juga: Kilas Balik Kronologi Munculnya Kasus Pertama Covid-19 di Indonesia

Sementara di tingkat nasional, kasus harian Covid-19 tercatat naik pada pekan kedua setelah libur Lebaran 2020. Penambahan kasus yang sebelumnya berkisar di angka 400-an hingga 600-an naik menjadi 700-an kasus per hari.

Pada 9 Juni 2020, angka kasus harian bahkan melebihi 1.000, tepatnya 1.043, dan naik lagi menjadi 1.241 keesokan harinya.

Padahal, saat itu pemerintah telah memberlakukan larangan mudik. Tetapi, faktanya mobilitas tak terhindarkan sehingga penularan pun semakin banyak. 

 

Libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021

Pada Desember 2020 hingga awal Januari 2021, penambahan kasus Covid-19 di DKI Jakarta berada di kisaran 1.800 hingga 2.000 kasus per hari. 

Meski demikian, umat Kristiani tetap tidak diperbolehkan untuk merayakan Natal bersama di gereja. Mayoritas dari mereka mengikuti imbauan pemerintah beribadah secara virtual. 

Begitu pula pada momen tahun baru. Aparat Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya melarang adanya kerumunan di pusat kota untuk meminimalisasi penularan virus. 

Baca juga: Natal di Tengah Pandemi, PGI Imbau Umat Kristiani Ibadah Virtual

Tetapi, mobilitas yang tetap tak terbendung mengakibatkan penambahan kasus Covid-19 pada 8 Januari 2021, yakni mencapai 2.959 kasus dan terus merangkak naik hingga mencapai 3.792 kasus pada 22 Januari 2021 atau tiga pekan setelah tahun baru. 

Sejalan dengan lonjakan kasus Covid-19 di Ibu Kota, angka kasus harian Covid-19 tingkat nasional juga melonjak pada periode tiga pekan setelah libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.

Pada 2 Januari 2021, jumlah pasien yang terdeteksi Covid-19 sebanyak 7.203 orang. Sementara itu, puncaknya terjadi pada 16 Januari 2021 dengan angka penambahan 14.224 kasus, tertinggi selama pandemi.

 

Bulan puasa dan Idul Fitri 2021

Setelah periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, lonjakan kasus Covid-19 kembali terjadi setelah libur Idul Fitri 2021.

Sebelum terjadi lonjakan, kasus harian Covid-19 menjelang bulan puasa sampai beberapa hari setelah Lebaran di DKI Jakarta berkisar di angka 600-1.300.

Bahkan, tiga hari setelah Lebaran, tepatnya 16 Mei 2021, kasus baru Covid-19 di Ibu Kota ‘hanya’ 161.

Kasus harian Covid-19 di Jakarta mulai menyentuh angka 2.000-an pada 10 Juni 2021, beberapa pekan setelah Lebaran, dan terus meroket hingga menyentuh angka 14.619 kasus pada 12 Juli 2021 yang menjadi puncak gelombang kedua pandemi Covid-19 di Ibu Kota.

Baca juga: Duka Tanpa Jeda

Lonjakan demi lonjakan kasus Covid-19 pada gelombang kedua pada tahun ini terjadi karena maraknya varian baru virus Corona saat itu, yakni Delta.

Lonjakan kasus Covid-19 di Jakarta tentunya memengaruhi kenaikan kasus Covid-19 secara nasional. Pada periode beberapa hari hingga beberapa pekan setelah Lebaran, kasus Covid-19 nasional terus melonjak.

Lonjakan kasus Covid-19 di Tanah Air terus terjadi hingga mencapai puncaknya pada 15 Juli 2021. Saat itu angka kasus harian Covid-19 tercatat 56.757 kasus.

 

Libur Natal 2021, Tahun Baru 2022, Imlek 2022

Gelombang kedua pandemi Covid-19 pada Juni-Juli 2021 bukan akhir dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Setelah puncak gelombang kedua pada pertengahan Juli 2021, kasus Covid-19 memang terus melandai.

Bila pada 15 Juli 2021 ada 56.757 kasus Covid-19 di Indonesia, jumlah kasus terjun bebas ke angka 255 pada Natal 25 Desember 2021 dan bahkan sempat tercatat 92 kasus pada 26 Desember 2021.

