SERI PEMILU PRESIDEN AS
Hasil akhir electoral votes para elector dari 50 negara bagian ditambah tiga suara dari Ibu Kota Amerika Serikat pada setiap Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS), pada akhirnya akan ditentukan dari 11 daerah yang disebut sebagai swing state. Ini definisi, peta, dan analisis swing state untuk Pilpres AS 2020.
ISTILAH swing state kerap muncul di banyak pemberitaan mengenai kampanye Pemilu Presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS). Pemilu Presiden AS 2020 yang digelar pada 3 November 2020 waktu setempat bukan perkecualian.
Lalu, apakah swing state itu?
Setiap negara bagian AS memiliki jumlah electoral votes proporsional berdasarkan jumlah penduduknya.
Dari 50 negara bagian, sesungguhnya hanya belasan negara bagian krusial yang menentukan siapakah pemenang Pilpres AS.
Lalu, calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) tidak akan membuang waktu berkampanye di negara-negara bagian seperti California atau New York.
Walau California (55) dan New York (29) memiliki jumlah electoral votes yang besar, kedua negara bagian ini sudah hampir pasti dimenangi capres dari Partai Demokrat.
California adalah basis pemilih berideologi liberal yang merupakan kantong suara Partai Demokrat. Capres Demokrat selalu menang di negara bagian ini pada tujuh pilpres terakhir.
Hal sama juga berlaku untuk Dakota Selatan yang dengan mudah diamankan capres Republik sejak Pilpres 1968.
Negara bagian Dakota Selatan yang punya tiga electoral votes ini merupakan basis kuat Partai Republik yang berideologi konservatif.
Sebuah negara bagian disebut swing state karena ada perubahan demografi pemilih dan juga tingginya pemilih independen yang tidak terafiliasi dengan kedua partai politik utama di Amerika Serikat.
Perubahan dan keberadaan mereka membuat peta politik bisa berubah dari perkiraan bahkan kebiasaan.
Ada 11 swing states yang menjadi kunci penentu siapa penghuni Gedung Putih tanggal 20 Januari 2021.
Misalnya, Arizona dikenal sebagai basis Republik.
Namun, meningkatnya pemilih Hispanik dan pemilih berpendidikan universitas yang cenderung memilih Partai Demokrat menjadikan negara bagian ini menjadi swing state pada Pilpres 2020.
Ada 11 swing states yang menjadi kunci penentu siapa penghuni Gedung Putih tanggal 20 Januari 2021.
Kesebelas negara bagian itu adalah Arizona, Florida, Georgia, Iowa, Maine Distrik Kongresional ke-2, Michigan, dan Nebraska Distrik Kongresional ke-2. Lalu, North Carolina, Ohio, Pennyslvania, dan Wisconsin.
Pada masa kampanye, capres akan berkampanye bolak-balik di swing states ini. Tidaklah mengagetkan jika Donald Trump maupun Joe Biden terus mengunjungi negara bagian yang sama hingga berkali-kali, terutama menjelang hari pemungutan suara.
KESEBELAS swing states pada Pilpres 2020 dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu negara-negara bagian Rust Belt, Sun Belt, dan DIstrik Kongresional.
Kawasan Rust Belt merujuk ke daerah industrial Amerika Serikat (AS). Terletak di utara AS, negara-negara bagian ini seperti Pennsylvania, Wisconsin, Michigan, Ohio, dan Iowa adalah simbol kejayaan industri manufaktur, baja, otomotif, batu bara negeri “Uwak Sam”.
Kejayaan industrial ini mulai merosot sejak 1980, seturut munculnya automasi dan outsourcing buruh ke luar negeri.
Donald Trump menyapu bersih suara dari lima negara bagian itu pada Pilpres 2016. Kemenangan tipis Trump di trio Rust Belt—yaitu Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan—menjadi penentu.
Di tiga negara bagian itu, Trump hanya unggul kurang dari 1 persen atas Hillary dalam pemungutan suara. Padahal, ketiga negara bagian tersebut dikenal sebagai benteng pertahanan atau blue wall Partai Demokrat, pengusung Hillary saat itu.
