Cermati dan analisa data kasus Covid-19 yang kami susunkan ulang agar lebih mudah dibaca. Tolong, cerna itu.
Setidaknya, jangan menambah risiko kalaupun secara pribadi masih saja menyangkal bahwa wabah ini ada. Jalankan protokol kesehatan seketat yang kita bisa upayakan dengan sungguh-sungguh.
Karena, korban jiwa yang berjatuhan pun bisa jadi adalah orang terdekat dan tercinta kita. Ini niscaya.
Yang pasti, pasien dan yang meninggal karena Covid-19 adalah ayah, ibu, kerabat, kolega, atau anak seseorang. Bisa jadi, kita.
SELASA (26/1/2021), akumulasi kasus positif Covid-19 yang terdata di Indonesia tembus sejuta. Itu yang tercatat saja ya. Dalam bahasa pemerintah, kasus terkonfirmasi.
Betul, angka satu juta itu adalah akumulasi dari kasus pertama hingga kasus terbaru.
Benar pula, mayoritas pasien Covid-19 sembuh. Di atas 80 persen, angka resmi untuk rata-rata nasional di Indonesia.
Masalahnya, laju pasien yang sembuh tak juga mengejar laju tambahan kasus baru ditambah akumulasi pasien yang masih menjalani perawatan di rumah sakit atau isolasi mandiri pada satu waktu yang sama.
Dan, masih ada ratusan orang meninggal tiap hari karena wabah ini. Apakah mereka meninggal semata karena beratnya gejala yang dialami, atau karena kehabisan ruang rawat saat kondisinya butuh penanganan medis?
Semua data di atas punya penjelasan dan diperlukan. Namun, dalam kondisi sekarang, jumlah kasus baru per hari dan data mereka yang masih menjalani perawatan atau isolasi mandiri adalah penekanan terpenting saat ini.
Area berwarna hijau memperlihatkan jumlah dan proporsi pasien sembuh. Adapun area berwarna oranye adalah kasus aktif, baik mereka yang dirawat di rumah sakit maupun menjalani isolasi mandiri.
Total akumulasi kasus yang terdata di Indonesia sejak 2 Maret 2020 adalah bulatan ungu di puncak area grafik, terhubung dengan garis. Pertambahan kasus harian tergambar dalam bulatan merah yang terhubung garis.
Angka akumulasi, sembuh, meninggal, dan yang masih menjalani perawatan di rumah sakit atau akumulasi merujuk pada sumbu Y di sisi kiri, sementara kasus harian merujuk pada sumbu Y2 di sisi kanan, dengan sumbu X adalah tanggal pencatatan.
Biar lebih gampang, berikut ini penyederhanaan visualisasi data, dengan mengambil data pada penanggalan terakhir di setiap bulan kalender, selain untuk Januari 2021:
Masih tetap tak mau peduli?
Secara persentase, Covid-19 memang tidak menunjukkan angka kematian yang mengerikan. Ini secara persentase.
Meski begitu, kecepatan persebaran adalah persoalan besar. Jumlah yang terpapar teramat besar pula. Dengan persentase yang sama, angka sesungguhnya tetaplah seram.
Jangan pernah lupa pula bahwa persentase dan angka ini adalah kumpulan manusia, bukan sekadar data dan statistika.
Sudah begitu, sejumlah pakar dan riset mendapati, bahkan mereka yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 pun tak serta merta terbebas dari risiko kesehatan jangka panjang akibat jejak wabah ini.
Fakta ini telah mencuat sejak hari-hari awal Covid-19 menjadi pandemi global, yang itu juga masih banyak terfokus pada persoalan di paru-paru.
Baca juga: Sembuh dari Covid-19, Kesakitan Belum Tentu Usai...
Padahal, temuan lebih lanjut antara lain mendapati jejak blood clot yang muncul sembarangan—entah di paru-paru, jantung, pembuluh darah atau malah otak—akibat wabah ini, baik di mereka yang terselamatkan ataupun tidak.
Blood clot ini terjemahan bebasnya gumpalan darah. Contoh paling gampang saat gumpalan ini salah tempat adalah stroke dan serangan jantung. Salah satu kajian komprehensif tentang "perbuatan" Covid-19 terhadap darah kita dan dampaknya dapat dibaca di sini.