Tetapi, beberapa hari setelah Tahun Baru 2021, angka kasus baru Covid-19 di Indonesia merangkak naik dan menyentuh angka 1.054 pada 15 Januari 2022, lalu terus naik hingga mencapai 11.588 pada 29 Januari 2022.

Bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2573 Kongzili pada 1 Februari 2022, kasus baru Covid-19 di Indonesia berjumlah 16.021.

Baca juga: Omicron Telanjur Menyebar di Indonesia, Kenali dan Kendalikan!

Angka kasus harian Covid-19 di Indonesia lalu terus naik hingga menyentuh angka 64.718 pada 16 Februari 2022 atau sekitar dua pekan setelah libur Imlek. Angka ini telah melampaui puncak gelombang kedua dan menjadi yang tertinggi selama pandemi.

Angka kasus harian Covid-19 spesifik di Jakarta, Tangerang Raya, dan Depok pada gelombang ketiga ini bahkan telah melampaui puncak gelombang kedua Juli tahun lalu.

Jakarta mencatatkan angka 15.825 kasus harian Covid-19 pada 6 Februari 2022, tertinggi selama pandemi, dan sudah tentu melebihi angka kasus tertinggi pada gelombang kedua 12 Juli 2021 dengan 14.619 kasus.

Sementara di Tangerang Raya, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, rata-rata penambahan kasus pada puncak gelombang kedua yakni 3.200 kasus, sedangkan pada awal Februari 2022 mencapai 4.000 kasus.

Di Depok, rata-rata angka kasus harian naik dari 1.400-an pada gelombang kedua menjadi 1.600-an pada awal Februari 2022.

Baca juga: Di Balik Narasi 'Ringannya Omicron...'

Lonjakan kasus Covid-19 sejak pertengahan Januari hingga Februari 2022 disebabkan oleh merebaknya varian baru virus Corona, yakni Omicron, yang disebut lebih cepat menyebar dibandingkan varian lainnya, termasuk Delta.

Lonjakan Kasus Covid-19 Tak Bergantung Pada Hari Raya Keagamaan

Data-data yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa kasus Covid-19 melonjak setelah hari libur nasional, bukan sebelum libur nasional terkait peringatan keagamaan.

 

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi pun menampik kenaikan kasus Covid-19 tergantung suatu peringatan keagamaan.

"Enggaklah, (kenaikan kasus Covid-19) ini kan bukan tergantung suatu peringatan keagamaan," ujar Nadia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (3/2/2022).

Nadia pun mengimbau masyarakat agar selalu mengecek kembali informasi yang beredar di media sosial.

"Banyak situs resmi yang dapat diakses dan memberikan informasi yang benar," ucap dia.

Baca juga: Aplikasi Tentang Anak, Bantu Tangkal Hoaks Soal Gaya Parenting

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Rumadi Akhmad juga menegaskan, masyarakat tidak perlu terpengaruh isu yang mengaitkan pengetatan akibat lonjakan kasus sengaja dilakukan menjelang perayaan hari besar keagamaan.

Menurut Rumadi, pernyataan-pernyataan seperti itu bersifat tendesius.

"Pernyataan-pernyataan seperti ini, di samping tendensius juga tidak membantu dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang," ujar Rumadi dikutip dari siaran pers KSP, Senin (7/2/2022).

 

Lantas, Apa Penyebab Lonjakan Kasus Covid-19?

Nadia menambahkan, kenaikan kasus Covid-19 terjadi karena meningkatnya mobilitas warga, salah satunya pulang kampung.

"Sehingga mobilitas kan meningkat, jadi ini yang menyebabkan kasus meningkat dan juga karena protokol kesehatan,” kata Nadia.

Selain itu, ada beberapa hal yang menyebabkan kasus Covid-19 di Indonesia melonjak belakangan ini.

Pertama, meluasnya varian Omicron di Tanah Air. Sejak Omicron muncul, banyak negara juga mengalami lonjakan kasus Covid-19.

"Kemungkinan besar (karena) varian Omicron kalau melihat kecepatan peningkatan jumlah kasus," ujar Nadia, Rabu (2/2/2022).

