===
Berdamai dengan pandemi tidaklah mudah bagi sebagian orang. Hidup harus terus berjalan, pilihan tak banyak. Di mana Negara?
BERDAMAI dengan situasi pandemi bukanlah pilihan yang mudah untuk dilakukan bagi sebagian orang. Hidup harus terus berjalan, meski tak tersisa banyak pilihan.
Rahmat (67 tahun), misalnya, sudah 15 hari menumpang hidup di Gelanggang Remaja Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Setiap malam, ia tidur menggunakan velbed atau tempat tidur lipat.
Lapangan basket di lantai dua gedung olah raga itu disulap Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi tempat penampungan.
Ada juga ruangan di lantai satu yang sama-sama dialihkan fungsinya. Bedanya, di lantai yang ini ada fasilitas pengatur udara (AC).
Rahmat tidak sendirian. Ada puluhan laki-laki yang juga tinggal di lantai dua gelanggang itu. Kebanyakan dari mereka adalah tunawisma dan pemulung yang terjaring razia Satpol PP.
Namun, ada pula yang senasib dengan Rahmat, kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal.
Di lantai dua, kasur lipat yang tersedia diatur berjarak sekitar satu meter. Di lantai satu, ada sekat pembatas. Terlebih lagi, di lantai satu ada tiga perempuan saat Kompas.com bertandang.
Rahmat mengaku dia sendiri yang memilih menumpang di lantai dua. Kondisi badan dan tak tahan dengan AC jadi alasannya.
Kolong tempat tidur digunakan Rahmat untuk menyimpan barang bawaannya. Sebuah kantong plastik putih berisi pakaian dan tas lusuh berwarna berwarna hitam.
Tas itu masih dia pakai untuk menaruh perlengkapan kerja, meski sudah terlihat agak rombeng dan sobek di beberapa bagian.
“Saya paling senang itu bikin dekorasi. Paling hobi,” ujar Rahmat saat ditemui Kompas.com, Sabtu (16/5/2020).
Sebelum pandemi, Rahmat bekerja di sektor informal sebagai tukang dekorasi. Mulai dari acara pameran hingga pernikahan.
Ketika wabah virus corona melanda, usaha majikannya gulung tikar. Rahmat tak lagi menerima pesanan untuk mendekorasi.
Tanpa pemasukan, Rahmat berusaha bertahan. Agar bisa tetap makan, Ia menjual ponselnya sambil berharap ada tawaran pekerjaan.
Toh jarak kontrakannya, di Pinang Ranti, Jakarta Timur, dengan rumah sang majikan tidak terlampau jauh.
“Saya dulu tinggal di Pinang Ranti, dekat Asrama Haji, ngontrak, sendiri,” ucapnya.
Saat itu ia berpikir, majikan akan menyambangi kontrakannya jika sewaktu-waktu ada pesanan.
Di sisi lain, Rahmat tak perlu menghubungi keluarga, karena ia hidup seorang diri, tanpa anak dan istri.
Namun, kenyataan tak sesuai dengan perkiraan. Tawaran pekerjaan yang ia tunggu tidak datang.
Mau tidak mau, ia harus angkat kaki dari kontrakan.
“Pemasukan enggak ada buat ngontrak. Buat makan, enggak ada,” ucap laki-laki asal Sukabumi, Jawa Barat, ini.
Kini, Rahmat hanya bisa menunggu dalam situasi yang serba tidak pasti.
Kondisi kesehatannya juga mulai terganggu. Beberapa kali ia menyeka hidungnya yang berair. Badannya pun terlihat ringkih.
Entah harus berapa lama lagi ia menumpang hidup di sana, mengandalkan jatah makan tiga kali sehari dan obat-obatan dari Dinas Sosial.
“Ini juga lagi sakit, terutama lambung. Kalau kelelahan, larinya ke kepala, pusing,” tutur dia.
Bertahan dalam kondisi yang serba terbatas juga harus dilalui Suryani (32). Impiannya bekerja di Ibu Kota kandas karena wabah virus corona.
Februari lalu, ia memutuskan berhenti dari pekerjaan lamanya di Bali, kemudian pindah mencari kerja yang lebih baik di Jakarta.
Perusahaan di bidang properti merespons lamaran Suryani dan memintanya datang.
Kesempatan bekerja di bagian marketing ada di depan mata.
Namun, harapan itu lenyap seketika. Perusahaan menunda penerimaan karyawan baru selama masa pandemi.
“Katanya sih masih di-pending dulu karena ada virus corona,” tuturnya.
Tak ada pemasukan, sisa tabungan pun kian sulit jadi tumpuan.
Kondisi itu membuat Suryani tak mampu lagi membayar kontrakan di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ia juga sempat kelaparan karena tak punya uang untuk membeli makanan.
Pilihan satu-satunya, menumpang tinggal di penampungan.