Janji Trump untuk membuat AS berjaya lagi serta retorika populisnya merevitalisasi daerah industri berhasil memikat pemilih kulit putih tanpa pendidikan universitas yang frustrasi dengan kemunduran ekonomi yang mereka alami.
Mereka yang mayoritas tinggal di kota kecil dan daerah pedesaan atau pertanian ini kerap juga disebut pemilih berkerah biru atau pemilih kelas pekerja.
Setelah enam pilpres berturut-turut memilih capres Demokrat, Keystone State—julukan Pennsylvania—secara mengejutkan memilih Trump dengan selisih sangat tipis 0,72 persen pada Pilpres 2016.
Peranan Pennsylvania dengan 20 electoral votes-nya sangat krusial pada Pilpres 2020. Bisa dikatakan pemenang Pennsylvania sangat besar peluangnya menjadi penghuni Gedung Putih.
Peranan Pennsylvania dengan 20 electoral votes-nya sangat krusial pada Pilpres 2020.
Seperti tetangga Rust Belt-nya, Pennsylvania memiliki jumlah pemilih kulit putih tanpa pendidikan universitas yang tingggi, yaitu sebesar 55 persen.
Blok pemilih Trump di Pennsylvania sesungguhnya adalah pemilih loyal Demokrat yang kemudian mengubah haluannya setelah kemunculan Trump di panggung politik nasional AS.
Mereka berang terhadap Partai Demokrat yang dinilai telah melupakan mereka dan terlalu memperioritaskan isu globalis, seperti perdagangan bebas dan lingkungan.
Namun, hilangnya dukungan ini ditutup Demokrat dengan basis dukungan baru, yaitu pemilih berpendidikan universitas yang tinggal di daerah suburban.
Blok pemilih di suburban ini sebelumnya adalah basis suara Partai Republik. Sejak Trump berkuasa, mereka perlahan tapi pasti menggeser dukungan ke Partai Demokrat.
Fenomena realignment politik ini terlihat jelas pada Pemilu Sela 2018. Pemilih suburban, terutama pemilih wanita berkulit putih berpendidikan universitas, muak dengan retorika ofensif serta empat tahun kekacauan pemerintahan Trump.
Biden memiliki senjata tambahan di Pennsylvania karena dia lahir dan besar di negara bagian ini.
Lalu, Biden memiliki senjata tambahan di Pennsylvania karena dia lahir dan besar di negara bagian ini, tepatnya di kota Scranton. Sejumlah survei menunjukkan pemilih berkerah biru mulai menyeberang ke Biden karena latar belakang Biden yang berasal dari keluarga kelas pekerja.
Tentunya, ini kabar buruk bagi Trump karena dukungan dari blok pemilihnya melemah dan dia sangat tidak populer dengan pemilih suburban.
Selain itu Biden juga dapat mengamankan kemenangan dengan tingkat partisipasi tinggi dari pemilih kulit hitam yang terkonsentrasi di Philadelphia.
Hillary Clinton hanya memenangkan 89,8 persen dukungan pemilih kulit hitam pada Pilpres 2016. Kalau saja dia menang dengan persentase seperti Barack Obama—yaitu 96 persen—pada Pilpres 2012, Hillary akan menjadi presiden wanita pertama AS.
Rataan survei oleh The New York Times menunjukkan Biden memimpin jauh 8 poin di Pennsylvania. Tanpa Pennsylvania, hampir mustahil bagi Trump untuk memenangkan periode kedua kepresidenan.
Negara bagian ini dianalisis akan menjadi salah satu kandidat kuat tipping point state atau negara bagian yang memberikan electoral votes ke-270 penentu kemenangan di Pilpres AS 2020.
Profil demografi negara bagian Wisconsin hampir mirip dengan Pennsylvania. Badger State—sebutannya—memiliki 59 persen pemilih berkulit putih tanpa pendidikan universitas yang sangat loyal terhadap Trump.
Trump juga masih memiliki dukungan yang cukup tinggi dari pemilih suburban di Wisconsin yang terpusat di distrik Waukesha, Ozaukee, dan Washington (WOW).
Berbeda dengan suburban di negara bagian lain yang mulai meninggalkan Trump, suburban di distrik WOW masih setia terhadap presiden berusia 74 tahun itu.