Terkini, Covid-19 diduga juga berkorelasi dengan sejumlah kasus kesehatan mental dan neurologi. Riset tim peneliti dari Oxford yang dalam proses peer review dan artikel di jurnal psikiatri The Lancet, ada di jajaran pengungkap dugaan dan temuan soal korelasi ini.
Secara ekonomi, beban jangka panjang yang ditanggung sektor kesehatan tidak akan serta-merta susut begitu Covid-19 dinyatakan reda.
Juga, jangan lupa, dari mayoritas kabar baik kesembuhan pasien, wabah ini telah pula merenggut puluhan ribu orang Indonesia, yang di luar urusan kepastian takdir mati mungkin masih punya peluang ada bersama kita.
Mereka yang meninggal akibat wabah ini bisa jadi adalah orang-orang terdekat dan tercinta kita, kolega kita, atau setidaknya mereka pasti adalah ayah, ibu, atau anak dari seseorang.
Sebelum ada Covid-19, orang Jakarta sudah teramat kesusahan mengebumikan sanak keluarga di lahan pemakaman yang tersedia.
Baca juga: Krisis Lahan Pemakaman Membayangi Ibu Kota
Pada hari-hari ini, lahan pemakaman yang baru dibuka pun sedemikian cepat penuh terpakai.
Video berikut ini antara lain menggambarkan betapa pemakaman yang baru dibuka setelah tahun baru 2021 sudah penuh bahkan sebelum Januari 2021 terlewati.
Fakta terbaru, Rabu (27/1/2021), angka kematian karena Covid-19 menurut data nasional mencetak rekor baru. Ada 387 kematian dalam sehari. Rekor yang bikin sesak hati.
Sebelum menyebut lebih jauh soal kematian dan pemakaman, lonjakan tak terkendali kasus Covid-19 telah pula menyesaki rumah sakit.
Tempat tidur dan ruang ICU untuk pasien Covid-19 habis terpakai, paling tidak melebihi ketentuan prosedur standar operasional rumah sakit.
Situasi ini yang melatari pemberlakuan pembatasan serentak di Jawa Bali, yang diumumkan pada 6 Januari 2021 untuk masa berlaku 11-25 Januari 2021.
Baca juga: RS Penuh, Jokowi Batasi Jawa Bali
Di sejumlah wilayah, pembatasan ini kemudian diperpanjang, salah satunya di Jakarta yang berlanjut hingga 8 Februari 2021. Alasannya jelas, lonjakan pasien baru Covid-19 masih tak terkendali dan rumah sakit sudah kedodoran.
Seturut perkembangan situasi yang diikuti dengan pembatasan serentak di banyak wilayah tersebut, Kementerian Kesehatan pun berupaya menambah slot tempat tidur untuk pasien Covid-19 di rumah sakit.
Lewat dua surat edaran, rumah sakit diwajibkan menambah alokasi tempat tidur dan ruang ICU untuk pasien Covid-19.
Satu surat edaran ditujukan untuk seluruh rumah sakit di Indonesia tanpa pandang bulu, yaitu Surat Edaran Menteri Kesehata Nomor HK.02.01/Menkes/11/2021.
Satu surat edaran lagi memberikan tambahan mandat kepada rumah sakit di bawah kendali Kementerian Kesehatan, yaitu Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/11/2021.
Sebelumnya juga sudah ada Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/455/2020, yang intinya memungkinkan semua sumber daya menyediakan tempat perawatan bagi pasien Covid-19.
Yang jadi soal, upaya-upaya ini akan percuma ketika simpul terdepan untuk mehahan laju persebaran Covid-19 tetap saja longgar bahkan koyak. Simpul apa? Kita.
Mau bilang bahwa Covid-19 adalah buatan orang atau bahkan konspirasi, bebas saja. Asalkan, tolong jangan menambah risiko terutama buat orang lain di sekitar kita, terlebih mereka yang punya imunitas relatif lebih lemah atau berpenyakit bawaan.
Di tengah banyak misteri tentang Covid-19, termasuk soal karakteristik virus, satu hal yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengenakan masker, dan ketat menjalankan protokol kesehatan lain yang menyertainya seperti rajin cuci tangan.