Di tengah situasi yang serba sulit, Suryani berharap bisa kembali pulang ke Malang, Jawa Timur, atas biaya pemerintah.
Ia meminta ke Dinas Sosial dipulangkan setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak lagi diterapkan.
Toh, pekerjaan baru belum pasti menanti. Rasa rindu dengan kedua anaknya yang jelas sudah makin membuncah.
“Karena ada dampak corona ini, jadinya saya tidak bisa bertahan di Jakarta,” kata Suryani.
SITUASI yang dialami Rahmat dan Suryani tentu menjadi persoalan. Ini juga bukan hanya kisah mereka berdua. Ada banyak orang dengan situasi serupa di luar sana.
Data Kementerian Tenaga Kerja, hingga 12 Mei 2020 saja sudah terdata lebih dari 1,7 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan atau dirumahkan.
Dari sektor properti, angka orang-orang terdampak wabah virus corona cukup bikin membelalakkan mata, ditaksir sampai 30,34 juta pekerja.
Itu baru dari sektor formal yang dapat dilacak. Kisah dari sektor informal bisa saja terlewat dari pencatatan statistik, meski ada juga yang terlalu mencuat tersuarakan.
Institute for Development of Economic and Finance (Indef), memperkirakan Covid-19 akan menyebabkan 40 juta orang yang selama ini berkategori rentan miskin menjadi miskin.
Tak kurang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, angka kemiskinan hampir pasti meroket pada tahun ini.
Sudah orang miskin bertambah, ekonomi pun diprediksi nyaris tak bergerak. Proyeksi terburuk, ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,4 (-0,4) persen saja pada 2020.
Bukan pemerintah lepas tangan begitu saja, memang. Namun, sejumlah program dan kebijakan dinilai tidak tepat.
Sebut saja di antaranya, Kartu Prakerja yang tak menjadi solusi bagi mereka yang tiba-tiba kehilangan penghidupan, bantuan sosial dengan data yang berantakan, serta pernyataan dan kebijakan simpang-siur soal mudik.
Ini belum lagi bicara di tataran yang tak kasat mata dari pandangan orang-orang awam seperti kita. Politik anggaran, salah satunya.
Semua ini semakin kentara sebagai persoalan, ketika dikaitkan dengan mandat konstitusi.
Pasalnya, konstitusi menjamin setiap warga negara mendapatkan penghidupan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak.
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menilai, situasi itu menjadi dampak dari ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi hak asasi setiap warganya.
“Negara gagal untuk memberikan kehidupan yang layak untuk mereka yang telantar, terutama dalam keadaan ini. Artinya, negara gagal untuk memenuhi amanat konstitusi,” ujar Wijayanto kepada Kompas.com, Minggu (17/5/2020).
Persoalan Rahmat dan Suryani, ujar Wijayanto, barulah fenomena puncak gunung es. Ada lebih banyak lagi kasus serupa—dengan ragam variasinya—di luar sana.
Ia mencontohkan kasus yang menimpa Yuli, seorang ibu warga Kota Serang, Banten, yang meninggal kelaparan karena tak berpenghasilan.
Pandangan ini diperkuat dengan hasil temuan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Lokataru Foundation, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Urban Poor Consortium, Ruang Jakarta Center for Urban Studies dan Amrta Institute for Water Literacy.
Dalam dua hari saja, 18 April hingga 20 April 2020, mereka menerima 47 pengaduan terkait pemenuhan hak atas hunian layak, hak atas air, dan distribusi bansos selama pandemi. Sebagian pengaduan berasal dari DKI Jakarta.
Ditambah lagi, penyaluran bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Jauh-jauh hari, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, metode penghitungan data kemiskinan mereka berbeda dengan Kementerian Sosial.
Seperti dikutip dari kontan.co.id edisi 6 Februari 2020, BPS menyebut bahwa data lembaga ini menggunakan pendekatan makro, merujuk pendekatan kebutuhan dasar. Adapun Kementerian Sosial disebut menggunakan pendekatan mikro.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengakui, pendataan penduduk miskin yang terdampak pandemi tidak mudah.
Bagi Wijayanto, pernyataan Muhadjir semata menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki sistem pengelolaan data yang kredibel dan berkualitas.
“Kami juga meragukan data pemerintah itu sejauh mana. Itu artinya sistem datanya tidak ada. Ini menjadi ironi,” ucap Wijayanto.
Selain itu, Wijayanto tidak melihat adanya keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat rentan yang paling terdampak, terutama terkait politik kebijakan anggaran.
Ia menyoroti pemerintah yang enggan membatalkan program pelatihan Kartu Prakerja.
Padahal, sejumlah pihak menilai program tersebut tak sesuai dengan kebutuhan dalam mengatasi pandemi.
Hasil survei Trade Union Rights Centre (TURC) yang dirilis pada Minggu (17/5/2020), misalnya, menunjukkan bahwa program Kartu Prakerja dinilai kurang sesuai untuk mengatasi persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19.