Namun, angka survei menunjukkan gelagat sebaliknya. Biden malahan unggul, nyaman dengan rataan survei The New York Times yang memberikannya keunggulan 8 poin di distrik WOW.
Analisis untuk prediksi keunggulan Biden di Wisnconsin adalah keberhasilannya memecah dukungan Trump dari pemilih kulit putih berkerah biru.
Hal ini cukup mengagetkan karena banyak analis menduga Wisconsin adalah trio Rust Belt yang akan paling sulit dimenangkan Biden.
Analisis untuk prediksi keunggulan Biden di Wisconsin adalah keberhasilannya memecah dukungan Trump dari pemilih kulit putih berkerah biru.
Survei Siena College/The New York Times pada bulan Oktober 2020 menunjukkan blok pemilih ini hanya memberikan keunggulan 6 poin kepada Trump atas Biden. Padahal, pada Pilpres 2016, blok pemilih ini memberikan kemenangan dua digit kepada Trump.
Tidak ketinggalan, Biden juga mendapat dukungan yang sangat tinggi dari pemilih kulit hitam. Hillary Clinton dikritik setelah kekalahannya pada Pilpres 2016 karena dia dianggap tidak pernah berkampanye di Wisconsin dan menyepelekan dukungan pemilih kulit hitam.
Michigan dikenal sebagai pusat industri otomatif AS, di antaranya sebagai kantor pusat General Motors.
Michigan sejatinya adalah basis Demokrat yang pada enam pemilu berturut-turut sejak Pilpres 1992 memilih capres Demokrat.
Karena itu, alangkah kagetnya Demokrat ketika Trump menang di Michigan dengan selisih 0,23 persen, selisih paling tipis di seluruh 50 negara bagian pada Pilpres 2016.
Dibanding dengan Pennsylvania dan Wisconsin, Michigan jauh lebih biru (Demokrat) karena memiliki daerah urban yang besar.
Tim kampanye Trump telah berhenti berkampanye di Michigan.
Untuk Pilpres 2020, rataan survei menunjukkan Michigan adalah negara bagian Rust Belt yang paling besar kemungkinan akan memilih Biden.
Biden juga tidak pernah kehilangan keunggulannya di The Wolverine State—julukan Michigan—sejak pemilu sela atau midterm 2018 yang memberi Demokrat kursi gubernur dan dua kursi House of Representatives (DPR) dari tangan Republik.
Tim kampanye Trump telah berhenti berkampanye di Michigan. Ini adalah sinyal kuat taipan real estate ini telah menyerah di negara bagian ini.
Alasan utama terpuruknya Trump di Michigan adalah ambruknya dukungan dari pemilih suburban wanita berpendidikan universitas yang tinggal di suburban Detroit.
Kemarahan mereka semakin menjadi-jadi setelah Trump kerap mengkritik dan mengejek Gubernur Gretchen Whitmer yang populer di mata warga Michigan.
Setiap empat tahun sekali capres yang bertarung selalu berkampanye berkali-kali ke Ohio, menggambarkan betapa krusialnya negara bagian ini.
Tidak ada seorang pun capres Republik yang memenangi pilpres tanpa memenangi Ohio.
Adapun capres Demokrat terakhir yang memenangi pilpres tanpa Ohio adalah John F Kennedy pada Pilpres 1960.
Seperti negara bagian Rust Belt lainnya, Ohio didominasi oleh pemilih berkerah biru yang terpikat oleh retorika populis Donald Trump.
Tanpa diduga, sejak September 2020, Biden dan Trump silih berganti memimpin dengan selisih sangat tipis di Ohio.
Awalnya, Ohio diperkirakan tidak akan kompetitif pada Pilpres 2020. Trump melibas Hillary Clinton dengan selisih jauh—8,13 persen— pada Pilpres 2016, berbanding jauh dengan ketika Barack Obama memenangkan Ohio pada Pilpres 2008 dan Pilpres 2012.
Besarnya daerah pedesaan dan tingginya pemilih berkerah biru menjadi faktor mengapa kedua partai menilai Ohio tidak akan kompetitif karena peta politiknya yang semakin konservatif.
Tanpa diduga, sejak September 2020, Biden dan Trump silih berganti memimpin dengan selisih sangat tipis di Ohio. Rataan agregasi survei Ohio oleh FiveThirtyEight menunjukkan Trump hanya unggul 0,3 persen.