Baca juga: 5 Hoaks Terkait Varian Omicron dan Penjelasan Faktanya

Selain itu, angka Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat, menurut Kemenkes, juga disebabkan peningkatan testing dan tracing.

"Iya, testing dan tracing yang tetap tinggi juga meningkatkan jumlah kasus yang dapat kita temukan," tambah Nadia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi
DOK. Humas Kemenkes
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi

Selamat Datang di Era Pascakebenaran

Hoaks merusak irama bangsa yang tengah merangkak keluar dari pandemi. Fenomena itu menimbulkan ketidakpercayaan atas otoritas, sehingga orang sulit dimobilisasi untuk satu kata dan perbuatan. Padahal keselarasan gerak adalah jalan keluarnya.

 

Berseliwerannya hoaks merupakan gejala bahwa kita telah menjejakkan kaki di era pascakebenaran atau post truth. Demikian diungkapkan Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho.

Secara sederhana, post truth diartikan sebagai era di mana fakta obyektif kalah oleh emosi atau keyakinan seseorang. Pertarungan ini kian mendapatkan panggung seiring perkembangan teknologi informasi.

Fenomena ini hadir dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, termasuk di era pandemi ini.

“Di era pandemi, ada pro ilmu pengetahuan, ada yang kontra. Ada yang percaya Covid-19 ini nyata, tetapi ada pula yang yakin ini rekayasa dari elite global dan industri farmasi dunia yang ingin meraup untung. Mereka ini eksis,” ujar Eko saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (16/2/2022).

Baca juga: Melihat Kembali Sejarah Kemunculan Istilah Post Truth

Warga bernama Hasanudin merupakan contoh korban di era ini. Ia meninggal setelah mengalami demam selama dua pekan. Selain demam, sejumlah gejala Covid-19 terasa di tubuhnya.

Saat masa kritis, Hasanudin menolak dites usap metode reaksi berantai polimerase (PCR). Penolakannya itu lantaran ia tak percaya terhadap pandemi.

Ada banyak kisah lain yang dapat dijadikan contoh betapa merusaknya penyebaran kabar bohong.

Kenali Ciri-ciri Hoaks

Eko melanjutkan, kelompok yang meyakini bahwa pandemi adalah konspirasi sebenarnya tak banyak jumlahnya. Tetapi, mereka sangat aktif dan agresif.

Apapun informasi yang dikeluarkan oleh otoritas, bahkan sekalipun telah merujuk ke ilmu pengetahuan, kelompok ini akan menafsirkannya secara berbeda.

Sementara itu, kelompok yang menyandarkan diri pada ilmu pengetahuan sebenarnya lebih banyak, tetapi cenderung diam (silent majority). Maka tak heran mengapa narasi yang mendominasi biasanya berasal dari kelompok yang tak percaya.

 

Harus dibendung

Eko melanjutkan, fenomena ini sangat berbahaya apabila tak dibendung. Sebab, lambat laun mereka akan ‘memakan’ orang-orang yang berada di tengah.

“Mereka bisa membuat orang yang tadinya yakin menjadi tidak yakin. Orang jadi bimbang dan ragu akan sesuatu yang bersifat faktual,” papar Eko.

Caranya adalah dengan terus melawannya dengan kontra narasi. Meskipun cara ini kurang efektif lantaran daya jangkaunya lebih kecil dibandingkan hoaks itu sendiri, tetapi tetap penting untuk dilakukan. Tak mengapa sedikit terlambat daripada tidak sama sekali.

Baca juga: Studi: 800 Meninggal Karena Hoaks dan Teori Konspirasi Covid-19

Cara selanjutnya adalah dengan merancang penyebaran informasi secara komprehensif.

“Misalnya otoritas. Sebelum mereka menyebarkan sebuah informasi, ada antisipasi kabar bohong apa yang akan muncul. Jadi, kontra narasinya itu dikemas sedemikian rupa dikeluarkan duluan sehingga menutup peluang hoaks muncul,” lanjut Eko.

Dengan mencegah peredaran hoaks, secara tidak langsung kita merawat kehidupan.