Menurut Wijayanto, anggaran program Kartu Prakerja sebesar Rp 5,6 triliun seharusnya bisa dialihkan untuk masyarakat telantar.
“Pemerintah tidak memiliki keberpihakan. Seharusnya, di situasi seperti ini yang paling dipikirkan oleh negara adalah mereka yang paling rentan. (Faktanya), politik kebijakan anggaran (saat ini) lebih berpihak pada elite,” ungkap Wijayanto.
Kondisi ini diperparah dengan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dinilai tidak menjalankan fungsi utamanya, mewakili suara rakyat.
Saat DPR diharapkan mampu mengkritisi kebijakan pemerintah, kerja-kerja lembaga legislatif itu malah tak sesuai dengan keinginan publik.
Wijayanto mencontohkan sikap DPR yang tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dan mengesahkan UU Minerba.
“Padahal, ada hal lain yang sangat mendesak dan lebih penting untuk dibahas, yaitu keselamatan rakyat,” ujarnya.
Tidak adanya keberpihakan penguasa terhadap kepentingan rakyat, menurut Wijayanto merupakan dampak dari konsolidasi oligarki.
Kekuasaan dalam menentukan kebijakan dipegang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.
Wijayanto mengatakan, konsolidasi oligarki sudah terjadi sejak berakhirnya Pilpres 2019, ditandai dengan bergabungnya Partai Gerindra dalam koalisi pendukung pemerintah.
Akibatnya, tidak ada lagi kekuatan oposisi yang menjadi penyeimbang pemerintah.
Semua elite politik merapat pada kekuasaan. Pimpinan DPR dan MPR dibagi rata bagi seluruh fraksi partai politik.
“Semua kebagian (kekuasaan), konsolidasinya semakin kuat dan kemudian publik diabaikan. Ini akibatnya jika kita tidak punya oposisi yang mampu bersuara kritis terhadap pemerintah,” kata Wijayanto.
Pembagian kekuasaan di kalangan para elite juga terlihat dengan adanya pos-pos jabatan yang dianggap tidak perlu. Misalnya, posisi wakil menteri.
Wijayanto menuturkan, LP3ES telah menyoroti posisi wakil menteri sebagai wujud konsesi politik untuk merangkul semua pihak, sehingga pemerintah tak lagi memiliki oposisi yang berarti.
“Fungsi wakil menteri itu untuk apa? Padahal, setiap kementerian itu sudah memiliki dirjen yang menjadi mesin untuk menjalankan program-program pemerintah,” imbuh Wijayanto.
Dalam perbincangan singkat, Sabtu (16/5/2020), ekonom senior Faisal Basri pun menyebut keberpihakan pemerintah perlu mendapat sorotan. Dia memberikan contoh, alokasi anggaran untuk BUMN terkait Covid-19 ternyata lebih besar daripada UMKM.
Dalam penelusuran Kompas.com, BUMN mendapatkan suntikan dana lebih dari Rp 149 triliun. Bentuknya, sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani, adalah subsidi, kompensasi, penyertaan modal negara, dan dana talangan.
Adapun untuk UMKM, memang ada juga sokongan dari pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, nilainya sampai Rp 271 triliun.
Namun, bentuknya terutama berupa subsidi penundaan pembayaran bunga dan atau pokok kredit, baik pinjaman di perbankan maupun lembaga pembiayaan. Tidak serta merta.
Itu pun, Rp 105,7 triliun adalah pokok pinjaman yang mungkin akan ditunda bayar oleh debitor. Selebihnya, Rp 165,48 triliun diberikan kepada perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Terbaru, pemerintah tengah mewacanakan stimulus senilai Rp 150 triliun untuk UMKM, tetapi itu masih di tahap pembahasan. Sudah begitu, tidak benar-benar semua nominal akan diperuntukkan bagi UMKM juga.
Menteri Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Teten Masduki pun menyebut ada dua skema berupa mekanisme moneter dan bantuan sosial untuk UMKM.
Khusus skema keuangan, dia pun menyebut lagi bentuknya adalah penundaan pembayaran pokok dan atau bunga pinjaman, serta pembiayaan baru.
Jadi, apakah memang kita harus dan terpaksa berdamai saja dengan pandemi Covid-19 dan konsolidasi oligarki?
Sebaliknya, apakah kita juga sudah sedemikian putus asa atau malah hanya memikirkan diri sendiri, tanpa merasa perlu peduli bahwa setiap pilihan kita kali ini juga bakal berdampak pada keselamatan dan kesehatan banyak orang?
Sesaat terngiang pula salah satu kutipan dari salah satu proklamator Indonesia, Mohammad Hatta, "Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat."
Semoga asa ini tetap terjaga dan kembali terngiang untuk diwujudkan bersama, tak terkecuali di kala wabah Covid-19 tengah menerpa. Semoga....