Biden sendiri yang awalnya tidak memprioritaskan Buckeye State—sebutan lain negara bagian ini—telah berkampanye di Ohio untuk mengembalikan kembali kejayaan Demokrat di situ.
Biden masih berpotensi memperlebar basis suaranya di suburb kota Colombus. Sebaliknya Trump menghadapi kenyataan terbatasnya dukungan dari daerah pedesaan.
Tanpa Ohio, mustahil bagi Trump untuk kembali terpilih menjadi presiden.
Didominasi oleh daerah pedesaan pertanian dengan 95 persen demografi penduduk berkulit putih, Iowa adalah negara bagian yang sangat mencintai Trump dengan retorika populisnya.
Iowa juga didominasi oleh blok pemilih evangelical konservatif yang merupakan pemilih tradisional Republik.
Pada Pilpres 2016, Trump menyapu Hillary Clinton dengan kemenangan telak 9,14 poin.
Kemenangan telak ini mengejutkan Demokrat, mengingat Barack Obama dua kali menang mudah di The Hawkeye State, sebutan lain Iowa.
Trump mulai kehilangan keperkasaannya di Iowa sejak awal Oktober 2020.
Sama halnya seperti Ohio, kedua partai awalnya tidak menduga Iowa akan kompetitif atau menjadi swing state pada Pilpres 2020.
Namun, tanpa disangka, Biden malah sekarang memimpin rataan agregasi survei FiveThirtyEight dengan selisih 0,4 persen atas Trump.
Trump mulai kehilangan keperkasaannya di Iowa sejak awal Oktober 2020.
Anjloknya dukungan Trump ditengarai karena pandemi Covid-19 yang menghantam sektor paling krusial di Iowa, yaitu pertanian.
Merosotnya dukungan terhadap Trump di Iowa dan juga Ohio adalah indikator jelas melemahnya dukungan pemilih kulit putih tanpa pendidikan universitas ke suami Melania Trump itu.
Walau Trump masih unggul, loyalitas pemilih berkerah biru ini pelan tapi pasti terpecah ke Biden.
Iowa juga akan mempertandingkan pemilu Senat yang akan menentukan apakah Demokrat dapat merebut kembali kontrol Senat. Kandidat Demokrat Theresa Greenfield saat ini memimpin tipis atas petahana Republiken Joni Ernst.
Kawasan Sun Belt merujuk ke tenggara dan barat daya Amerika Serikat. Negara-negara bagian Sun Belt memanjang dari Carolina Utara hingga California.
Berbeda dengan Rust Belt yang didominasi warga kulit putih, demografi Sun Belt sangat beraneka ragam didominasi terutama oleh warga minoritas Hispanik dan kulit hitam.
Selama berdekade, Sun Belt merupakan basis suara Partai Republik.
Namun, perubahan demografi yang cepat, bermunculannya keluarga muda di daerah suburban, dan retorika rasis Trump menjadikan pemilih kawasan ini mulai memindahkan dukungan ke Partai Demokrat termasuk di Texas yang dikenal sebagai salah satu basis terkuat Partai Republik di AS.
Tentu, ingatan masih sangat segar akan sengketa kontroversial hasil pemilu di Florida di Pilpres 2000 yang akhirnya dimenangkan George W Bush dan mengirimnya ke Gedung Putih.
Sejumlah survei menunjukkan Florida berpotensi menjadi negara bagian dengan hasil paling ketat tahun ini.
Florida adalah swing state dengan jumlah electoral votes terbesar, yaitu 29. Persaingan pemilu di negara bagian ini selalu sangat ketat.
Empat tahun lalu Presiden Donald Trump memenangi Florida hanya dengan margin 1,20 persen.
Pemilihan gubernur dan senator pada Pemilu Sela 2018—yang keduanya dimenangkan kandidat Republik—juga berakhir dengan selisih sangat tipis, yaitu 0,40 persen dan 0,16 persen.
Populasi pemilih lansia di Florida yang mencapai 20 persen di Florida adalah yang terbesar di AS.
Namun, Biden konsisten mengungguli Trump dengan selisih 1-3 poin di Florida. Bagi Trump, kekalahan di Florida hampir pasti menutup peluangnya untuk mencapai 270 electoral votes.