Buat gambaran, ini data rasio keterisian tempat tidur dan ruang ICU (BOR) untuk pasien Covid-19 pada saat Semenkes 11/2021 dibuat, disandingkan dengan pergerakan data kasus pada 11 Januari 2021 dan 27 Januari 2021:
Itu pun, data sebenarnya masih dirinci lebih detail lagi, dengan memisahkan BOR ruang isolasi dan ICU. Salah satu datanya, ICU untuk DKI Jakarta pada 11 Januari 2021 sudah 99 persen.
Dengan perbandingan data kasus aktif pada 11 Januari 2021 dan 27 Januari 2021 di tiap provinsi itu, yakinkah persoalan kehabisan tempat tidur sudah teratasi meski setiap rumah sakit sudah diminta menambah alokasi?
Apakah alasan ekonomi cukup untuk menjadi alasan kita melanggar protokol kesehatan dan menambah risiko persebaran meluas? Tidak.
Mengapa? Kita ketat menjalani atau tidak menjalankan protokol ini, ekonomi dunia memang "tumbang", apalagi ekonomi Indonesia.
Bedanya, bila kita bersama-sama ketat menjalankan protokol kesehatan ini, kita punya kesempatan lebih besar dan lebih cepat memulihkan ekonomi.
Meski ada banyak kekurangan atau malah kecurangan dalam praktik di lapangan, setiap negara tak terkecuali Indonesia berupaya membantu setiap warga negaranya untuk tetap dapat makan. Aneka bantuan dan kemudahan, itu bentuknya.
Baca juga: Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan
Bahwa kemungkinan hanya kebutuhan teramat dasar yang bisa terpenuhi dengan insentif-insentif itu, tidak dapat dimungkiri.
Namun, bila wabah ini tak kunjung terkendali dan berkepanjangan, bahkan bantuan-bantuan itu pun jangan lagi bisa diharapkan karena duitnya tidak ada.
Boleh dicek juga data utang negara yang melonjak tinggi hanya dalam kurun kurang dari satu tahun ini.
Vaksin memang harapan di tengah pandemi Covid-19 yang terasa tak berkesudahan. Namun, dalam bahasa gaul, "Tidak semudah itu, Ferguso."
Pertama, barangnya belum ada. Kalaupun sudah ada sebagian, jumlahnya masih teramat sedikit.
Buat gambaran, produk vaksin yang telah dinyatakan lolos untuk bisa digunakan ke manusia jumlahnya belum lebih dari hitungan jari.
Ingat, lolos di sini pun dalam skema darurat, tidak menggunakan standar normal uji vaksin pada situasi lain.
Kedua, yang butuh vaksin ini sedunia, tidak cuma kita di Indonesia. Mayoritas produsen vaksin berasal dari luar Indonesia.
Nah, negara tempat produsen itu berada juga butuh vaksin, yang antre beli vaksin pun banyak negara lain.
Sudah begitu, kalaupun vaksin tersedia, distribusi adalah sebuah tantangan.
Ada syarat rigid untuk vaksin dapat digunakan dengan tujuan manfaat optimal. Misal, suhu yang harus dijaga pada kisaran tertentu dengan ketat dan tanpa putus.
Ketiga, efektivitas vaksin juga adalah tantangan lain lagi. Ini tak semata soal vaksinnya tetapi juga tentang jumlah orang yang divaksin pada satu waktu di suatu lokasi.
Riset yang diyakini sampai sekarang mensyaratkan efektivitas vaksin mengadang wabah adalah paling sedikit 70 persen populasi telah divaksin.
Ini juga dengan pikiran baik bahwa tak ada yang bengal juga di tengah proses vaksinasi di antara jumlah minimal yang telah divaksin.
Artinya, dengan segala optimisme dan sikap optimistis, vaksin adalah harapan yang niscaya mengadang Covid-19 tetapi bukan sim salabim terjadi seketika dan sekarang juga.
Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Retno Marsudi - Diplomasi Vaksin: Membuka Akses, Meratakan Jalan
Yang ada sekarang adalah kita. Iya, kita. Sejauh apa kita saling jaga, saling peduli, dan saling bertanggung jawab, untuk meminimalkan risiko, untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Hanya kita yang ada dan bisa. Kita.