Trump yang luar biasa tidak populer di kalangan pemilih Hispanik kecuali etnis Amerika-Kuba membutuhkan dukungan besar dari pemilih kulit putih terutama pemilih lansia yang terpusat di Distrik Sumter.
Populasi pemilih lansia di Florida yang mencapai 20 persen di Florida adalah yang terbesar di AS. Blok pemilih ini secara tradisional memilih Partai Republik.
Kabar buruk bagi Trump adalah survei menunjukkan pemilu lansia membelot ke Biden. Survei Universitas Monmouth pada bulan Oktober 2020, misalnya, menunjukkan Trump hanya unggul 2 poin dari Biden, yaitu 49 persen berbanding 47 persen.
Angka ini sangat kontras ketika Trump melumpuhkan Hillary Clinton di kalangan pemilih lansia Florida dengan selisih kemenangan 17 poin.
Tidak becusnya penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintahan Trump adalah alasan utama mengapa pemilih lansia di Sunshine State memilih menyeberang ke kubu Biden.
Carolina Utara adalah basis kuat Republik hingga Barack Obama secara mengejutkan meraih kemenangan super tipis dengan selisih 0.32 persen di situ pada Pilpres 2008.
Republik merebut kembali Tar Heel State dengan kemenangan 2,04 poin Mitt Romney pada Pilpres 2012. Trump melanjutkan kejayaan Republik pada Pilpres 2016 dengan kemenangan berjarak 3,66 persen dari Hillary Clinton.
Carolina Utara adalah swing state yang cenderung jauh lebih konservatif.
Carolina Utara adalah swing state yang cenderung jauh lebih konservatif. Namun, migrasi dari warga Afro Amerika dan kaum muda profesional—terutama di suburb kota Charlotte dan Raleigh—mengubah Carolina Utara menjadi swing state.
Kedua blok pemilih ini adalah pemilih tradisional Partai Demokrat.
Pemilihan pada 2020 di Carolina Utara sangat krusial karena ini adalah satu-satunya negara bagian yang akan melakukan tiga pemilihan serentak, yaitu memilih presiden, senator, dan gubernur.
Persaingan kandidat senat antara Cal Cunningham dari Demokrat dan petahana Republiken Thom Tillis akan menentukan partai mana yang mencapai mayoritas 51 kursi di Senat.
Sejauh ini Biden, Cunninghan, dan Gubernur petahana Demokrat Ray Cooper konsisten unggul tipis atas lawan-lawannya.
Arizona dikenal sebagai benteng konservatif Partai Republik yang sulit ditembus.
Negara bagian ini melahirkan dua politisi ikonik, yaitu Senator Barry Goldwater yang adalah Bapak Ideologi Konservatif AS dan Senator John McCain yang bertanding melawan Barack Obama pada Pilpres 2008.
Sejak Pilpres 1952, hanya sekali—yaitu pada Pilpres 1996—Demokrat dengan Bill Clinton sebagai capres secara mengejutkan menang di negara bagian tempat Grand Canyon berlokasi ini.
Sejak Pilpres 1952, hanya sekali—yaitu pada Pilpres 1996—Demokrat dengan Bill Clinton sebagai capres secara mengejutkan menang di Arizona.
Namun, tahun ini adalah pengecualian. Meningkatnya blok pemilih Hispanik dan profesional muda berpendidikan universitas ditambah dengan pemerintahan Trump yang sangat tidak populer akhirnya mentransformasi Arizona sebagai swing state.
Terlebih lagi, Hillary Clinton hanya kalah tipis 3,5 persen di sini pada Pilpres 2016.
Salah satu indikator kuat Arizona berpindah menjadi biru (warna Partai Demokrat) adalah terpilihnya Krsyten Sinema sebagai senator Demokrat pertama di Arizona dalam 30 tahun terakhir, yaitu lewat Pemilu Sela 2018.
Kunci utama meraih kemenangan di Arizona adalah memenangkan distrik Maricopa, lokasi 60 persen penduduk Arizona tinggal. Empat tahun lalu Trump memenangkan distrik suburban ini dengan selisih 2,76 persen.
Survei terakhir dari Siena College/The New York Times menunjukkan Biden unggul 9 poin di distrik Maricopa. Siapa pun yang memenangkan Maricopa hampir pasti akan mengenggam 11 electoral votes Arizona.
Jajak pendapat menunjukkan Biden konsisten unggul sekitar 3 poin hingga 5 poin. Calon Senator Mark Kelly yang separtai dengan Biden berpotensi memberikan efek ekor jas (coattail) kepada Biden.
Mantan astronot yang sangat populer itu saat ini unggul meyakinkan sekitar 5-10 poin dari lawannya senator petahana Martha McSally.
Seperti Arizona, Georgia adalah swing state baru pada Pilpres 2020.
Sebelumnya, Georgia adalah basis kuat Partai Republik sejak warga Afro-Amerika mendapatkan persamaan hak melalui Undang Undang Hak Sipil tahun 1964.
Undang-undang ini memicu amarah pemilih konservatif Demokrat yang kemudian berganti afiliasi menjadi Republiken.
Hanya dua kandidat capres Demokrat, Jimmy Carter dan Bill Clinton, yang berhasil menang di Georgia sejak 1964.
Hanya dua kandidat capres Demokrat, Jimmy Carter dan Bill Clinton, yang berhasil menang di Georgia sejak itu. Carter adalah putra asli yang pernah menjabat sebagai Gubernur Georgia. Adapun Clinton adalah Gubernur Arkansas yang bertetangga dengan Georgia.
Pilpres 2016 menandai perubahan peta politik Peach State. Meningkatnya jumlah warga minoritas di suburban Atlanta menjadikan Georgia menjadi lebih kompetitif. Hillary Clinton hanya kalah dengan selisih 5,09 persen dari Trump.
Donald Trump dan Joe Biden silih berganti memimpin di Georgia di jajak pendapat. Seperti Florida, hasil pilpres Georgia hampir pasti akan sangat ketat.
Biden akan mengandalkan dukungan dari daerah perkotaan dan suburban Atlanta yang berpindah haluan mendukung Demokrat.
AdapunTrump menargetkan untuk menahan perolehan suara Biden di suburban dengan mendulang sebanyak mungkin suara dari pemilih kulit putih tanpa pendidikan universitas yang tinggal di kota kecil dan daerah pertanian.
Distrik Kongresional ke-2 Nebraska diprediksi akan dimenangkan Biden. Demografi pemilih di distrik ini sebesar 44 persen adalah warga kulit putih berpendidikan universitas yang sangat tidak menyukai Trump dan memilih menjatuhkan suara ke Demokrat.
Distrik Kongresional ke-2 Nebraska dapat menjadi penentu siapa presiden AS, jika kedua kandidat imbang mendapat 269 electoral votes.
Jika Biden menang di Nebraska, hal ini tidak akan terlalu mengagetkan. Karena, dia bersama Barack Obama secara mengejutkan berhasil menang tipis distrik ini pada Pilpres 2008 dengan raihan 49,8 persen atau selisih hanya 3.400 suara.
Adapun Hillary Clinton kalah tipis hanya dengan selisih 2,2 persen di distrik yang menjadi tempat tinggal biliuner Warren Buffet, yaitu Kota Omaha.
Walau hanya memiliki satu electoral vote, Distrik Kongresional ke-2 Nebraska dapat menjadi penentu siapa presiden AS jika terjadi skenario kedua kandidat meraih 269 electoral votes.
Maine adalah negara bagian dengan reputasi sangat liberal di AS. Namun, pengecualian diberikan untuk distrik kedua-nya yang didominasi pemilih kulit putih tidak berpendidikan universitas.
Ditambah dengan kawasannya yang didominasi area pedesaan pertanian, Donald Trump yang populer di kalangan demografi pemilih ini berhasil merebut 1 electoral vote dari distrik ini pada Pilpres 2016.
Namun, pada Pilpres 2020, pesona Trump mulai memudar dengan survei menunjukkan Biden konsisten unggul tipis 1-3 poin.
Faktor krusial yang dapat memenangkan Biden adalah coattail atau efek ekor jas dari anggota DPR petahana distrik ke-2 Maine Jared Golden, yang sangat populer dan saat ini unggul dua digit dari lawannya Dale Crafts.